-- Maman S Mahayana*
Bahasa Melayu, yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, sudah sejak lama mengandung dan mengundang sihir. Ia menyimpan kekuatan magis. Siapa pun yang berhubungan intim dengannya, bakal terjerat pesona. Menggaulinya laksana menggerayangi sosok tubuh yang penuh misteri.
Semakin mengenal seluk-beluknya, semakin ingin mengungkap daya pukaunya. Di situlah, bahasa Indonesia sebagai saluran ekspresi. Ketika bahasa etnik mampat dan gagal menjadi alat komunikasi yang dapat dipahami etnik lain, ketika itulah bahasa Indonesia tampil sebagai pilihan.
Bagi siapa yang lahir dan dibesarkan dalam kultur etnik, bahasa Indonesia ibarat doa pengasihan yang mengerti hasrat kreatifnya. Ia membebaskan beban linguistik etnisitas, sekaligus juga membuka ruang penerimaan kultur dan bahasa lain, meski kemudian dipandang sebagai perilaku menyerap unsur asing atau daerah. Akulturasi seperti itu terjadi begitu saja, alamiah.
Bahasa Indonesia menjelma produk budaya yang paling toleran, akomodatif, luwes, egaliter demokratis, bahkan juga cenderung liberal. Itulah kekuatan magis bahasa Indonesia. Dari sanalah ia memancarkan sihirnya. Dari Melayu awalnya.
Sejak kedatangan bangsa Portugis yang terpukau keindahan bahasa Melayu pada abad ke-14, tarik-menarik antara bahasa asing dan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan dan administrasi pemerintahan selalu pemenangnya jatuh pada bahasa Melayu. Dalam Itinerario (1596), Linschoten—misionaris yang bergelandang di pelosok Nusantara—membandingkan bahasa Melayu seperti bahasa Perancis sebagai orang Belanda. "Pada akhir abad ke-16, bahasa Melayu telah demikian maju sehingga menjadi bahasa budaya dan perhubungan".
Dikatakan A Teeuw (1994), "Setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan antarbangsa dikawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu."
Jauh sebelum itu, bahasa Melayu pernah begitu reputasional, yang di Nusantara berhasil membangun peradaban lewat keagungan Hindu, Buddha, dan Islam. Jaringan diplomatik dengan pusat-pusat kebudayaan di India, Parsi, Tiongkok, dan negara-negara Eropa menempatkan bahasa Melayu begitu populis, sekaligus elitis. Berbagai prasasti, surat-surat emas, dan naskah-naskah berbahasa Melayu menunjukkan bukti-bukti itu.
Pesona bahasa Melayu telanjur kokoh sebagai lingua franca dan alat masyarakat merepresentasikan keberaksaraan, bahkan juga kebudayaannya. Maka, masuknya unsur bahasa etnik dan bahasa asing, bagi bahasa Melayu, seperti tabungan deposito yang berkembang bunga- berbunga. Bahasa-bahasa etnik di Nusantara dan bahasa asing itu memberi sumbangan dan menambah kekayaan kosakata bahasa Melayu.
Pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia (28 Oktober 1928), meski awalnya berbau keputusan politik, dalam perkembangannya tak terelakkan jadi ekspresi kultural. Begitu juga penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo (1938), menunjukkan kedua aspek itu: kepada pemerintah kolonial, kongres sebagai gerakan politik, dan kepada masyarakat non-Melayu di Nusantara, sebagai gerakan kebudayaan.
Maka, setelah itu Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, yang terus menggelinding itu, adalah gerakan kultural. Sejak itulah, secara arbitrer bahasa Indonesia menyihir segenap etnis memasuki wilayah kultur keindonesiaan. Keberagaman para pemakainya seolah- olah tetap di simpan dalam kotak etnik, dan perasaan kebangsaan dimanifestasikan lewat ekspresi bahasa Indonesia.
Sihir bahasa Indonesia
Usia bahasa Indonesia kini menjelang sepuluh windu. Rentang usia yang bagi manusia makin ringkih digerogoti kerentaan, kepikunan, dan serangan berbagai penyakit tua. Tetapi bahasa (Indonesia) adalah produk kebudayaan. Ia tak bakal mengalami kerentaan itu. Ia akan terus hidup selama tetap digunakan pemakainya dan tidak kehilangan pendukungnya. Bahasa Indonesia bergerak dinamis mengikuti zaman dan selalu akan menyesuaikan diri sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.
Kini bahasa Indonesia makin deras disusupi kosakata bahasa Inggris. Apakah itu berarti telah terjadi pencemaran? Jika dianggap polusi, apakah akan berakibat buruk bagi perkembangan bahasa Indonesia sendiri yang ekornya akan memudarkan sendi-sendi nasionalisme? Tentu saja tidak. Justru itulah manifestasi sihir bahasa Indonesia yang inklusif, terbuka, toleran, luwes, dan akomodatif.
Jadi, sungguh tak senonoh jika ada pihak-pihak yang kelewat mencemaskan perjalanan hidup bahasa Indonesia, hanya lantaran rentetan kosakata bahasa Inggris berloncatan di depan mata. Dalam konteks ini, menempatkan diri sebagai polisi secara berlebihan akan berakibat pada terjadinya serangkaian pemasungan kreatif.
Sebagaimana yang terjadi dalam bahasa Inggris, dialek—bahkan juga idiolek—muncul di mana-mana. Kosakatanya merembes dan nongkrong seenaknya di antara kosakata bahasa-bahasa negara lain, seolah-olah ia sudah menjadi warga negara sendiri. Kini, kosakata bahasa Inggris secara laten diambil, diterima, dan digunakan tanpa ada rasa rikuh. Masuknya kosakata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, juga sudah terjadi sejak lama sejalan dengan penerimaan kosakata bahasa asing lainnya. Maka, ketika ia sebagai bahasa Indonesia, seketika kita lupa pada asal-usulnya.
Perhatikan contoh kalimat ini: Menurut kalkulasi primbon jawa dan perhitungan fengsui, kursi, meja dan komputer itu seyogianya diletakkan menghadap jendela tanpa kaca, agar sirkulasi udara dapat menerobos masuk ruangan. Semua kata yang dicetak miring dalam kalimat itu bukan berasal dari bahasa Melayu. Di sana, ada serapan dari bahasa Jawa (menurut, primbon, menerobos), Inggris (kalkulasi, sirkulasi), Minangkabau (diletakkan), Kawi (menghadap, masuk), Perancis (komputer), Portugis (meja, jendela, kaca), China (fengsui), Arab (kursi), dan Sanskerta (tanpa, seyogianya). Jika masih tak yakin, cermati Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka di sana kita akan menjumpai lebih dari separuh entri dalam kamus itu berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing. Itulah sihir bahasa Indonesia, menerima serapan dari berbagai bahasa, dan kita enteng saja mengungkapkannya tanpa dihantui kecemasan, tanpa merasa tercemar.
Sikap bijaksana
"Bahasa menunjukkan bangsa!" begitulah inklusivisme bahasa Indonesia merupakan representasi sikap bangsanya yang inklusif. Munculnya fenomena bahasa indonenglish dalam iklan dan ruang-ruang publik, menunjukkan sikap pemakainya yang gemar memamah apa pun yang berbau asing, sekaligus juga sebagai manifestasi selera dan orientasi budayanya yang setengah matang.
Munculnya fenomena itu, patutlah disikapi secara bijaksana tanpa harus menempatkan diri sebagai polisi bahasa yang ke mana pun selalu membawa pentungan antihuru-hara. Bukankah bahasa yang berkembang di masyarakat (awam) berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam dunia pendidikan dan kehidupan pers?
Jadi, biarkanlah semua berjalan sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan dinamika masyarakat dan aturan mainnya sendiri. Biarkanlah bahasa Indonesia tetap memancarkan sihirnya, meski sihir itu diterjemahkan secara berbeda oleh setiap kelas sosial.
* Maman S Mahayana, Pengajar FIB UI, Menetap di Depok
Sumber: Kompas, Sabtu, 16 Desember 2006
No comments:
Post a Comment