KAWASAN Pegunungan Seribu di wilayah Pacitan, Jawa Timur, pagi itu masih berkabut. Di beranda rumah Pak Toesimin di Desa Punung, serombongan kecil orang sudah bersiap-siap bergerak. Tujuan mereka hari itu adalah goa-goa prasejarah di perbukitan kapur yang tandus, tak jauh dari Desa Punung.
Jangan salah duga, meski di antara mereka ada beberapa sosok lelaki dan perempuan bule, rombongan kecil itu bukanlah turis yang tengah mengunjungi kawasan wisata ekologis. Mereka adalah para peneliti arkeologi prasejarah, gabungan dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional serta Museum d’Histoire Naturelle dan Institut de Paleontologie Humaine, Paris, Perancis.
Dipimpin Harry Truman Simanjuntak (55), tim kecil itu memasuki sejumlah goa—tempat hunian manusia purba pada 2 juta-10.000 tahun lampau— yang menyisakan banyak tinggalan budaya. Cangkang-cangkang moluska (molusca), serpihan tulang kera (Macaca sp), serta berbagai bentuk alat serpih ditemukan di tiap lapisan budaya hasil penggalian di dalam goa.
Kegiatan penelitian di berbagai goa kuno di Pegunungan Seribu yang membentang sepanjang 85 kilometer—mulai dari Teluk Pacitan di Jawa Timur hingga ke Kali Oya di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta—hanyalah bagian kecil dari serangkaian penelitian yang dilakukan Truman Simanjuntak bersama kolega-koleganya. Kompas sendiri sempat terlibat dalam beberapa kegiatan mereka di berbagai lokasi penelitian.
Sepi dari "tepuk tangan"
Sebagai arkeolog yang mengkhususkan diri pada bentangan budaya dari masa prasejarah, dia sadar betul begitu banyak tantangan yang harus dihadapi. Sementara di sisi lain, penghargaan masyarakat atas penelitian- penelitian yang mereka lakukan tidak sepadan, bahkan dianggap sepi. Malah tak jarang muncul pernyataan sinis, bahwa apa yang mereka lakukan sekadar mengumpulkan serpihan peralatan batu tua dan sisa peradaban yang bisu.
Kenyataan semacam ini bukan tidak disadari oleh Truman Simanjuntak, juga rekan-rekannya yang menceburkan diri dalam profesi ini. Dunia penelitian di bidang arkeologi memang sepi dari "tepuk tangan". Kemewahan pun, tentu saja, menjadi sesuatu yang langka.
Ditemui menjelang upacara pengukuhannya sebagai profesor riset oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akhir November lalu, Truman menyatakan bahwa ia tidak pernah berkecil hati atas pilihan hidupnya sebagai peneliti di bidang arkeologi prasejarah. Ajaran yang ia terima telah membekali dirinya pada kesungguhan dan kecintaan yang besar terhadap profesinya.
"Ini memang profesi yang jauh dari kemewahan atau kenikmatan duniawi. Profesi ini selalu bergayut dengan panas, hujan, dan debu. Profesi yang membutuhkan kecintaan pada pedesaan dengan penduduk yang naif tetapi ramah; profesi yang bergayut dengan gunung-gunung, padang, huma, dan lautan," kata Truman Simanjuntak—ayah dua anak, Ruth (23) dan Levi (20), dari hasil perkawinannya dengan Yohana Yuliati (49)—dengan penuh kesungguhan.
Bentangan jejak budaya manusia Indonesia sesungguhnya begitu panjang. Jauh sebelum konsep tentang tulis-menulis dikenal di Nusantara, berawal ketika manusia purba pertama (baca: Homo erectus) diketahui telah menghuni negeri ini pada sekitar 2 juta tahun lampau, ketika itulah jejak peradaban penghuni awal wilayah yang kemudian bernama Indonesia ini bisa dirunut.
Jika kehadiran Homo erectus dengan manusia "Pithecantrophus"-nya sebagai titik tolak peradaban di Nusantara, hingga munculnya tulisan pada zaman Hindu sekitar abad ke-4/5 Masehi, maka rentang waktu "peradaban" yang terlampaui itu melingkupi hampir seluruh masa kehidupan manusia di Indonesia. Sebuah rentang waktu yang sangat panjang. Artinya, lebih dari 99 persen dari keseluruhan usia "peradaban" di negeri ini berada di wilayah kajian prasejarah.
"Panjangnya rentang waktu tersebut telah menjadikan prasejarah Indonesia sarat dengan lembaran kehidupan manusia, budaya, dan lingkungannya," kata Truman Simanjuntak.
Semangat pluralisme
Bagi penganut paham pragmatisme, kenyataan tadi hampir tak memberi makna apa pun. Akan tetapi tidak bagi Truman Simanjuntak. Dalam keyakinan lelaki kelahiran Pematang Siantar (27 Agustus 1951) ini, kenyataan-kenyataan itu justru sangat berguna bagi kehidupan masa kini. Lebih-lebih bila melihat kecenderungan saat ini, ketika nilai-nilai kebersamaan mulai tergusur oleh sikap eksklusivisme kelompok atau golongan yang justru kian menonjol. Belum lagi konflik-konflik yang menafikan kemajemukan dengan berbagai latar belakang muncul di mana-mana.
Padahal, kata Truman Simanjuntak, kalau kita sebagai bangsa mau memahami fondasi keindonesiaan kita, mau belajar pada kearifan-kearifan masa lampau, konflik-konflik sosial itu tidak seharusnya terjadi. Bahwa, keindonesiaan itu dibentuk atas dasar pluralisme dan multikulturalisme, yang telah tumbuh sejak awal kehidupan di Nusantara terbentuk. Ya, sejak manusia purba berkelana di padang bebatuan di Sangiran, di lembah-lembah sungai di daerah Mojokerto sekarang, atau di bukit-bukit karst di kawasan Pegunungan Seribu.
Temuan-temuan fosil manusia pada lapisan plestosen bawah di Sangiran, misalnya, secara fisik sudah menunjukkan ciri yang variatif. Begitupun jenis dan bahan peralatan yang digunakan. Dari artefak yang ditemukan, struktur sosial "masyarakat" kala itu pun sudah memperlihatkan ciri-ciri keberagaman.
Dalam perkembangan kemudian, salah satu keragaman budaya yang paling menonjol terlihat pada bahasa, yang merupakan perkembangan lanjut dari bahasa awal: Austronesia! Kemajemukan bahasa ini tentu mengait erat dengan berbagai unsur budaya lainnya, hingga menciptakan keragaman etnisitas seperti yang kita jumpai pada masyarakat Indonesia sekarang.
"Kemunculan penutur Austronesia dan budayanya di kepulauan Nusantara merupakan etnogenesis bangsa Indonesia, sekaligus peletak dasar budaya bangsa Indonesia," papar Truman Simanjuntak.
Oleh karena itu, bagi Truman, pluralisme dan multikulturalisme bagi bangsa ini merupakan suatu keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tak terbantahkan. Pluralisme dan multikulturalisme yang kita miliki itu, tambahnya, telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia di sepanjang perjalanan sejarahnya.
"Sungguh memilukan melihat nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme yang telah tumbuh sejak awal kehidupan di Nusantara, pada masa sekarang seolah-seolah tidak pernah ada. Sementara di sisi lain, eksklusivisme kelompok justru terlihat semakin menonjol," kata dia.
Sebuah bentuk kesedihan yang sangat beralasan. Sebab, rasanya kita pun sependapat dengan Truman Simanjuntak, bahwa kemajemukan itu telah memperkaya kehidupan budaya bangsa ini. Dan kemajemukan itu sebuah kearifan yang seharusnya semakin dikembangkan.
"Upaya untuk menghilangkannya akan sia-sia, karena kemajemukan adalah sifat yang senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Jadi, semua yang terjadi saat ini sesungguhnya ketidaktahuan atau kesengajaan?" (ine/ken)
Sumber: Kompas, Jumat, 15 Desember 2006
No comments:
Post a Comment