Data buku:
Jalan Lain ke Jogja
Asih Aspalia
Elmatera Publishing, Yogyakarta, 2012
xii + 115 hlm.
ORANG Blitar ingin menuntut ilmu seni ke Yogyakarta. Karena keluarganya miskin dan biaya jadi kendala, ia baru bisa sampai Yogyakarta setelah melanglangbuana ke Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Waktu yang diperlukan pun sangat lama: lebih dari 20 tahun!
Itu dialami oleh perempuan bernama Asih, tokoh utama novel Jalan Lain ke Jogja karya Asih Aspalia (Elmatera Publishing, Mei 2012).
Pengalaman Asih ini mungkin tidak membuat Anda terperangah. Sebab, Anda barangkali berpikir itu terjadi hanya di dalam novel. Bukankah novel adalah karya fiksi yang, dengan demikian, peristiwa di dalamnya tidak benar terjadi?
Karakter karya fiksi memang seperti itu. Namun, pikiran Anda akan berubah jika membaca penjelasan Bonari Nabonenar, penyunting novel ini. Dalam "Kata Penyunting"-nya, sastrawan tersebut menjelaskan bahwa cerita dalam novel ini lebih merupakan cerita yang berbasis pengalaman nyata yang dialami penulisnya (hlm. v-vi).
Simak juga penjelasan Asih Aspalia, penulis novel ini. Dalam "Kata Pengarang", ibu dua anak kelahiran Blitar, Jawa Timur, 29 Mei 1974, ini menulis, "Di sini saya lebih banyak bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang saya alami sendiri. Jadi, sesungguhnya tulisan saya ini lebih merupakan memoar daripada fiksi." (hlm. ix)
Perjalanan Blitar—Yogyakarta dengan rute demikian dan selama itu benar-benar terjadi, dialami oleh tokoh Asih yang tak lain penulis novel ini. Perjalanan panjang itu terpaksa ditempuh Asih. Ini menjadi sebuah ironi sekaligus mengabarkan begitu besarnya semangat Asih untuk dapat mewujudkan cita-citanya.
Ironi, karena di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini ternyata ada saja keluarga yang begitu miskinnya hingga upaya meraih cita-cita dihadang banyak kendala.
Asih seorang seniman Jawa. Sejak SMA dia sudah main ketoprak dan calung. Ia sangat mengidolakan Bagong Kussudiardjo (BK). Bertemu BK dan menuntut ilmu seni budaya Jawa di Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo (PSBK) di Yogyakarta, lalu mendirikan sanggar seni Jawa di desanya di Blitar. Itu cita-cita besar Asih.
Namun, tak mudah mewujudkannya. Ekonomi jadi kendala. Apalagi, kemudian terjadi peristiwa yang memaksanya menikah dan punya anak di usia yang masih belia. Setelah itu, kesulitan mengurung Asih setelah tinggal di rumah mertua. Mertua memusuhi, sementara suami bergantung pada orang tua karena belum kerja.
Di tengah kesulitan itu, Asih tetap ingin menimba ilmu ke PSBK. Ia lalu cari uang dengan menjadi TKW. Selain untuk mewujudkan obsesinya, ia cari uang untuk keluarga.
Asih menjadi TKW selama lebih dari 20 tahun di tiga negara (Singapura, Malaysia, dan Taiwan). Sayangnya, saat Asih masih di Taiwan, ia mendapat kabar BK wafat. Padahal, belum sempat ia berguru pada BK dan tengah mengusahakan biayanya.
Namun, novel ini tak hanya menggambarkan kandasnya sebuah cita-cita meskipun sudah dibarengi dengan perjuangan yang luar biasa. Di sini juga ada kisah-kisah cinta yang mencengangkan dan berbagai peristiwa yang mengusik rasa kemanusiaan.
Bahkan, mengikuti episode Asih jadi TKW, pembaca dihadapkan pada realitas yang sangat memprihatinkan. TKW yang juga menyumbang devisa besar bagi negara, dijadikan mesin pengeruk uang, juga diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Sudah demikian, masih pula diperas oleh oknum aparat pemerintah, PJTKI, agen dan majikan di luar negeri, maupun oleh preman bandara di Indonesia.
Perlindungan terhadap TKW seolah-olah tak ada. Sebab, saat TKW ada masalah dengan majikan, agen membela majikan. Saat TKW ada masalah dengan agen, KBRI memihak agen. Jadi, benar atau salah, TKW selalu kalah. Padahal, selama ini TKW dielu-elukan sebagai Pahlawan Devisa.
Lewat novel ini, Asih Aspalia pun menggugat berbagai pihak atas realitas pahit yang diterima oleh TKW.
Yang istimewa dari novel ini, meskipun isinya rangkaian kisah duka, novel ini tidak terjebak dalam melodrama. Yang menyembul justru ketegaran dan kegigihan dalam berjuang mewujudkan obsesi dan menghadapi masalah demi masalah yang datang.
Novel yang sangat enak dibaca ini tidak tebal, hanya 115 halaman. Bagi Asih Aspalia, melahirkan novel ini pun memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Novel ini ditulis di Taiwan, di sela kesibukannya sebagai TKW. Ia biasanya menulis selepas kerja sekitar pukul 22.00 waktu setempat.
Menulis pun tidak memakai komputer, tapi ponsel. Dan harus sembunyi-sembunyi karena majikan melarang memakai ponsel. Tiap satu atau dua paragraf selesai, Asih mengirimkan kepada editornya menggunakan e-mail atau kotak pesan Facebook.
Pekerjaan Bonari Nabonenar sebagai editor pun tidak ringan. Sebab, potongan-potongan naskah yang diterima secara berangsur itu tidak jelas urutannya. Perlu ketelatenan untuk mengurutkan.
Belum lagi naskah yang ditulis dengan ponsel itu menggunakan "EYD" (ejaan yang di-sms-kan): penuh dengan singkatan dan banyak tanda baca salah letak yang menyimpang jauh dari Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Menguraikan singkatan-singkatan (bahasa SMS) itu dan menempatkan tanda baca pada posisi seharusnya, ini pun memerlukan ketelatenan yang kesabaran sang editor.
Perjuangan Asih melahirkan novel ini tak kalah gigih dengan perjuangannya untuk bisa menimba ilmu seni pada idolanya. Namun, hasilnya berbeda. Ia gagal total berguru pada BK, tapi ia sukses melahirkan novel yang sangat menarik ini. n
Kuswinarto, pembaca sastra, tinggal di Kediri, Jawa Timur
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2012
Jalan Lain ke Jogja
Asih Aspalia
Elmatera Publishing, Yogyakarta, 2012
xii + 115 hlm.
ORANG Blitar ingin menuntut ilmu seni ke Yogyakarta. Karena keluarganya miskin dan biaya jadi kendala, ia baru bisa sampai Yogyakarta setelah melanglangbuana ke Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Waktu yang diperlukan pun sangat lama: lebih dari 20 tahun!
Itu dialami oleh perempuan bernama Asih, tokoh utama novel Jalan Lain ke Jogja karya Asih Aspalia (Elmatera Publishing, Mei 2012).
Pengalaman Asih ini mungkin tidak membuat Anda terperangah. Sebab, Anda barangkali berpikir itu terjadi hanya di dalam novel. Bukankah novel adalah karya fiksi yang, dengan demikian, peristiwa di dalamnya tidak benar terjadi?
Karakter karya fiksi memang seperti itu. Namun, pikiran Anda akan berubah jika membaca penjelasan Bonari Nabonenar, penyunting novel ini. Dalam "Kata Penyunting"-nya, sastrawan tersebut menjelaskan bahwa cerita dalam novel ini lebih merupakan cerita yang berbasis pengalaman nyata yang dialami penulisnya (hlm. v-vi).
Simak juga penjelasan Asih Aspalia, penulis novel ini. Dalam "Kata Pengarang", ibu dua anak kelahiran Blitar, Jawa Timur, 29 Mei 1974, ini menulis, "Di sini saya lebih banyak bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang saya alami sendiri. Jadi, sesungguhnya tulisan saya ini lebih merupakan memoar daripada fiksi." (hlm. ix)
Perjalanan Blitar—Yogyakarta dengan rute demikian dan selama itu benar-benar terjadi, dialami oleh tokoh Asih yang tak lain penulis novel ini. Perjalanan panjang itu terpaksa ditempuh Asih. Ini menjadi sebuah ironi sekaligus mengabarkan begitu besarnya semangat Asih untuk dapat mewujudkan cita-citanya.
Ironi, karena di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini ternyata ada saja keluarga yang begitu miskinnya hingga upaya meraih cita-cita dihadang banyak kendala.
Asih seorang seniman Jawa. Sejak SMA dia sudah main ketoprak dan calung. Ia sangat mengidolakan Bagong Kussudiardjo (BK). Bertemu BK dan menuntut ilmu seni budaya Jawa di Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo (PSBK) di Yogyakarta, lalu mendirikan sanggar seni Jawa di desanya di Blitar. Itu cita-cita besar Asih.
Namun, tak mudah mewujudkannya. Ekonomi jadi kendala. Apalagi, kemudian terjadi peristiwa yang memaksanya menikah dan punya anak di usia yang masih belia. Setelah itu, kesulitan mengurung Asih setelah tinggal di rumah mertua. Mertua memusuhi, sementara suami bergantung pada orang tua karena belum kerja.
Di tengah kesulitan itu, Asih tetap ingin menimba ilmu ke PSBK. Ia lalu cari uang dengan menjadi TKW. Selain untuk mewujudkan obsesinya, ia cari uang untuk keluarga.
Asih menjadi TKW selama lebih dari 20 tahun di tiga negara (Singapura, Malaysia, dan Taiwan). Sayangnya, saat Asih masih di Taiwan, ia mendapat kabar BK wafat. Padahal, belum sempat ia berguru pada BK dan tengah mengusahakan biayanya.
Namun, novel ini tak hanya menggambarkan kandasnya sebuah cita-cita meskipun sudah dibarengi dengan perjuangan yang luar biasa. Di sini juga ada kisah-kisah cinta yang mencengangkan dan berbagai peristiwa yang mengusik rasa kemanusiaan.
Bahkan, mengikuti episode Asih jadi TKW, pembaca dihadapkan pada realitas yang sangat memprihatinkan. TKW yang juga menyumbang devisa besar bagi negara, dijadikan mesin pengeruk uang, juga diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Sudah demikian, masih pula diperas oleh oknum aparat pemerintah, PJTKI, agen dan majikan di luar negeri, maupun oleh preman bandara di Indonesia.
Perlindungan terhadap TKW seolah-olah tak ada. Sebab, saat TKW ada masalah dengan majikan, agen membela majikan. Saat TKW ada masalah dengan agen, KBRI memihak agen. Jadi, benar atau salah, TKW selalu kalah. Padahal, selama ini TKW dielu-elukan sebagai Pahlawan Devisa.
Lewat novel ini, Asih Aspalia pun menggugat berbagai pihak atas realitas pahit yang diterima oleh TKW.
Yang istimewa dari novel ini, meskipun isinya rangkaian kisah duka, novel ini tidak terjebak dalam melodrama. Yang menyembul justru ketegaran dan kegigihan dalam berjuang mewujudkan obsesi dan menghadapi masalah demi masalah yang datang.
Novel yang sangat enak dibaca ini tidak tebal, hanya 115 halaman. Bagi Asih Aspalia, melahirkan novel ini pun memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Novel ini ditulis di Taiwan, di sela kesibukannya sebagai TKW. Ia biasanya menulis selepas kerja sekitar pukul 22.00 waktu setempat.
Menulis pun tidak memakai komputer, tapi ponsel. Dan harus sembunyi-sembunyi karena majikan melarang memakai ponsel. Tiap satu atau dua paragraf selesai, Asih mengirimkan kepada editornya menggunakan e-mail atau kotak pesan Facebook.
Pekerjaan Bonari Nabonenar sebagai editor pun tidak ringan. Sebab, potongan-potongan naskah yang diterima secara berangsur itu tidak jelas urutannya. Perlu ketelatenan untuk mengurutkan.
Belum lagi naskah yang ditulis dengan ponsel itu menggunakan "EYD" (ejaan yang di-sms-kan): penuh dengan singkatan dan banyak tanda baca salah letak yang menyimpang jauh dari Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Menguraikan singkatan-singkatan (bahasa SMS) itu dan menempatkan tanda baca pada posisi seharusnya, ini pun memerlukan ketelatenan yang kesabaran sang editor.
Perjuangan Asih melahirkan novel ini tak kalah gigih dengan perjuangannya untuk bisa menimba ilmu seni pada idolanya. Namun, hasilnya berbeda. Ia gagal total berguru pada BK, tapi ia sukses melahirkan novel yang sangat menarik ini. n
Kuswinarto, pembaca sastra, tinggal di Kediri, Jawa Timur
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2012
No comments:
Post a Comment