-- Doddy Hidayatullah
DERASNYA arus modernisasi di Indonesia tidak hanya berdampak pada tatanan ekonomi dan politik saja. Modernisasi juga telah mengikis sendi-sendi sastra. Hal ini tampak dengan adanya gagasan mengenai "sastra adiluhung" dalam ranah kesuastraan Indonesia. Memang, pernyataan mengenai sastra adiluhung tidaklah se-populer istilah sastra sufi dan sastra profetik.
Dan, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca meninjau ulang mengenai gagasan sastra adiluhung di Indonesia yang masih kontradiktif. Pasalnya, belum ada batasan yang jelas untuk memformulasikan apa itu sastra adiluhung. Tulisan ini tidak bermaskud untuk membuat dikotomi, tapi lebih tertuju pada ruang dan lingkup sastra adiluhung dalam khazanah kesusastraan Indonesia.
Selama ini, pandangan terhadap sastra adiluhung lebih dititikberatkan perhatiannya pada eksistensi karya sastra yang mampu bertahan terhadap zaman sehingga sampai sekarang masih dikenal oleh masyarakat, seperti Mahabarata dan Ramayana, Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia. Akan tetapi, ada yang menyebut sastra adiluhung diorientasikan pada kandungan moralitas yang terepresentasi dalam karya sastra. Itulah kontradiksi mengenai sastra adiluhung yang sampai sekarang menjadi polemik.
Padahal, apabila dipandang secara eksistensi dan kandungan moralitasnya banyak karya sastra yang lebih hebat daripada Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia.
Menurut saya, ada distingsi historis yang menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa hakekat adiluhung tertuju pada moral(itas) dan norma zaman dahulu. Anggapan tersebut tidak salah, namun berdasarkan esensinya, adiluhung merupakan falsafah luhur dan mulia yang substansinya diturunkan dari budaya terdahulu ke masa sekarang.
Dalam buku buku Adiluhung tentang yang Suci dan Sejati (Ch'ing-chen ta-hsue) karya Wang Tai, yang diteliti oleh Sachiko Murata, mengungkapkan esensi adiluhung dalam konteks Cina. Buku tersebut ditulis oleh Wang Tai yang menyelaraskan dengan prinsip Konfusian, dan Tao, dengan ajaran Islam. Wang Tai dengan seksama membuat dialog ajaran tersebut dengan prinsip kebenaran yang dimiliki Islam.
Dalam praktiknya, ada transformasi budaya dari prinsip Konfusian, dan Tao yang mengandung kearifan ke dalam nilai Islam pada masa Wang Tai.
Di Indonesia, kita sering melihat adanya asimilasi budaya dan adat istiadat dengan falsafah Islam. Hal ini terutama dipelopori Wali Songo di Indonesia dalam menyebarkan ajaran Islam. Hasil dakwah yang telah dilakukan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga misalnya, mereka berdua berdakwah melalui seni dan budaya dengan menggunakan wayang kulit sebagai medianya. Fonemena tersebut mengilustrasikan akan peristiwa adiluhung, sedangkan sastra adiluhung mengungkapkan fonemena asimilasi seperti itu.
Saya menganalogikan bahwa jika yang dikatakan sastra sufi yakni karya sastra yang mempersoalkan tauhid, dan sastra profetik mengungkap semangat kenabian, maka esensi sastra adiluhung tertuju kepada karya sastra yang membicarakan pelestarian budaya luhur dan mulia (kearifan).
Di sini dengan jelas ada perbedaan yang signifikan mengenai "sastra adiluhung" dan "karya sastra yang adiluhung". Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia secara esensinya termasuk karya sastra yang adiluhung karena karya tersebut dipertahankan eksistesinya sebagai karya yang mengandung moralitas tinggi.
Singkat kata, apa yang disebut sastra adiluhung lebih terletak pada bagaimana karya sastra tersebut mampu mengeksplorasi adanya sisi asimilasi budaya dengan kebudayaan sekarang.
Dalam permasalahan ini, yang ditekankan mengenai nilai-nilai luhurnya (kearifan) sebagai falsafah hidup yang mampu membentuk keperibadian. Sampai di sini, tulisan ini telah mengantarkan kita tentang dasar sastra adiluhung.
Dengan kuatnya arus modernisasi, maka falsafah luhur dan mulia yang dipertahankan dari zaman dahulu hingga sekarang eksistensinya mulai memudar. Inilah yang sebenarnya secara garis besar mewadahi paradigma sastra adiluhung. Peran dan fungsi yang melatarbelakangi akan hal ini terdapat pada masa transisi budaya-dalam modernisasi ini.
Perlu adanya aksentuasi kearifan yang lebih eksploratif. Sudah semestinya kita sebagai manusia, menghargai budaya sebagai pembentuk moralitas dan keperibadian. Karena itu, sangatlah perlu meninjau ulang apa yang telah dicapai dalam budaya kita, pembentuk watak dan keperibadian secara sejarah, sebagai metode untuk mengoreksi perbuatan apa saja yang telah kita lakukan dalam beberapa waktu ini. Untuk itu, sastra adiluhung merupakan jawaban yang tepat.
Sastra adiluhung secara substantif mengilustrasikan dinamika sosial yang mengalir lewat sublimasi sastrawan. Sublimasi ini terjadi dari dua dimensi, yaitu yang ragawi dan rohani. Yang ragawi berdasarkan panca indra atas konstruks sosial yang abstrak, sedangkan yang rohani berdasarkan kepekaan perasaan mengenali gejala-gejala kehidupan. Inilah peran sastra sebagai dunia yang dinamis, di mana orang mampu menyelaminya secara bebas dan berbagai variasi, maka sastra memiliki nilai yang beragam.
Tidak heran apabila Jhon F. Kennedy mengatakan apabila politik bengkok, sastra yang meluruskan. Pendapat itu karena banyaknya nilai-nilai kemanusiaan dan pesan moral yang ditawarkan di dalam karya sastra. Adapun secara proses, karya sastra tersusun atas filosofi kehidupan yang menyatu dengan pengalaman empiris. Karenanya, ungkapan seperti "daun gugur dari tangkainya" adalah ilustrasi konkrit yang memiliki kandungan falsafah akan adanya sesuatu hal yang abstrak yaitu kematian.
Jadi, tidak ada salahnya untuk merenungi nilai-nilai luhur dan mulia sehingga kita tidak timbul-tenggelam menghadapi kuatnya arus modernisasi yang cenderung kapitalis. Adapun konsep adiluhung yang mewujud dalam karya sastra merupakan fonemena (realitas) dan dapat dijadikan studi lanjut yang komprehensif dan ilmiah.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 22 September 2012
DERASNYA arus modernisasi di Indonesia tidak hanya berdampak pada tatanan ekonomi dan politik saja. Modernisasi juga telah mengikis sendi-sendi sastra. Hal ini tampak dengan adanya gagasan mengenai "sastra adiluhung" dalam ranah kesuastraan Indonesia. Memang, pernyataan mengenai sastra adiluhung tidaklah se-populer istilah sastra sufi dan sastra profetik.
Dan, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca meninjau ulang mengenai gagasan sastra adiluhung di Indonesia yang masih kontradiktif. Pasalnya, belum ada batasan yang jelas untuk memformulasikan apa itu sastra adiluhung. Tulisan ini tidak bermaskud untuk membuat dikotomi, tapi lebih tertuju pada ruang dan lingkup sastra adiluhung dalam khazanah kesusastraan Indonesia.
Selama ini, pandangan terhadap sastra adiluhung lebih dititikberatkan perhatiannya pada eksistensi karya sastra yang mampu bertahan terhadap zaman sehingga sampai sekarang masih dikenal oleh masyarakat, seperti Mahabarata dan Ramayana, Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia. Akan tetapi, ada yang menyebut sastra adiluhung diorientasikan pada kandungan moralitas yang terepresentasi dalam karya sastra. Itulah kontradiksi mengenai sastra adiluhung yang sampai sekarang menjadi polemik.
Padahal, apabila dipandang secara eksistensi dan kandungan moralitasnya banyak karya sastra yang lebih hebat daripada Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia.
Menurut saya, ada distingsi historis yang menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa hakekat adiluhung tertuju pada moral(itas) dan norma zaman dahulu. Anggapan tersebut tidak salah, namun berdasarkan esensinya, adiluhung merupakan falsafah luhur dan mulia yang substansinya diturunkan dari budaya terdahulu ke masa sekarang.
Dalam buku buku Adiluhung tentang yang Suci dan Sejati (Ch'ing-chen ta-hsue) karya Wang Tai, yang diteliti oleh Sachiko Murata, mengungkapkan esensi adiluhung dalam konteks Cina. Buku tersebut ditulis oleh Wang Tai yang menyelaraskan dengan prinsip Konfusian, dan Tao, dengan ajaran Islam. Wang Tai dengan seksama membuat dialog ajaran tersebut dengan prinsip kebenaran yang dimiliki Islam.
Dalam praktiknya, ada transformasi budaya dari prinsip Konfusian, dan Tao yang mengandung kearifan ke dalam nilai Islam pada masa Wang Tai.
Di Indonesia, kita sering melihat adanya asimilasi budaya dan adat istiadat dengan falsafah Islam. Hal ini terutama dipelopori Wali Songo di Indonesia dalam menyebarkan ajaran Islam. Hasil dakwah yang telah dilakukan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga misalnya, mereka berdua berdakwah melalui seni dan budaya dengan menggunakan wayang kulit sebagai medianya. Fonemena tersebut mengilustrasikan akan peristiwa adiluhung, sedangkan sastra adiluhung mengungkapkan fonemena asimilasi seperti itu.
Saya menganalogikan bahwa jika yang dikatakan sastra sufi yakni karya sastra yang mempersoalkan tauhid, dan sastra profetik mengungkap semangat kenabian, maka esensi sastra adiluhung tertuju kepada karya sastra yang membicarakan pelestarian budaya luhur dan mulia (kearifan).
Di sini dengan jelas ada perbedaan yang signifikan mengenai "sastra adiluhung" dan "karya sastra yang adiluhung". Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia secara esensinya termasuk karya sastra yang adiluhung karena karya tersebut dipertahankan eksistesinya sebagai karya yang mengandung moralitas tinggi.
Singkat kata, apa yang disebut sastra adiluhung lebih terletak pada bagaimana karya sastra tersebut mampu mengeksplorasi adanya sisi asimilasi budaya dengan kebudayaan sekarang.
Dalam permasalahan ini, yang ditekankan mengenai nilai-nilai luhurnya (kearifan) sebagai falsafah hidup yang mampu membentuk keperibadian. Sampai di sini, tulisan ini telah mengantarkan kita tentang dasar sastra adiluhung.
Dengan kuatnya arus modernisasi, maka falsafah luhur dan mulia yang dipertahankan dari zaman dahulu hingga sekarang eksistensinya mulai memudar. Inilah yang sebenarnya secara garis besar mewadahi paradigma sastra adiluhung. Peran dan fungsi yang melatarbelakangi akan hal ini terdapat pada masa transisi budaya-dalam modernisasi ini.
Perlu adanya aksentuasi kearifan yang lebih eksploratif. Sudah semestinya kita sebagai manusia, menghargai budaya sebagai pembentuk moralitas dan keperibadian. Karena itu, sangatlah perlu meninjau ulang apa yang telah dicapai dalam budaya kita, pembentuk watak dan keperibadian secara sejarah, sebagai metode untuk mengoreksi perbuatan apa saja yang telah kita lakukan dalam beberapa waktu ini. Untuk itu, sastra adiluhung merupakan jawaban yang tepat.
Sastra adiluhung secara substantif mengilustrasikan dinamika sosial yang mengalir lewat sublimasi sastrawan. Sublimasi ini terjadi dari dua dimensi, yaitu yang ragawi dan rohani. Yang ragawi berdasarkan panca indra atas konstruks sosial yang abstrak, sedangkan yang rohani berdasarkan kepekaan perasaan mengenali gejala-gejala kehidupan. Inilah peran sastra sebagai dunia yang dinamis, di mana orang mampu menyelaminya secara bebas dan berbagai variasi, maka sastra memiliki nilai yang beragam.
Tidak heran apabila Jhon F. Kennedy mengatakan apabila politik bengkok, sastra yang meluruskan. Pendapat itu karena banyaknya nilai-nilai kemanusiaan dan pesan moral yang ditawarkan di dalam karya sastra. Adapun secara proses, karya sastra tersusun atas filosofi kehidupan yang menyatu dengan pengalaman empiris. Karenanya, ungkapan seperti "daun gugur dari tangkainya" adalah ilustrasi konkrit yang memiliki kandungan falsafah akan adanya sesuatu hal yang abstrak yaitu kematian.
Jadi, tidak ada salahnya untuk merenungi nilai-nilai luhur dan mulia sehingga kita tidak timbul-tenggelam menghadapi kuatnya arus modernisasi yang cenderung kapitalis. Adapun konsep adiluhung yang mewujud dalam karya sastra merupakan fonemena (realitas) dan dapat dijadikan studi lanjut yang komprehensif dan ilmiah.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 22 September 2012
No comments:
Post a Comment