TAHUN 2005, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan kebijakan penerapan bahasa Sunda sebagai muatan lokal (mulok) wajib bagi seluruh pelajar di tingkat Jawa Barat, mulai dari SD sampai SMA. Namun sama halnya dengan beberapa kebijakan lain, penerapan mulok bahasa Sunda belum diikuti dengan kesiapan sarana dan prasarana pendukung kebijakan tersebut.
Terbukti, hampir semua guru bidang studi bahasa Sunda bukan berlatar pendidikan bahasa Sunda. Padahal, kalau merujuk kebijakan pemerintah terkait sertifikasi guru yang menyebutkan bahwa profesionalitas guru dilihat dari materi pelajaran yang diberikan guru harus sesuai dengan latar pendidikan guru tersebut, maka tentu belum profesional dan tersertifikasi bila guru pendidikan jasmani (penjas) malah mengajar bahasa Sunda.
Namun, justru begitulah potret pelajaran bahasa Sunda di Jawa Barat. Di Wilayah Galuh Selatan-Ciamis, misalnya. Di kawasan ini, sedikitnya ada tujuh SMA/SMK, tetapi hanya seorang guru bahasa Sunda yang mengajar sesuai dengan bidang studi bahasa Sunda. Sisanya, mengajar dengan latar belakang pendidikan yang bukan bahasa Sunda.
Dampak yang terjadi, guru tidak punya pegangan cara mengajar. Mengajar jadi proses sambilan. Akibatnya, hasil yang diperoleh tidak maksimal. Bahasa Sunda hanya dianggap sebagai bahasa sehari-hari. Siswa ataupun guru tidak mendapat "nilai tambah" dari sekadar pelajaran bahasa Sunda. Padahal, khazanah kearifan lokal, moral, dan etika yang terdapat dalam bahasa Sunda dapat menjadi landasan manusia Sunda dalam berbudaya.
Terlebih posisinya yang strategis diberikan sebagai mata pelajaran mulok wajib bagi siswa yang sedang bertumbuh di tengah kepungan budaya global. Namun, nasib setiap kebijakan yang dibuat memang selalu hanya bertumpu pada kertas, tidak diikuti dengan pemenuhan kebutuhan bagi terealisasikannya kebijakan tersebut.
Ajip Rosidi pernah berkomentar keras saat Kota Bandung akan memberlakukan kebijakan mulok bahasa Sunda pada 2007. Kebijakan pemberlakukan bahasa Sunda sebagai mulok dipandang Ajip sebagai kemunduran. Padahal, seharusnya bahasa Sunda justru menjadi bahasa pengantar ilmu pengetahuan sehingga derajat bahasa Sunda menjadi terangkat. Guru-guru mau mempelajari lebih jauh bahasa Sunda.
Namun, pandangan ideal memang sering kali berseberangan dengan dunia nyata. Guru mengajar tidak sesuai dengan program studi (prodi) yang diberikan, ketersediaan buku sebagai bahan ajar juga minim. Tak mengherankan bila antusiasme guru pada acara "Saba Sastra" yang diselenggarakan Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS) di Ciamis-Pangandaran, Selasa-Rabu (20-21/7), di Ciamis dan Pangandaran, sangat tinggi. Guru seperti mendapatkan "energi baru bagi perjalanan mengajar mereka.
Guru membaca
Persoalan mendasar guru mengajar menurut pengarang dan wartawan senior H.M. Usep Romli bertumpu pada minat guru dalam membaca. Semakin tinggi kecenderungan guru mau membaca buku, semakin banyak peluang variasi dalam mengajar. Dengan membaca, guru bukan saja mendapat menambah ilmu dan wawasan, tetapi juga membuka ruang kreasi dalam pemikiran-pemikirannya.
Persoalan lain yang tampaknya sepele tetapi juga berarti dalam membangun situasi mengajar yang kondusif di kelas adalah gaul. Guru harus gaul. Seorang guru yang gaul dengan guru yang hanya mengandalkan mengajar pada sumber bahan ajar, hasilnya akan jauh berbeda dengan guru yang gaul. Guru gaul dapat menimba banyak pengalaman dari orang lain melalui pergaulannya. Kendati begitu, potret bahasa Sunda saat ini memang dalam posisi pabaliut. Banyak unsur serapan lain yang masuk ke dalam bahasa Sunda dan digunakan begitu saja tanpa mengindahkan etika berbahasa. Kondisi ini ditengarai karena semakin bercampurbaurnya berbagai kebudayaan manusia sebagai dampak globalisasi.Akibatnya, bukan semata mengundang senyum, tetapi juga memengaruhi perilaku dan kepribadian anak-anak tersebut secara budaya. Kondisi ini notabene tidak dapat dihindari, mengingat keberadaan bahasa memang sifatnya senantiasa berubah, selayaknya bagian dari budaya yang sedang berubah.
Dalam kaca mata Dr. Safrina Noorman, hambatan guru mengajar bergantung pada teks yang digunakan. Bila teks (bahan ajar) yang digunakan hanya bersumber terbatas, jangan mengharapkan "feedback" lebih dari guru saat mengajar. Teks bahan ajar yang variatif akan menjadikan pelajaran itu menarik. Akan tetapi persoalannya, Safrina mengakui, sangat sedikit sumber ataupun bahan ajar yang beragam. Apalagi pelajaran bahasa Sunda juga dikategorikan sebagai muatan lokal (mulok) sehingga sangat terbatas para penulis yang mau menulis untuk kepentingan tersebut.
Potret ini, menurut pupuhu PPSS Dra. Etti R.S., M.S., dapat ditengahi dengan adanya kebijakan pemerintah untuk mendukung penerbitan buku-buku sumber yang lebih beragam. Pada tahun 2008, Pemprov Jabar pernah mengundang sejumlah penerbit untuk memberikan buku-buku yang pantas direkomendasikan sebagai bahan ajar dan sumber pendukung pembelajaran bahasa Sunda di sekolah. Namun sampai sekarang, buku-buku yang sudah dikirimkan penerbit untuk direkomendasikan pemerintah belum muncul.
Pemprov Jabar belum (juga) memberikan rekomendasi bagi buku-buku sebagai bahan ajar dan sumber yang pantas untuk digunakan guru. Padahal kebijakan tersebut, menurut Etti, cukup strategis. Secara budaya, guru lebih mau membeli buku yang direkomendasikan pemerintah dibandingkan dengan membeli buku atas inisiatif sendiri. Budaya ini mestinya menjadi alasan bagi pemerintah untuk mempercepat proses pembubuhan rekomendasi tersebut. Keuntungan lainnya, pembubuhan rekomendasi dapat merangsang para penulis untuk lebih bergiat melahirkan buku dan karya terbaru.
Siswa berkarya
Berbeda dari "Saba Sastra" sebelumnya, "Saba Sastra" yang ke VIII ini diisi dengan lokakarya untuk pelajar. Dalam workshop yang digelar di Pangandaran, pelajar dari tujuh SMA/SMK dapat mengapresiasi karya dari para pelaku sastra, seperti Dian Hendrayana yang membahas musikalisasi puisi, Asep Ruhimat (penulisan karya sastra), dan Rosyid E. Abby (pengadaptasian karya sastra ke dalam drama).
Ruang baru "Saba Sastra" ini bukan hanya mengenalkan bahasa dan sastra Sunda lebih dekat kepada siswa, tetapi juga menjadikan karya sastra sebagai karya yang "hidup" untuk diapresiasi. Dian Hendrayana misalnya, bukan hanya mengenalkan karya sastra dan bukan karya sastra. Akan tetapi, ia juga menjadikan karya sastra sebagai karya seni yang dapat dinikmati banyak orang. Sebuah puisi yang baik, menurut Dian, tampak dari pemilihan kata (diksi) yang digunakan dan makna (pesan) yang disampaikan. Sebuah puisi akan dapat menjadi lagu melalui pemaknaan kata dari puisi tersebut. Contoh, kata cipanon (air mata-red.) tentulah akan menggambarkan sebuah kesedihan atau suasana sedih sehingga melodi yang dipilih pun harus mampu menggambarkan kesedihan itu.
Di dunia drama begitu juga. Sutradara Rosyid E. Abby yang telah mengerjakan banyak pementasan berhasil menyulut semangat siswa untuk mendedah satu puisi karya W.S. Rendra menjadi naskah drama. Hasilnya, sebuah monolog menarik dengan vokal teruji yang dipergelarkan siswa. Semua kerja kreatif ini tentu saja menjadi atmosfer baru yang menarik bagi siswa yang notabene sama hausnya dengan para guru dalam mendapatkan hal-hal baru berkenaan dengan bahasa dan sastra Sunda.
Dalam pendangan Heri Heriadi, pengarang dan penulis skenario, lokakarya seperti ini sesungguhnya jauh lebih efektif dibandingkan dengan diklat yang diberikan kepada guru. Hal itu dapat dilihat dari tingkat antusiasme dan sikap spontan siswa saat mengikuti kegiatan. Siswa juga dapat memilih kecenderungannya pada bahasa dan sastra. Dengan demikian, pembelajaran bahasa dan sastra Sunda yang notabene cenderung monoton justru jauh lebih "hidup" dan berenergi.
Apalagi pada "Saba Sastra" kali ini dihadirkan pula sejarahwan Prof. Dr. Nina Herlina Lubis yang membahas tentang sejarah Galuh dan perannya dalam sejarah kesundaan. Wawasan-wawasan seperti itu yang diinginkan para guru. Selain terdapat kepentingan untuk bahan ajar, juga ada kedekatan secara emosional terhadap potensi kedaerahannya.
Sayang, karena "Saba Sastra" ini hanya digelar sehari di masing-masing tempat, energi yang diberikan masih tercerai-berai. Padahal, bila saja Pemprov Jabar, Unpad, dan Yayasan Masyarakat Sejarah Indonesia (YMSI) selaku pendukung acara memberikan waktu lebih, dipastikan akan terbentuk klub-klub baru pecinta bahasa dan sastra di Galuh Selatan, yang tentu saja tidak lagi sebatas mempelajari bahasa dan sastra Sunda tetapi juga micinta dan mikanyaah (mencintai dan menyayangi) bahasa dan sastra Sunda. (Eriyanti/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 25 Juli 2010
No comments:
Post a Comment