Monday, July 26, 2010

Buruh Indonesia: Evolusi Romusa di Tanjung Uncang

-- Laksana Agung Saputra

BUKAN bermaksud mendramatisasi jika diksi yang dipilih adalah romusa. Tujuannya satu, agar setiap nurani kemanusiaan risi karena romusa sebagai tragedi sejarah bangsa Indonesia sejujurnya mengalami repetisi dalam bentuknya yang baru; buruh galangan kapal di Batam.

Sejumlah buruh galangan kapal berkumpul di depan tempat indekos mereka di kawasan rumah liar diTanjung Uncang, Batam, Rabu (28/4). Buruh selama ini dieksploitasi tenaganya, sedangkan hak normatifnya dibabat habis-habisan.(KOMPAS/LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

Lebih dari 60.000 buruh Indonesia bekerja di sedikitnya 60 perusahaan galangan kapal di Tanjung Uncang, Batam. Mayoritas buruh bekerja di level pesuruh hingga tukang. Hanya beberapa yang levelnya mandor ke atas sehingga lebih tampak sebagai figuran di sela-sela para tenaga kerja asing.

Ada tiga kategori status buruh di setiap galangan kapal, yakni buruh subkontraktor perusahaan utama, buruh paruh waktu di perusahaan utama, dan buruh organik atau karyawan tetap. Di antara ketiganya, buruh subkontraktor yang terbanyak dan paling rentan dieksploitasi.

Sekadar contoh, PT Drydocks World Graha (DWG). Dari sekitar 9.000 buruh, hanya 1.915 buruh atau 21 persen yang berstatus karyawan tetap. Sisanya adalah buruh subkontraktor dan paruh waktu.

Hubungan industrial pada buruh organik dan paruh waktu terbilang lumayan jelas. Sementara pada buruh subkontraktor, sebagian besar absurd karena perusahaan subkontraktor banyak yang tak kompeten. Buktinya, hampir semua tak terdaftar di Dinas Tenaga Kerja Kota Batam.

Parahnya lagi, tak sedikit yang sebenarnya hanya makelar penyalur tenaga kerja perseorangan berkedok perusahaan subkontraktor. Makelar itu diduga kuat adalah oknum dalam perusahaan atau orang luar yang berjejaring dengan oknum dalam perusahaan.

Slamet (25), bukan nama sebenarnya, pernah mengecek perusahaan subkontraktor yang merekrut dia karena tidak pernah mendapat tunjangan kesehatan. Ternyata, perusahaan tersebut fiktif.

Kontrak kerja yang membabat banyak hak buruh tak pernah dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. Buruh hanya diminta menandatangani kontrak kerja tanpa diberi dokumennya.

Fondasi hukum yang sedemikian rupa menimbulkan rentetan penindasan atas buruh. Persoalan klasik pun kembali bergaung. Demi pekerjaan yang sulit dicari, buruh pasrah menerima perlakuan tak adil.

Setali tiga uang, pengawasan pemerintah pun melempem. Dari keterangan buruh, mobil berpelat merah sering keluar- masuk perusahaan. Entah apa misi petugasnya, yang jelas tak pernah ada penertiban atas pelanggaran hak buruh setelahnya.



Mati-matian

Bekerja di galangan kapal, menurut istilah buruh, mati- matian, bahkan sampai mati dalam arti harfiah. Kasus kematian sebagai kecelakaan kerja terjadi hampir setiap tahun.

Pada 19 Januari 2009, Rahman (27) tewas seketika akibat tertimpa pelat besi di PT ASL. Ia adalah buruh perusahaan subkontraktor CV Citra Karyasindo Prakarsa.

Terakhir, 6 Maret, Jokiper, buruh PT Citra Karya Mandiri, yang merupakan subkontraktor mitra kerja PT DWG, juga tewas akibat kecelakaan kerja. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak.

Risiko itu menghantui buruh dalam kerjanya di bawah terik matahari selama seharian. Sebagian buruh bekerja sampai 9 jam per hari tanpa perhitungan waktu dan upah lembur.

Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 102 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur, jika waktu kerja yang diterapkan 8 jam per hari, Sabtu dan Minggu harus dihitung libur atau jika masuk kerja, harus atas kesepakatan dengan buruh, dengan perhitungan upah lembur.

Dalam kondisi itu, hak buruh dikebiri habis-habisan. Sekadar menyebut beberapa, upah rendah, tunjangan nihil, Jamsostek tak jelas, dan status kontrak dilestarikan dengan cara buruh dipingpong dari perusahaan subkontraktor satu ke perusahaan subkontraktor lainnya.

Ketua Konsulat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Kota Batam Nurhamli menyatakan, terjadi ketimpangan antara tuntutan dan risiko kerja di satu sisi dengan imbalan di sisi lain. Buruh di mata perusahaan hanya dinilai sebagai mesin produksi sehingga biayanya harus ditekan seminimal mungkin. Artinya, hubungan kerja yang terjadi adalah model pengisapan.

Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam Riky Indrakari menyatakan, telah terjadi eksploitasi dan perdagangan terhadap buruh galangan kapal. Lemahnya pengawasan mulai dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sampai Dinas Tenaga Kerja Kota Batam menyebabkan pelanggaran terus terjadi.

”Bahkan, saya berani bilang telah terjadi perbudakan atas buruh galangan kapal. Dan ini dilakukan secara serentak oleh berbagai oknum yang mencari keuntungan pribadi,” kata Riky.

Paradoks

Perusahaan galangan kapal boleh jadi jenis usaha level dunia. Teknologinya mutakhir, melibatkan pemikir-pemikir kelas wahid, dan ordernya triliunan rupiah. Namun, ironisnya, begitu urusannya menyangkut buruh, rasanya tak ada satu item pun yang bisa dibanggakan atau linier dengan pamor itu semua.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, romusa adalah orang-orang (Indonesia) yang dipaksa bekerja berat pada zaman penjajahan Jepang, 1942-1945.

Dalam ruang sejarah, romusa dieksploitasi tenaganya habis- habisan untuk kepentingan penjajah. Romusa yang tertindas secara struktural tak berdaya. Di mata penjajah, romusa tak lagi berwajah manusia, tetapi mesin produksi semata.

Jika halnya demikian, apa bedanya dengan buruh galangan kapal. Kelihatannya saja bekerja tanpa paksaan dan dibayar, tetapi sebenarnya buruh dipaksa oleh keadaan dan dieksploitasi kepentingan ”raksasa-raksasa” ekonomi dan makelar-makelar lokal.

Maka, tragedi romusa sejatinya tak pernah benar-benar terkubur dalam buku-buku sejarah. Kendati dimensi waktu telah bergeser 65 tahun, kisah romusa terus berevolusi dalam bentuk baru.

Karl Marx dalam salah satu karyanya menyebutkan, faktor yang menentukan sejarah bukan politik atau ideologi, melainkan ekonomi. Maka, kini Indonesia memilih membiarkan repetisi tragedi romusa lagi atau menjadi bermartabat dalam tatanan ekonomi global.

Sumber: Kompas, Senin, 26 Juli 2010

No comments: