Situasi Politik Tidak Selalu Tentukan Mutu Suatu Karya
Jakarta, Kompas - Mutu seni dan mutu politik tidak mempunyai kaitan sebab akibat. Namun, seni itu sendiri dapat berfungsi sosial, yakni untuk mendorong perubahan sosial.
Hal itu diungkapkan Rocky Gerung, pengajar filsafat di Universitas Indonesia, dalam serial ke-8 diskusi sastra yang diselenggarakan Bale Sastra Kecapi bekerja sama dengan harian Kompas dan Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (20/12). Diskusi bertajuk "Kebebasan dan Seni" itu juga menghadirkan penyair dan budayawan WS Rendra, pengamat seni Wicaksono Adi, dipandu oleh sastrawan Radhar Panca Dahana.
Hubungan terbalik yang justru lebih disering ditemukan dalam sejarah seni ialah pendangkalan politik yang malah melambungkan karya-karya bermutu. Sebaliknya, kondisi politik yang demokratis belum tentu mewujudkan seni bermutu.
Dengan kata lain, mutu seni itu sendiri tidak ditentukan oleh mutu politik suatu era. Asal-usul mutu seni tidak sosiologis karena mutu seni merupakan proyeksi individual. Seni merupakan manifestasi dari pemahaman seseorang tentang realitas, baik alam maupun sosial. "Pemahaman individual itu yang penting, bukan realitas yang dialaminya," kata Rocky Gerung.
Menurut dia, seni merupakan soal kemurnian pengalaman, sedangkan politik lebih sebagai kumpulan atau campuran berbagai imaji. Yang perlu dilihat ialah energi yang mendorong daya kreativitas tersebut, dan energi dalam menilai realitas.
Terlepas dari itu semua, seni dapat berfungsi sosial, yakni sebagai sarana emansipasi politik saat dirasakan suasana politik tidak bermutu. Taruhlah seperti situasi yang amat mengekang.
Dia mencontohkan kegandrungan publik terhadap karya Rendra dan Wiji Thukul yang berlatar sosiologis. Kegandrungan itu akan selalu kembali setiap kali kondisi politik memburuk. Dalam kasus tersebut, mutu seni ditentukan oleh fungsi pedagogisnya dalam mendorong perubahan politik. Namun, rumusan tersebut mereduksi makna seni semata pada fungsi instrumentalnya dalam politik. Padahal, di belakang rumus itu masih ada ukuran ideologis, yaitu motif sosial individu.
Seni yang terlibat
Bagi Rendra, sebagai seniman dirinya berusaha masuk ke dalam kontekstualitas. Seniman perlu terlibat. Pengalaman dalam keterlibatan itu yang kemudian memunculkan paradigma.
"Pengalaman kesadaran saya harus sampai pada paradigma. Baru itu kemudian menarik atau menjadi universal, dalam arti seni itu berlaku kapan saja dan di mana saja," ujarnya.
Hilangnya kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi akan menghalangi iklim kreatif. Kalau tidak ada kebebasan berpendapat dan berekspresi, dunia pikiran manusia dirampas oleh kepentingan tertentu, baik agama, dagang, politik atau lain-lain. Iklim kreatif dinilai perlu untuk pertumbuhan dan penyembuhan kesadaran manusia.
Perampasan kebebasan dalam kesenian akan membuat sumber daya manusia menurun. Oleh karena itu, iklim budaya terbuka harus diperjuangkan untuk menjaga standar akal sehat kolektif.
Tanpa keterbukaan itu daya sosialisasi juga merosot. Demikian pula sosialisasi ruang spiritual. Kondisi ini bisa memunculkan orang-orang yang merasa menguasai kebenaran.
Pengamat seni Wicaksono Adi berpendapat, terkait dengan kebebasan dan seni sebetulnya ialah persoalan implikasi karya ketika berada dalam ruang sosial.
"Dalam kasus karya yang diklaim sebagai pornografi, misalnya, orang cenderung terjebak dalam tafsir apakah karya itu porno atau tidak. Diskusi batas domain publik dan privat menghilang," ujarnya. Hal ini terjadi ketika ada penolakan sang pembuat karya untuk membuat batas otoritas. "Walaupun kemudian memang ada pertanyaan apakah domain khusus bisa dibuat secara kaku atau tegas," ujarnya. (INE)
Sumber: Kompas, Kamis, 21 Desember 2006
No comments:
Post a Comment