Jakarta, Kompas - Sebetulnya banyak karya Melayu pada masa penjajahan Belanda, tetapi karya-karya itu dihadapi dengan mitos sastra lama dan baru. Sastra Melayu umumnya kemudian digolongkan sebagai sastra lama.
"Padahal, dalam budaya apa pun terdapat sastra yang membentang jauh sampai masa awalnya," ujar profesor emeritus pengkaji Sastra Melayu dari Universitas California, Berkeley, Amin Sweeney, Minggu (17/12).
Amin Sweeney baru saja meluncurkan buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi Jilid 2; Puisi dan Ceretera. Dalam pengantar bukunya itu pula Sweeney menuliskan, ketertarikan orang Barat untuk menulis mengenai bahasa dan sastra Melayu menyebabkan ujung tombak pengkajian Melayu dipegang oleh penulis dalam bahasa Inggris.
Segala sesuatu diambil alih oleh sarjana kolonial sehingga pada akhir abad ke-19, tradisi Melayu seolah terpisahkan dari hidup aktual, dijadikan sastra lama yang tidak diperbolehkan berkembang lagi. Percobaan penulis Melayu sezaman untuk beraksi terhadap tradisi serta mengembangkan cara berpikir yang baru cenderung diabaikan, hingga tidak diindahkan oleh penulis Barat.
Sampai kemudian menjelang kemerdekaan, demikian Sweeney menulis, orang di Tanah Melayu dan Indonesia berpaling melihat lagi tradisi "lama" Melayu, mereka seakan berhadapan dengan pemandangan serba asing. Berbicara atau menulis tentang Melayu kemudian seakan ada kewajiban mengutip pandangan sarjana yang berbahasa asing.
"Padahal, masih banyak yang belum tergali dari naskah-naskah lama yang sekarang ada di Perpustakaan Nasional RI. Ini kesempatan untuk meneliti langsung dari sumbernya," katanya.
Bagi Sweeney, pendekatan yang baik dalam meneliti karya-karya tersebut bukan dengan budaya sentris, yakni mengukur sesuatu yang asing berdasarkan ukuran diri peneliti sendiri. Karya perlu diukur dengan dasarnya sendiri. Pantun, misalnya, bukan sekadar persoalan suku kata atau barisnya. Pantun itu, dalam budaya Melayu, bersifat spontan atau tradisi lisan.
"Sulit ukuran sastra Barat dipakai untuk sesuatu yang berbeda tersebut," katanya. (ine)
Sumber: Kompas, Senin, 18 November 2006
No comments:
Post a Comment