Sunday, September 09, 2012

Sastra Keroyokan ala Kaum Urban

-- Bayu Agustari Adha

IBARAT teknologi, sastra juga berkembang melalui inovasi-inovasi yang dilakukannya. Baik itu dalam penerbitan, konten dan konsep penulisan. Dalam hal menerbitkan sebuah karya sastra, sekarang tak lagi melalui metode konservatif walau metode itu masih umum berlaku. Saat ini dalam menerbitkan, kita bisa menerbitkan sendiri. Tak seperti dulu di mana seorang penulis harus memantapkan nama dulu dan pada akhirnya ada penerbit yang tertarik.

Seiring berjalannya waktu terdapat ketidakpuasan atas penerbit yang hanya berorientasi profit sehingga muncul perlawanan di situ di mana seakan-akan penerbit telah melakukan monopoli. Sekarang siapapun bisa menerbitkan karya sastra tanpa harus melalui penerbit. Jika ada modal yang cukup atau bantuan dana, karya bisa diterbitkan sendiri dengan menanggung seluruh biaya produksinya. Bahkan bila tak ada modal pun karya bisa juga dipublikasikan di dunia maya, jika ada yang pesan maka buku siap dicetak. Bila juga tak bisa dicetak, penulis juga bisa jadi penulis di dunia maya melalui e-book, blog, atau jadi sastrawan facebook (jaringan sosial).

Dalam hal konten sebuah karya sastra, terhitung sejak reformasi 1998 telah banyak inovasi sastra yang terlempar ke publik. Dari fenomena munculnya label ‘’Sastra Selangkangan’’ oleh beberapa oknum pada penulis-penulis wanita, beberapa nama seperti Ayu Utami dan Ayu Maesa Djenar. Kemudian muncul pula genre sastra yang sering dikelompokkan sebagai Sastra Islami seperti ‘’Ayat-Ayat Cinta’’. Setelah itu bejibun pula teronggok karya-karya sastra sejenis. Hingga sampai akhirnya muncul Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi. Wajah per’sastra’an Indonesia semakin semarak. Diikuti juga oleh A Fuadi dengan Negeri Lima Menara-nya. Karya Sastra curhat pengalaman pribadi yang menawarkan sebuah inspirasi.

Sementara itu, dalam hal konsep cara penulisan sastra juga mengalami mobilisasinya tersendiri. Tradisinya sastra ditulis oleh seseorang yang isinya merupakan suatu paduan ide pemikirannya dan beberapa di antaranya dibumbui sentuhan para editor. Sekarang muncul lagi suatu terobosan baru dimana karya sastra ber-genre fiksi ditulis secara kolektif sehingga membentuk suatu padanan karya yang menyatu. Tren ini belum diketahui persis apa motifnya, apakah karena kekeringan ide ataukah hanya untuk menunjang sebuah inovasi. Salah satunya juga dilakukan Ayu Maesa Djenar berjudul 1 Perempuan 14 Laki-laki yang ditulis bersama beberapa kolega yang umumnya bergelut di dunia seni dan hiburan.

Selain karya tersebut, ada juga karya hasil keroyokan beberapa pengarang dengan judul novel Love Asset yang ditulis 14 wanita dari berbagai latar belakang profesi yang tergabung dalam komunitas Women Scipt ‘n Co. Karya tersebut mencerminkan kehidupan ala urban yang mungkin sering kita lihat dalam layar penyalur budaya pop yakni televisi. Aroma, citarasa dan romantika  kehidupan urban sangat kental sekali diperlihatkan melalui simbol-simbol bahasa kekotaannya, trending topic-nya dan kisah pelajaran moral normatifnya.

Kaum urban apabila dirujuk dalam pengertian dari konsep urbanisasi memang adalah kaum yang berpindah dari desa ke kota. Tapi untuk periode ini urban tak bisa diartikan lagi secara umum sebagai orang desa yang ditinggal di kota. Karena pada umumnya di daerah urban seperti Kota Jakarta yang dipenuhi para pendatang. Orang yang lahir di Jakarta pun telah bisa dikatakan urban mengingat pola hidup yang telah tercipta sebagai kota majemuk. Dalam mengarungi atmosfer tersebut terdapat beberapa ciri yang menjatidirikan sebagai kaum urban perkotaan. Di antaranya adalah pemakaian bahasa, tak hanya dalam hal linguistik tapi juga latar yang menghasilkan suatu produk bahasa. Kecenderungan itu terlihat dalam tata cara pemilihan kata untuk menandakan sesuatu. Dalam novel ini terdapat banyak sekali produk bahasa yang ingin mencirikan dirinya sebagai kaum urban.

Tentunya pemakaian bahasa asing menjadi ciri umum masyarakat urban mengingat ibukota seperti Jakarta adalah pintu gerbang masuknya serangan budaya global. Contohnya adalah kata bed cover yang sejatinya berarti alas kasur, namun dalam hal diksinya penulis memilih kata bed cover. Memang tak ada salahnya untuk memilih kata bed cover, tapi disinilah letak suatu kecenderungan untuk diakui sebagai orang perkotaan. Virus ini jika dilihat secara kasat mata memang telah menjamur di kalangan masyarakat urban yang tentunya hanya dengan motif untuk dianggap sebagai kaum yang high class. Dalam kehidupan sehari-hari hal ini mudah sekali terlihat seperti apa yang kita lihat ketika Agnes Monica yang sering memakai beberapa kata bahasa Inggris dalam kalimatnya.

Tak hanya kata yang ada padanannya pada bahasa Indonesia, namun kaum urban juga mengartikulasikan kata yang tak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Hal ini mengacu umumnya pada penyebutan suatu benda yang langsung kepada mereknya. Seperti halnya jas hitam Vercase, parfum Emprio Armany diamond, real estate, parcel diamond dan Pantr. Tak semua orang akan paham dengan bahasa-bahasa seperti ini dan mirisnya hal ini hanya pretensi yang sebenarnya ingin menarsiskan dan menasbihkan diri sebagai kaum elit.

Kemudian dalam hal pemilihan topik utama atau trending topic novel ini juga melihatkan ciri yang sangat urban. Apalagi kalau tidak kalau topiknya adalah cinta dan karir. Memang topik cinta adalah hal yang universal dan pasti tak bisa dihilangkan dari zaman dahulu sampai sekarang. Tapi, tentu tidak pula hal ini dianggap sebagai sesuatu yang sublim dan masih banyak lagi topik yang mungkin lebih bermanfaat lagi bagi kalangan layak. Lebih detailnya lagi dalam hal proses aplikasi cinta itu sendiri. Jelas sekali bahwa praktik cinta yang disodorkan adalah murni tata cara cinta serapan budaya luar yang tentunya tidak bisa dianggap umum bagi Indonesia.

Dalam novel ini menceritakan kisah cinta antara Ratu dan Adam dimana proses dalam bagian awal adalah aksi Adam yang menggunakan helikopter untuk memperlihatkan cintanya. Adam dengan pilot helikopternya terbang mendekati jendela apartemen Ratu untuk memberikan kejutan untuk menyatakan ‘’Maukah kau menikah denganku?’’. Kalimat ini nyata sekali merupakan saduran murni dari perkataan will you marry me? Ungkapan yang diucapkan seseorang untuk melamar pasangan di negara maju. Yang jadi pertanyaan adalah haruskah proses cinta seperti ini. Sangat jelas sekali bahwa dinamika kaum Urban memang mengekor pada pola terapan budaya luar. Tak bisakah dengan cara lain?

Kemudian cerita berlanjut dengan tiba-tiba saja helikopter disambar petir dan Adam terluka masuk rumah sakit. Dalam hal itu ternyata Ratu merupakan simpanan papanya Adam. Ratu jadi bingung namun dia teguh untuk terus mencintai Adam yang setelah itu lumpuh dan berkuat hati merawat sampai Adam benar-benar sembuh. Konflik pun terjadi dimana Ratu hanya dibolehkan menemani Adam hanya sampai sembuh oleh Papa Adam dan mamanya yang juga membenci Ratu. Adam pun mengetahuinya dan menolak untuk sembuh karena percuma apabila dia sembuh dia tak bisa bersama Ratu. Begitulah, cerita yang sering kita temui di layar sinetron.

Satu lagi nilai yang rata-rata sering diwacanakan oleh para kaum urban adalah kisah perjuangan hidup seseorang dalam mengarungi terjalnya kehidupan. Diceritakan Ratu yang dulu sepeninggalan ayahnya berusaha mandiri menolong ibunya untuk membiayai hidupnya dan keluarganya. Ratu rela tak menikmati masa mudanya dengan berkegiatan membuat kue, menjajakannya dan meramu jamu tradisional. Tak hanya itu Ratu juga pintar menjahit dan lambat laun dari mulut ke mulut usahanya berkembang. Selepas SMK, Ratu memutuskan kuliah di Jakarta. Di sana dia tinggal bersama Tantenya yang kejam dan suami yang selalu berpikir mesum terhadap Ratu. Hari-hari ratu diwarnai oleh pelecehan yang dilakukan oleh tante dan suaminya.

Melihat kisah tersebut, tampak sekali ciri-ciri cerita Indonesia yang biasa kita saksikan di layar kaca. Kaum urban dengan kehidupan dan romantikanya mengarungi kehidupan di kota besar. Inipun semakin mengukuhkan ciri Indonesia yang haus akan cerita yang mengharapkan belas kasihan dan kisah inspiratif  dari zero to hero. Satu lagi tentunya kaum urban juga sangat dekat dan merasa sehati bila menyelami cerita-erita seperti ini. Menjadi suatu kejanggalan mengapa selalu banyak kisah dihadirkan seperti ini. Apakah semua orang mengalami hal seperti ini dan apakah ada karakter yang benar-benar kejam seperti itu layaknya Mariam Belina di sinetron Kisah sedih di Hari Minggu.

Para pengarang sejatinya memang berhak menuliskan apa saja dalam karyanya. Ketika itu sudah terlempar ke khalayak, itu sepenuhnya tak menjadi domain pengarang lagi. Ya, itu hanya jargon yang sebenarnya hanyalah suatu pelarian tanggung jawab. Tapi, dilain pihak para pembaca juga berhak menyatakan pendapatnya dan jangan menganggap bahwa pembaca sebagai silent majority atau bersifat pasif. Cukuplah hanya di sinetron kita menikmati cerita-cerita seperti ini. Solusinya perlu diadakan kontrol disini yakni melalui pembaca itu sendiri. Pembaca harus lebih meningkatkan pola resepsi pada hal-hal yang dikonsumsinya. Bila tidak, pembaca yang hanya larut dalam buaian alur cerita akan menjadi suatu bentuk mimesis dari karya yang disodorkan penulis. Bertolak belakang dengan anggapan Plato yang menganggap bahwa sastra adalah tiruan dari realita. Akan tetapi disini karya sastra bukan lagi sebagai refleksi dari kenyataan, tetapi kenyataanlah yang menjadi refleksi dari sastra itu sendiri. Kenyataan menjadi bentuk tiruan dari apa yang dihadirkan oleh fiksi. Dalam hal ini pola kehidupan urban yang diciptakan akan mempengaruhi pembaca sehingga aksi yang dilakukannya adalah tiruan dari fiksi.

Bayu Agustari Adha, Lahir di Solok pada 15 Augustus 1986. Bekerja sebagai Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 9 September 2012
 

No comments: