-- Wannofri Samry
PALING tidak lima tahun terakhir, universitas-universitas Indonesia secara serentak menslogankan ”universitas kelas dunia”. Slogan ini seperti nyanyi vokal yang tidak jelas awal bunyi dan akhirnya. Bunyi nyanyi itu indah, didengar dan dibayangkan, tetapi buruk dilihat dan pahit dirasakan. Realitasnya, perguruan tinggi di Indonesia tidak pernah menduduki peringkat puncak di Asia. Bahkan, di Asia Tenggara.
Dibandingkan dengan dua jirannya, Malaysia dan Singapura, keterpurukan perguruan tinggi sudah terlihat jelas. Sejumlah universitas Malaysia dan Singapura pernah menduduki posisi puncak dalam peringkat di Asia. National University Singapura, misalnya, pada 2009 menduduki peringkat nomor tiga Asia, Universiti Malaya menduduki peringkat ke-4 Asia (2004), dan Universiti Kebangsaan Malaysia masuk 200 dunia pada 2006.
Tahun 2010 ini, berdasarkan peringkat yang ditetapkan QS (London), Indonesia belum juga bisa mencatat capaian impresif. Ketika Malaysia menempatkan lima universitasnya dalam peringkat 100 terbaik Asia, Indonesia hanya menempatkan dua universitas saja.
Untuk Indonesia, posisi terbaik dicapai Universitas Indonesia (UI) yang masuk dalam peringkat 50 Asia dan Universitas Gadjah Mada (UGM, 85).
Lemah basis pustaka
Adalah kenyataan, di Indonesia, universitas yang dapat masuk peringkat 200 besar Asia adalah universitas yang berada di Pulau Jawa saja. Maknanya, pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia belum merata.
Di luar masalah itu, universitas-universitas di Indonesia juga belum memiliki satu kebijakan pendidikan yang progresif dan reformatif untuk—katakanlah—membangun sistem dan fasilitas pendidikan yang berkelas dunia. Dibandingkan dengan Malaysia, fasilitas dunia itu segera tampak hampir di semua fasilitas yang mereka miliki. Mulai dari laboratorium, ruang kuliah, perpustakaan, hingga anggaran operasional yang mencukupi.
Sementara di Indonesia, dari segi perpustakaan, umpamanya, Universitas Indonesia (yang kini masuk 50 Asia) hanya mampu meminjamkan buku kepada mahasiswa sebanyak lima buku per mahasiswa, durasi selama 15 hari per satu buku, dengan perpanjangan bisa meminjam selama 45 hari. Sistem peminjaman dan pengadaannya pun, juga umumnya di universitas lain, bersifat lokal, bahkan masih banyak manual. Di Malaysia, semua mahasiswa boleh meminjam 20 buku per kartu dan masa pinjaman 40 hari dan boleh diperpanjang sampai 140 hari. Dan, semua itu dilengkapi dengan sistem jejaring elektronik yang dapat bertukar akses dengan berbagai perguruan tinggi dunia lainnya.
Perguruan tinggi di Malaysia sangat sadar terhadap pentingnya buku. Hal itu terlihat dengan upaya keras mereka meningkatkan kuantitas koleksi setiap tahun. Mereka mempunyai tim pemburu buku dan jaringan pemesanan buku di berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia. Tidak salah jika berbagai terbitan dan kliping Indonesia disimpan di berbagai perpustakaan universitas Malaysia.
Kita dapat dengan mudah menemukan koleksi lengkap majalah Editor, Tempo, Pandji Masyarakat, Suara Mesjid, Horison, dan majalah yang (mungkin) dianggap tak penting di Indonesia, seperti Aneka Minang yang terbit tahun 1970-an. Bahkan, kita pun bisa mendapatkan majalah terbitan Hindia Belanda, seperti Indische Verslag, Koloniale Studien, De Journalistiek van Indie, dan Kroniek Oostkust van Sumatra Instituut, sekadar menyebutkan contoh.
Perpustakaan mereka juga dilengkapi dengan ruang audio visual yang menyimpan dokumen mikrofilm, CD-DVD, kaset, dan film. Perpustakaan di Malaysia juga menyediakan ruangan-ruangan untuk mahasiswa peneliti, ruang diskusi mahasiswa, dan ruang laboratorium komputer-cyber serta menyediakan bioskop mini, juga untuk menonton film.
Kondisi Indonesia
Indonesia, dengan kebijakan hebatnya yang meningkatkan porsi anggaran pendidikan hingga 20 persen, ternyata malah cenderung menswastakan universitas negeri. Artinya, memberikan beban yang harus dipikul negara kepada rakyat banyak. Porsi 20 persen dari APBN tentu sangatlah signifikan. Namun, mengapa justru perguruan tinggi semakin menguatkan dirinya sebagai komoditas mewah yang hanya dapat diakses sebagian kecil penduduk saja?
Sebenarnya Indonesia, hingga saat ini—walau diam-diam—masih menjadi acuan utama bagi Malaysia dan mungkin bagi sebagian negara ASEAN. Bangsa Indonesia disukai di Malaysia karena dianggap lebih dinamis, kreatif, dan egaliter. Situasi yang sangat disenangi oleh dosen-dosen Malaysia. Bangsa Indonesia mempunyai alasan dasar historis dan basis budaya pendidikan yang kuat dibandingkan Malaysia atau sejumlah negara lain. Begitu pun gairah intelektual lebih dahulu muncul di Indonesia dibandingkan Malaysia.
Demikian pula kondisi geografis, politis, historis, hingga kultural, Indonesia menempati posisi tersendiri karena kekayaan, kebesaran, dan kematangannya. Namun sayang, semua itu tidak menjadi alasan kuat untuk membuat perguruan tinggi di Nusantara ini menjadi acuan yang terbaik. Kita ingat, bahkan pada abad ke-7, masa Sriwijaya, kita sudah memiliki universitas yang menjadi acuan banyak negara. Mungkin itulah salah satu universitas tertua di dunia.
Sayang, sekali lagi sayang, kita seperti tertidur dalam kemewahan warisan hebat di atas. Adakah karena kebijakan dan sistem yang tidak cerdas. Atau manusianya yang tidak cerkas. Jawabannya harus kita dapatkan bersama.
* Wannofri Samry, Dosen Universitas Andalas, Mahasiswa Doktoral Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM)
Sumber: Kompas, Sabtu, 24 Juli 2010
No comments:
Post a Comment