-- Anjrah Lelono Broto
GELI rasanya sosok Spongebob dalam film kartun Spongebob Squarepants yang saban hari menyambangi rumah kita dengan senyum dan tawanya yang khas. Kegelian tersebut bukan karena disulut oleh kekuningan warna kulitnya, keluguan komunikasinya, atau kelakarnya dengan Patrick Si Bintang Laut dan Tuan Krabb Si Kepiting. Kegelian justru meruap dari kesaksian kita melihat hobinya bermain gelembung.
Kemudian, apa yang menarik dari bermain gelembung? Salahkah jika ada yang memiliki hobi bermain gelembung?
Tak ada yang salah dengan gelembung. Namun, jika kita menyaksikan kelindan tokoh-tokoh nasional di Ibu Kota yang acap ditayangkan di media televisi, menjadi headline media cetak nasional maupun lokal, ataupun materi diskusi dan demonstrasi di Tanah Air, bukankah kita sedang menyaksikan mereka sedang bermain gelembung?
Gelembung yang indah dilihat namun nir isi menjadi simbol yang tepat untuk menggambarkan karakter dan perilaku tokoh-tokoh nasional Indonesia, hari ini. Dari presiden, menteri, anggota Dewan, pejabat-pejabat lembaga tinggi negara, hingga politikus kelas lokal yang tengah mengadu nasih dalam bursa pemilihan kepala daerah, bukannya melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sejalan dengan amanat rakyat, mayoritas mereka justru menggeliat-berlari kesana-kemari dengan dari gelembung satu ke gelembung yang lain.
Rakyat bukannya dilegakan dengan kesuksesan melaksanakan amanat yang dijabarkan dengan tupoksi masing-masing. Namun, rakyat justru dibuat bingung dengan kebelingsatan mereka memainkan gelembung. Sekian waktu, rakyat dininabobokan dengan jargon, program, pernyataan maupun blow up pemberitaan yang identik dengan gelembung, meletus dan muncul lagi. Parahnya lagi, sekian waktu tersebut semakin lama semakin menyempit ukurannya. Hitungan hari, jam, hingga detik, bertebaran gelembung dari meja serta bibir figur-figur yang duduk dalam lingkaran kekuasaan. Pelansiran program dan pernyataan yang serba cepat dan serba gampang tersebut semakin mengidentikkan diri dengan bermain gelembung, cepat membesar, indah, tetapi nir isi. Tentu saja, gelembung-gelembung tersebut bisa menciptakan empati maupun simpati, meski realitanya hampa dan semu.
Berguru pada Agus Salim
Mayoritas sosok pemimpin Indonesia telah menorehkan catatan bahwa menjadi "orang besar" itu ternyata tidak instan dan serbacepat. Melainkan melalui perjalanan panjang yang berliku. Adalah sosok K.H. Agus Salim, salah satu tokoh Muhammadiyah yang memiliki peran besar di awal kemerdekaan bangsa ini.
Di masa itu, sosoknya yang agamis tidak menciptakan sekat pembatas dengan golongan nasionalis maupun sosialis. Di sisi lain, keteladanan yang seyogianya kita copy paste adalah keteguhannya untuk berpedoman pada etika dan mempertahankan karakternya sebagai public property of nation.
K.H. Agus Salim (dalam tulisan ini kita sapa dengan Agus) kita kenal sebagai sosok pemimpin yang beretika dan berkarakter. Beretika karena mau menghormati hak dan kewajiban orang lain secara singular dan masyarakat secara plural. Ditasbihkan beretika karena dia terang terangan memenangkan pertarungan antara idealisme vs godaan kekuasaan. Memimpin, bagi Agus, adalah menderita. Godaan kekuasaan pascakemerdekaan RI mampu dimentahkan semata untuk menjaga kepekaan dirinya terhadap situasi dan kondisi rakyat Indonesia secara holistik. Mengingat, tujuan mendasar kemerdekaan bangsa ini adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Agus dalam berpolitik senantiasa berpegang pada kesadaran memafhumi kode etik ke-Indonesia-an, sejalan dengan idiomatikal Jawa sepi ing pamrih rame ing gawe, jer basuki mawa beya, dan crah agawe bubrah, rukun agawe santosa. Kesadaran ini mampu menjaganya dari arus permainan politik yang mengarah pada kebusukan pemikiran dan perilaku, sebagaimana politikus kita dewasa ini.
Di satu pihak, beliau dikenal sebagai pribadi yang berkarakter karena Agus sangat menghindari lakuan tindak-tutur yang mencla-mencle yang esuk dhele sore tempe. Dus, tak ada tempat bagi pandangan politik seperti "sekarang jadi kawan, besok bisa saja menjadi lawan". Kemampuannya untuk menjaga lakuan tindak-tuturnya agar dijauhkan dari perilaku menca-mencle tecermin pada keberaniannya untuk berpidato dalam bahasa Melayu (Indonesia) pada sidang Dewan Rakyat (Volksraad) yang menggegerkan pemerintah Kolonial Belanda, untuk pertama kalinya. Padahal, beliau dikenal sebagai sosok pribumi yang menguasai beberapa bahasa asing, termasuk Belanda.
Bijaksana dan �Bijaksini�
Dalam filsafat modern, secara mendasar tertuang nilai etika, yakni berkehendak baik, keadilan, dan pengembangan diri. Seorang pakar hermeneutika Prancis, Paul Ricoueur, mengatakan bahwa etika politik bertujuan untuk membangun perikehidupan yang baik dalam kebersamaan. Pandangan filsafat ini menuntun pemahaman kita pada pengetahuan bahwa etika politik merupakan manajemen kebersamaan hidup yang baik. Sebuah tata perikehidupan yang menjadi habitat subur prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, kesetaraan, penghargaan, dan solidaritas.
Demi kemaslahatan umat secara holistik, seorang pemimpin dengan roh etika akan membunuh pragmatisme politik. Memperhatikan makna akuntabilitas, sebuah makna yang berpijak pada spirit "dari dan untuk rakyat", bahwa politikus yang accountable akan menyadari dirinya berasal dari rakyat, dan karena itu sepatutnyalah apabila berkewajiban menjaga amanah dan membayar reward yang telah disandarkan rakyat kepada dirinya.
Agus bisa digambarkan pribadi yang berkarakter bijaksana dan bijaksini, bijak di sana ketika berhadapan dengan masyarakat umum, serta bijak di sini ketika berhadapan dengan �orang-orang dekat�,
bahkan dirinya sendiri. Tidak tebang pilih, dan tidak emban cindhe embank siladan.
Karakter bijaksana dan bijaksini ini disematkan di dada pemimpin yang setiap ucapannya dilaksanakan dengan penuh konsekuen dan tanggung jawab. Sikap yang berlandas pada karakter bijaksana dan bijaksini memberikan kepastian hukum kepada masyarakat sehingga membangun thrust society. Hal ini dilatarbelakangi oleh realita bahwa pemimpinnya akan menjalankan semua peraturan dengan penuh dedikasi demi kemaslahatan rakyat. Pada akhirnya tentu bermuara pada terbentuknya clean government, pemerintahan yang berwibawa dan bersih. Dengan sendirinya, rakyat akan menemukan keteladanan personal sehingga dengan mudah dapat di-copy paste.
Adakah sosok Agus di Indonesia hari ini? Adakah keteladanan personal di jajaran pemimpin-pemimpin kita, baik di lingkaran pusat, daerah, ormas, maupun parpol? Sayangnya, hari ini sangat sulit mencari sosok pemimpin seperti Agus. Ketika kita tengok sejarah hidup K.H. Agus Salim, ketika dia menempati posisi menteri pascaproklamasi kemerdekaan RI, hidupnya tidak secara drastis berubah. Menurut catatan harian Prof. Schermerhorn, K.H. Agus Salim sangat pandai dalam bidang bahasa. Dia mampu berbicara dan menulis dalam sembilan bahasa, tetapi hingga akhir hayatnya tetaplah dia tergolong dalam kelompok masyarakat ekonomi lemah.
Bandingkan dengan para politikus yang "numpang mandi" dan "numpang makan" dalam progresivitas demokrasi di Indonesia hari ini. Asumsi publik bahwa berpolitik merupakan jenis profesi semakin mendekati realita, merujuk pada fakta-fakta yang terus berseliweran dalam ruang pandang dan ruang permenungan kita hari ini.
Ternyata hingga 65 tahun kemerdekaan bangsa ini, Indonesia masih dan kiranya terus masih dipimpin oleh pemimpin-pemimpin model gelembung sabun. Indah dipandang, tetapi kosong melompong.
* Anjrah Lelono Broto, Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 17 Juli 2010
No comments:
Post a Comment