Saturday, September 15, 2012

Membangun Peradaban dengan Buku

-- Riza Multazam Luthfy

PERPUSTAKAAN merupakan sumber yang didayagunakan untuk menggayung percikan pengetahuan. Di dalamnya tersimpan berbagai ragam khazanah keilmuan yang leluasa mengentas umat manusia dari lembah kebodohan dan ngarai ketidaktahuan. Koran, buku, majalah, manuskrip, serta lembaran-lembaran lainnya mendermakan secercah cahaya yang dapat menolong anak Adam dari jurang kegelapan dan kehancuran.

Sudah begitu banyak bukti yang mengurai bahwa perpustakaan sebagai salah satu sarana dalam rangka mengangkat harkat manusia sebagai makhluk berpikir (hayawan nathiq) yang turut serta mengembangkan nilai-nilai kebudayaan yang universal. Oleh sebab itulah, memberdayakan perpustakaan sama saja mengajak manusia untuk mengaktualisasikan diri dalam proses berpikir yang terus menerus dan berkelanjutan.

Peradaban sebuah bangsa akan tumbuh berkembang dengan didirikannya banyak perpustakaan. Bagaimana tidak? Perpustakaan yang menyajikan beraneka bahan bacaan akan menggenjot minat belajar dan laju keingintahuan (curiosity) masyarakat. Efek positifnya, angka kebodohan masyarakat bisa ditekan. Sedangkan tingkat kepandaian masyarakat akan menunjukkan grafik yang signifikan.

Buku-buku yang tersedia di perpustakaan merupakan jendela dunia yang mengantarkan para pembaca ke cakrawala pengetahuan tak berhingga, sehingga mereka mengetam apa yang sebelumnya tidak diketahui juga terlewatkan dalam kehidupan sehari-hari. Wawasan yang dimiliki seseorang akan bertambah seiring dengan semakin banyaknya buku yang dipelajari. Ide-ide cemerlang dan brilian akan lahir, karena apa yang ditawarkan dari buku-buku yang dibaca mempengaruhi cara berpikir serta mengambil keputusan. Tak heran, jika muncul negara-negara besar sebab didorong oleh budaya membaca yang mengakar.

Sebagai contoh Jepang. Negara yang berjuluk Negeri Sakura tersebut mampu menyaingi Amerika Serikat atau Eropa berkat adanya minat membaca yang kuat. Kecanduan Jepang dalam membaca patut menjadi teladan bagi negara-negara lain. Tak jarang, di tempat-tempat umum orang-orang Jepang membawa buku, komik, koran atau majalah. Ketika bepergian, bekal utama yang diselipkan dalam koper atau tas ransel adalah bahan bacaan. Tujuannya tiada lain adalah untuk menambah wawasan atau sekadar menghindarkan diri dari kepenatan.

Merujuk pada Koran Tempo (6 Mei 2001), membaca digunakan Jepang sebagai cara paling tepat dan efektif dalam rangka memulihkan keadaan negerinya yang gagal dalam Perang Dunia II. Pada waktu itu, tanah Hiroshima dan Nagasaki porak-poranda akibat bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat. Dengan bermacam pertimbangan, akhirnya Jepang membangun kembali negerinya dengan memasukkan ratusan bahkan ribuan buku dari luar, menerjemahkannya, lalu menganjurkan masyarakatnya untuk terus membaca. Hasilnya sungguh luar biasa. Hanya dalam rentang waktu kurang dari 30 tahun, Jepang mampu bangkit menjelma negara yang powerful dalam bidang ekonomi dan teknologi serta disegani di seantero semesta.

Dari sini, timbul hipotesa bahwa tinggi-rendahnya peradaban suatu bangsa di antaranya bisa dicermati dari sedikit banyaknya para penggandrung buku dan perpustakaan di dalamnya.

Korelasi Budaya Membaca dengan Perpustakaan

Hubungan antara budaya membaca dengan perpustakaan sangatlah erat. Membaca sebagai suatu cara atau kegiatan yang berguna untuk memperoleh informasi atau pengetahuan. Sedangkan perpustakaan sebagai tempat dimana didapatkan media yang menghidangkan informasi atau pengetahuan tersebut. Keduanya—budaya membaca dan perpustakaan—merupakan kombinasi yang sulit terpisahkan. Apa sebab? Karena kegiatan membaca memerlukan tempat yang didesain secara khusus agar para pembaca merasa nyaman, rileks, dan jauh dari gangguan. Begitu pula sebaliknya. Tanpa para pengunjung dengan budaya membaca yang tinggi, tentu perpustakaan akan kehilangan eksistensi serta fungsi alamiahnya.

Perpustakaan menjadi begitu urgen karena selain menyediakan banyak literatur, ia juga didaulat sebagai tempat yang memberikan nuansa penuh kedamaian. Itulah mengapa beberapa tokoh nasional menghabiskan waktu di dalamnya untuk menjemput ide, imajinasi dan inspirasi yang tak henti. Sebut saja Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mereka senantiasa berusaha untuk mengakrabkan sekaligus merekatkan diri dengan perpustakaan.

Soekarno rela berjam-jam berada di perpustakaan Theosophical Society, di mana ia dengan mudah memperoleh akses karena keanggotaan ayahnya. Buku-buku yang tersedia dilahap, sebab mengandung nutrisi yang bagus dan berkhasiat bagi kesehatan jasmani dan ruhaninya. Dengan mengeremus isi dan muatan apa yang dibacanya, Soekarno genap merengkuh ekstase. Tepatnya, ekstase dalam menelan kata-kata dan merasakan kelezatannya.  

Sedangkan Hatta, saat masih memegang jabatan wakil presiden, sebelum ke kantor ia terlebih dahulu masuk ke perpustakaan. Begitu senangnya ia berada di rumah wacana tersebut. Ketenangan menggelayuti wajah dan hatinya. Sampai-sampai, terasa ada yang kurang apabila sehari saja tidak berhubungan dengan buku. Ada rindu-dendam yang terkubur dalam-dalam, ketika ia tidak sempat menyapa buku-buku yang dicintainya itu. Dan, di perpustakaanlah Hatta menumpahkan kerinduannya dengan menelaah secara intens buku-buku yang dianggap sebagai sahabat terbaiknya.

Selama bermukim di Rawajati, Tan Malaka rajin menyambangi Museum Bataviaashch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen—sekarang Museum Nasional—untuk memburu data dan naskah rujukan. Meski dituntut bangun pagi-pagi benar dan berjalan kaki kurang lebih empat jam, ia rela melakukannya demi mengunjungi perpustakaan yang terdapat di dalamnya. Ketika membaca, Tan Malaka begitu menghayati ketenangan dan ketentraman yang ada di perpustakaan. Sesuatu yang sukar bahkan mustahil ditemukan di tempat lain. (Arif Zulkifli, 2010: 52).

Begitu juga dengan Gus Dur. Saat tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar Mesir, ia selalu menghilangkan kejenuhan dengan meleburkan diri di perpustakaan terlengkap Kairo, termasuk American University Library. (M. Hamid, 2010: 28). Sebab kegemaran membaca dan mengunjungi perpustakaan, tak ayal, jika buku-buku serius—dari filsafat, cerita silat, sejarah, hingga sastra—sudah ia akrabi pada usia 10 tahun. Di antara buku yang pernah diserap yaitu Das Kapital susunan karl Marx, buku filsafat Plato, Romantisme Revolusioner karangan Lenin Vladimir Ilych, dan anggitan Will Durrant bertitel The Story of Civillization. Juga karya Ernest Hemingway, John Steinbeck, William Bochner, William Faulkner, Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, serta penulis-penulis Rusia, semisal Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov.

Begitulah. Keempatnya memposisikan perpustakaan sebagai ruang yang sangat intim dengan urat nadi kehidupan. Ketika berjauhan dengannya, mereka merasakan kehilangan. Tanpanya, mereka akan merasakan penderitaan batin yang mendalam.   

Mendirikan Perpustakaan Ideal

Untuk menyemarakkan perpustakaan sebagai pusat bergumulnya pecinta ilmu pengetahuan, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan tidak setengah-setengah. Harus ada langkah-langkah riil yang diambil secara terencana, teratur, dan berbasis tujuan. Dengan demikian, apa yang dicita-citakan akan terealisir dengan mudah. Bagaimanapun juga, proses atau tahapan yang dilalui dengan asal-asalan akan membuahkan penyesalan dan menuai hasil yang kurang memuaskan.

Hal pertama yang dilakukan yaitu menumbuhkan kesadaran masyarakat atas pentingnya membaca dan mengunjungi perpustakaan sejak dini. Ini digencarkan dengan adanya sosialisasi aktif melalui seminar, lokakarya, juga forum-forum lain yang melibatkan masyarakat. Pun dengan penyebaran pamflet dan spanduk. Langkah ini ditujukan untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa membaca memiliki banyak manfaat, antara lain: memahami penggunaan bahasa yang baik dan benar (sesuai situasi atau konteks pembicaraaan), mengajak untuk berinstrospeksi diri dan mengevaluasi nilai, perasaan, dan hubungan dengan orang lain, selain itu juga menjauhkan diri dari penyakit lupa dan menunda kepikunan. Dan dengan mengunjungi perpustakaan akan memudahkan masyarakat memetik manfaat-manfaat tersebut.

Hal kedua yaitu memperhatikan perpustakaan yang sudah ada. Perpustakaan yang sepi pengunjung dan kurang mendapat tempat di hati masyarakat tidak perlu ditutup. Justru seharusnya diperbaiki dan dibenahi secara bertahap. Jangan sampai perpustakaan yang ada dibiarkan amburadul, tak terawat, kotor, dan tampak seram, sehingga menyebabkan masyarakat enggan berkunjung. Perpustakaan yang comfortable serta memiliki mode dan desain bangunan yang menarik pasti memancing masyarakat untuk mendekatinya. Dengan begitu ada harapan besar perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan, bahkan mengalahkan tempat-tempat lainnya yang hanya menawarkan kesenangan sementara.

Hal ketiga yaitu pembangunan perpustakaan yang digalakkan pemerintah secara besar-besaran disertai dengan melimpahnya bahan bacaan di dalamnya. Ini dinilai lebih bermanfaat daripada menghambur-hamburkan rupiah untuk memperluas pusat perbelanjaan ataupun sarana hiburan. Bukan tidak penting menuruti kebutuhan rekreatif-konsumtif yang dianggap kebutuhan sekunder bahkan tertier. Akan tetapi, berkunjung ke perpustakaan untuk memperkaya wawasan lebih mendesak untuk dipenuhi, karena menyangkut kebutuhan manusia untuk selalu mengasah pikiran dan melakukan dialektika terhadap wacana yang bertebaran. Dan itu bisa dilaksanakan di antaranya dengan menyelami berbagai referensi yang ada di perpustakaan.

Berbeda halnya dengan alun-alun kota atau gedung DPR yang mewah, perpustakaan megah yang menampung ribuan bahkan jutaan referensi akan terhindar dari kesan pemborosan dan berlebihan. Hal tersebut justru menandakan bahwa pemerintah mempunyai respon yang cukup tinggi terhadap kemajuan masyarakatnya. Dengan pembangunan perpustakaan-perpustakaan baru, terdapat indikasi kuat yang menyebutkan bahwa pemerintah memperhatikan masa depan masyarakat. Baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Beberapa abad silam, perpustakaan menjadi concern pemerintahan Islam. Perpustakaan selalu mendapatkan perhatian lebih dan prioritas utama dibanding sarana publik lainnya. Biaya besar sengaja dialokasikan demi mempercantik dan memperindah penampilan fisik perpustakaan. Selain itu, tentu koleksi bahan bacaannya ditambah dengan mendatangkan referensi dari luar atau dengan melakukan penerjemahan sejumlah referensi penting dan berharga.

Pada pengujung abad kedua Hijriah, perpustakaan-perpustakaan umum telah menjamur demikian banyaknya. Rasanya sulit untuk sekadar menaksir atau melakukan list terhadap jumlah perpustakaan sepanjang sejarah kekuasaan Islam. Hal ini dikarenakan perpustakaan pernah sekian lama dijadikan simbol kebesaran, kebanggaan dan “trend” pemerintahan Islam. Kota-kota yang pernah menjadi pusat kekuasaan Islam semisal Baghdad, Kairo, Damascus dan Cordova sangatlah kaya dengan perpustakaan. Di antara perpustakaan-perpustakaan besar dalam sejarah Islam yaitu: (Daud Rasyid, 1998: 100-101).

1)    “Darul Hikmah” di Baghad. Didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rashid (149-193 H), yang kemudian dilanjutkan oleh puteranya al-Makmun (170-218 H) dalam mensubsidi kitab dan memperkaya koleksinya. Perpustakaan ini menjadi “telaga” bagi sesiapa yang haus ilmu, hingga negeri itu akhirnya diporak-porandakan oleh Raja Mongol. Saking banyaknya kitab yang dihanguskan tentara Mongol waktu itu, digambarkan bahwa sungai Euphrat di Irak berubah warna menjadi hitam legam akibat arang yang dihasilkan dari kitab-kitab yang gosong terbakar.

2)    “Khazanah Qurthuba”. Salah satu perpustakaan tua di Cordova, mengoleksi 400.000 jilid buku (bahkan menurut kronik William Draber, jumlahnya sampai 600.000 jilid). Sesuatu yang amat mengagumkan, mengingat pada abad ke-8 H Raja Sharl V dari Prancis belum mampu menghimpun lebih dari 900 jilid buku di “Perpustakaan Pusat” Prancis. “Khazanah Qurthuba” merupakan perpustakaan terbesar di Spanyol, yang mencapai puncaknya pada masa pemerintahan al-Mustanshir (350-366 H). Perhatian al-Mustanshir pada pengembangan maktabah Cordova ini, sampai pada penugasan staf-staf perwakilannya di berbagai kawasan negeri-negeri muslim di serata dunia untuk memantau setiap karya baru yang lahir dari ilmuwan-ilmuwan muslim dalam semua bidang disiplin. Perpustakaan yang amat masyhur ini kemudian banyak menanam saham kepada Barat serta menghibahkan kontribusi luar biasa bagi berdirinya tiang peradaban Eropa modern.

3)    “Darul ‘Ilm” di Mesir yang berdiri pada masa dinasti Fathimiyah (297-567 H). Perpustakaan ini sempat menjadi kebanggaan kaum muslimin karena jumlah kitab yang melimpah dan telah tersedianya beberapa sarana yang cukup memadai sehingga sangat membantu bagi seorang peneliti di perpustakaan pada masa itu. Guna membangun perpustakaan ini, al-Hakim (386-411 H) menggelontorlan dana 257 dinar untuk penyalinan berbagai naskah, perbaikan buku dan pemeliharaan. Perpustakaan ini mengoleksi buku-buku langka dalam berbagai bidang studi, termasuk ilmu eksakta.

Hal terakhir yang perlu diemban yaitu mempelajari lebih dalam profil perpustakaan-perpustakaan berkaliber dunia sekaligus menggali rahasia mengapa perpustakaan-perpustakaan tersebut merengkuh kesuksesan dan selalu dikenang sejarah. Kemudian yang terpenting adalah mengaplikasikannya pada perpustakaan yang akan dibangun ataupun yang hanya mengalami perombakan. Mulai dari manajemen, pelayanan, fasilitas, sirkulasi referensi, pemilihan tema bacaan, dan lain sebagainya.

Dengan dilaksanakannya langkah-langkah di atas, diharapkan lahir perpustakaan ideal yang mampu membangkitkan hasrat masyarakat untuk senantiasa menghiasi kehidupan dengan bergelimangnya pengetahuan, sehingga kelak timbul peradaban yang adiluhung dan gilang-gemilang. 

Riza Multazam Luthfy, mahasiswa magister ilmu hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 15 September 2012

No comments: