Tuesday, September 19, 2006

Nuansa: Dilarang Pergi-Pergi


-- Udo Z. Karzi


LIMA hari kerja. Tapi, bekerja ya hari Selasa sampai Rabu saja. Malahan boleh jadi cuma sehari-dua. Selebihnya, ya terserah aja deh.

Kan lebih baik memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Pulang ke Bandar Lampung misalnya.

Negarabatin kan cuma tempat cari duit. Maka, habis gajian, malah bingung mau dibelikan apa kalau tetap di Negarabatin. Ya, ke kota dong. Yang ada mal, supermarket, diskotik, karaoke, dan segala hal yang tentu menyenangkan.

Jelas, ini kerugian besar buat Negarabatin. Bagaimana gaji yang didapat di Negarabatin keluar begitu saja alias dibelanjakan di luar. Kan uang tidak beredar di Negarabatin jadinya.

Mamak Kenut sih sejak dulu memang heran dengan kelakuan para pangreh praja yang bertugas di daerah, tetapi rumah, anggota keluarga, dan berbagai hal-hil masih tertinggal di ibukota.

"Gimana mau fokus kerja kalau badan di Negarabatin, tetapi perasaan, angan-angan, dan pikiran masih di tempat lain," kata Minan Tunja.

Tapi, Radin Mak Iwoh sih lebih toleran. "Ya, wajar aja dong. Tempat kita ini kan serba terbatas. Apa salahnya kalau orang sering keluar daerah untuk sekadar melepas kepenatan setelah bekerja keras. Apalagi itu pulang kampung," katanya.

"Siapa bilang itu pulang kampung? Itu kan pulang kota," sambar Mat Puhit.

"Benar-benar nggak efektif model kerja kayak gitu," celetuk Udien.

"Harusnya kan mereka lebih fokus di tempat kerja, di daerah mana mereka bekerja. Pulang kota sebulan sekali sih masih wajar. Tapi, kalau tiap minggu pulang, apa biaya transportasinya nggak membengkak. Jangan-jangan gaji malah sebagian besar habis dijalan?" Pithagras serius.

Setuju!

Bahasa kerennya disampaikan Staf Ahli Bupati Lampung Barat (Lambar) Effendi Ari dalam Seminar Pembangunan Lambar, Antara Realita dan Harapan di Liwa, Selasa (19-9). "Untuk meningkatkan investasi bagi perekonomian di Lambar, para pejabat dan pegawai negeri sipil (PNS) diminta tak meninggalkan Lambar setiap Jumat--Minggu."

Jika pejabat dan pegawai terus meninggalkan Lambar setiap Jumat--Minggu, menurut Effendi, uang atau gaji dari hasil kerjanya itu akan habis dibelanjakan di luar Lambar. Nilai investasi bagi perekonomian Kabupaten Lambar berkurang.

Masalahnya, itu semua hanya sebatas wacana. Teorinya, memang begitu. Tapi, prakteknya sulit. Apalagi tradisi 'pulang kandang' setiap Jumat sore itu justru dicontohkan para petinggi di Negarabatin.

"Pegawai sini ya ikut pulang dong kalau kepala dinasnya pulang. Emang pejabat aja yang boleh pulang kampung."

"Masa kangen ditahan-tahan?"

"Kan demi tugas."

"Mana bisa fokus bekerja kalau sedang dilanda rindu."

"Itu kan risiko dari status."

"Katanya sebagai abdi negara, abdi masyarakat, abdi...."

"Itu kan peraturannya. Mana ada yang benar-benar bekerja ideal kayak gitu. Sudah jelas aja, kerja itu untuk keluarga. La, kalau nggak pulang-pulang, apa enaknya kerja. Paling senang kan kalau berkumpul dengan keluarga."

"Kenapa nggak diajak aja ikut ke daerah tempat kerja?"

"Ya nggak bisa. Dia juga kan aga kerjaan."

"Ya, kan bisa diatur."

"Ya nggak gampang."

Dilarang pergi-pergi! Memang ada resiko. Tapi, resiko atau berbagai argumen untuk menolak larangan ini, jelas lebih kecil dibandingkan dengan kemaslahatannya jika larangan ini benar-benar dipraktekkan. Bagi Negarabatin, daerah tempat sang pegawai dan si pejabat bekerja dan mendapatkan gaji. Ya kan?

Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 September 2006

No comments: