Data buku
Banten Suatu Ketika
Guntur Alam dkk.
Banten Muda Community
I, Desember 2012
164 hlm.
SEORANG bocah pengasong di Pelabuhan Merak, Banten, mengalami aneka tekanan. Mulai dari ibunya yang gemar judi dan merampas uang hasil jualannya, pemerasan dan kekerasan seks dari preman pelabuhan, sampai tekanan gurunya di sekolah lantaran berbula-bulan nunggak bayar lembar kerja siswa (LKS).
Seiring dengan aneka tekanan tersebut si bocah kemudian tumbuh menjadi pribadi yang terpecah (split perosnality?). Sekali waktu ia menjadi lelaki gagah berani yang mampu menghajar ibunya dan sang preman menggunakan termos air panas, pada waktu yang lain ia menjadi bocah lelaki penakut yang menyedihkan dan berkali-kali jadi korban empuk pemerasan dan kekerasan seks preman pelabuhan. Sementara pada waktu yang lain lagi ia menjadi gadis cantik berkulit kuning langsat yang menikmati kasih sayang dan hubungan intim dengan Kang Asep, lelaki gay pemilik toko yang murah hati memodali para bocah pengasong berjualan di Pelabuhan Merak.
Kisah-kisah tentang kekerasan seksual dan praktik homoseksualitas di kalangan bocah-bocah pengasong dan anak jalanan umumnya, orang tua yang kejam, serta kemiskinan yang memantik aneka persoalan yang khas seperti di atas, tentu saja bisa terjadi di pelabuhan mana pun di negeri ini, bahkan di seluruh sudut bumi. Hanya saja, mengemasnya menjadi sebuah cerpen yang segar dalam teknik bertutur, tangkas dalam berbahasa, serta selesaian yang dipilih, inilah tidak banyak pengarang cerpen kita yang dapat melakukannya.
Cerpen “Tiga Penghuni dalam Kepalaku” garapan Guntur Alam dalam buku bunga rampai cerita pendek bertajuk “Banten, Suatu Ketika” ini satu dari yang segelintir itu. Pilihan Guntur menggunakan kata ganti orang pertama tunggal ‘aku’ sebagai penutur sangat tepat dalam memantik efek dramatik serta pergerakan alur yang dinamis.
“Aku” yang di dalam dirinya hidup tiga karakter yang berbeda satu sama lain, merasa asing dengan dirinya. Tiga karakter yang mengendalikan ‘aku’ sehingga ‘aku’ mampu bertindak di luar kontrol ‘aku’ yang tak lain si bocah lelaki usia sekolah dasar yang harus membiayai sendiri hidup dan sekolahnya. Apakah terdapat kaitan antara ketertekanan bertubi-tubi dengan keterpecahan pribadi yang merundung ‘aku’? Ini tentu terbuka untuk diperdebatkan lebih jauh.
Namun, cerpen inilah yang memenangi sayembara menulis cerpen Banten Muda Award 2012 sebagai juara pertama, menyisihkan tiga ratusan cerpen lainnya. Dan justru di situlah barangkali persoalannya. Bunga rampai berisi 15 cerpen hasil sayembara menulis cerpen Banten Muda Award 2012 yang diselenggarakan tabloid Banten Muda ini mengharuskan cerpen mengusung tema Banten sebagai syarat utama untuk mengikuti sayembara.
Ihwal persyaratan tema Banten ini yang sejak awal dirundung sejumlah masalah. Sekurangnya ada dua masalah terkait Banten sebagai tema. Pertama, seperti diakui salah seorang juri, sebagai sebuah provinsi, Banten tidak memiliki kekhasan yang tegas dari sisi budaya dengan Jawa Barat yang beretnik Sunda.
Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa tradisi yang hidup di Banten pada saat yang sama juga berkembang di Jawa Barat dan sebaliknya, tradisi masyarakat di Jawa Barat, menghidupi pula masyarakat yang tumbuh di Banten. Tengoklah dari sisi bahasa sebagai elemen utama suatu budaya. Bahasa sehari-hari yang digunakan sebagian besar masyarakat Banten adalah bahasa Sunda. Sebagian kecil lainnya menggunakan bahasa Jawa, itu tak lain bahasa Jawa Serang (Jaseng) yang merupakan varian dari bahasa Jawa Cirebon, wilayah paling timur Jawa barat. Dengan kata lain, Banten tidak memiliki bahasa sendiri.
Kedua, sebagai etnik. Orang Banten tak lain adalah etnik Sunda. Jika ditelusuri sejarahnya, leluhur orang Badui yang tinggal di pedalaman Lebak, tak lain berasal Pajajaran yang sekarang merupakan wilayah Bogor. Sejumlah sejawaran meyakini mereka adalah warga Pajajaran yang mengasingkan diri ke wilayah kulon lantaran menolak agama baru (Islam). Maka berdasarkan fakta-fakta ini, mengukur “kadar” kebantenan sebuah cerpen dalam konteks sayembara ini menjadi persoalan yang rumit.
Sehingga dapat dimaklumi jika juri memilih cerpen “Tiga Penghuni dalam Kepalaku” sebagai pemenang, kendati cerpen ini menjadikan Banten semata sebagai setting tempat. Demikian pula cerpen juara kedua “Bebek Panggang Nyai Pohaci” garapan Ank Ariandi yang mengangkat khazanah dongeng tentang Nyai Pohaci (dewi padi). Dongeng tentang dewi padi tidak hanya hidup di kalangan masyarakat kampung di pelosok Banten. “Perempuan Lesung” besutan Richa Miskiyya yang menyabet juara ketiga, setali tiga uang dengan cerpen Guntur Alam dan Ank Ariandi. Sebuah kisah tentang kasih tak sampai yang telah menjadi cerita umum dalam khazanah sastra di mana pun.
Duabelas cerpen lainnya kurang lebih menunjukkan kecenderungan serupa. Menempatkan Banten semata sebagai setting tempat. Mulai dari yang bercerita tentang penggunaan ilmu mistik untuk meraih jabatan seperti tampak pada cerpen “Teluh” karya Skylashtar Maryam, menjadikan keluguan masyarakat tradisional Badui sebagai nilai ideal dalam “Limbur Singkur” karya Ikal Hidayat Noor, serta tempat-tempat di Banten lainnya yang ditulis dengan semangat turistik nan sentimentil.
Aris Kurniawan, cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Januari 2013
Banten Suatu Ketika
Guntur Alam dkk.
Banten Muda Community
I, Desember 2012
164 hlm.
SEORANG bocah pengasong di Pelabuhan Merak, Banten, mengalami aneka tekanan. Mulai dari ibunya yang gemar judi dan merampas uang hasil jualannya, pemerasan dan kekerasan seks dari preman pelabuhan, sampai tekanan gurunya di sekolah lantaran berbula-bulan nunggak bayar lembar kerja siswa (LKS).
Seiring dengan aneka tekanan tersebut si bocah kemudian tumbuh menjadi pribadi yang terpecah (split perosnality?). Sekali waktu ia menjadi lelaki gagah berani yang mampu menghajar ibunya dan sang preman menggunakan termos air panas, pada waktu yang lain ia menjadi bocah lelaki penakut yang menyedihkan dan berkali-kali jadi korban empuk pemerasan dan kekerasan seks preman pelabuhan. Sementara pada waktu yang lain lagi ia menjadi gadis cantik berkulit kuning langsat yang menikmati kasih sayang dan hubungan intim dengan Kang Asep, lelaki gay pemilik toko yang murah hati memodali para bocah pengasong berjualan di Pelabuhan Merak.
Kisah-kisah tentang kekerasan seksual dan praktik homoseksualitas di kalangan bocah-bocah pengasong dan anak jalanan umumnya, orang tua yang kejam, serta kemiskinan yang memantik aneka persoalan yang khas seperti di atas, tentu saja bisa terjadi di pelabuhan mana pun di negeri ini, bahkan di seluruh sudut bumi. Hanya saja, mengemasnya menjadi sebuah cerpen yang segar dalam teknik bertutur, tangkas dalam berbahasa, serta selesaian yang dipilih, inilah tidak banyak pengarang cerpen kita yang dapat melakukannya.
Cerpen “Tiga Penghuni dalam Kepalaku” garapan Guntur Alam dalam buku bunga rampai cerita pendek bertajuk “Banten, Suatu Ketika” ini satu dari yang segelintir itu. Pilihan Guntur menggunakan kata ganti orang pertama tunggal ‘aku’ sebagai penutur sangat tepat dalam memantik efek dramatik serta pergerakan alur yang dinamis.
“Aku” yang di dalam dirinya hidup tiga karakter yang berbeda satu sama lain, merasa asing dengan dirinya. Tiga karakter yang mengendalikan ‘aku’ sehingga ‘aku’ mampu bertindak di luar kontrol ‘aku’ yang tak lain si bocah lelaki usia sekolah dasar yang harus membiayai sendiri hidup dan sekolahnya. Apakah terdapat kaitan antara ketertekanan bertubi-tubi dengan keterpecahan pribadi yang merundung ‘aku’? Ini tentu terbuka untuk diperdebatkan lebih jauh.
Namun, cerpen inilah yang memenangi sayembara menulis cerpen Banten Muda Award 2012 sebagai juara pertama, menyisihkan tiga ratusan cerpen lainnya. Dan justru di situlah barangkali persoalannya. Bunga rampai berisi 15 cerpen hasil sayembara menulis cerpen Banten Muda Award 2012 yang diselenggarakan tabloid Banten Muda ini mengharuskan cerpen mengusung tema Banten sebagai syarat utama untuk mengikuti sayembara.
Ihwal persyaratan tema Banten ini yang sejak awal dirundung sejumlah masalah. Sekurangnya ada dua masalah terkait Banten sebagai tema. Pertama, seperti diakui salah seorang juri, sebagai sebuah provinsi, Banten tidak memiliki kekhasan yang tegas dari sisi budaya dengan Jawa Barat yang beretnik Sunda.
Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa tradisi yang hidup di Banten pada saat yang sama juga berkembang di Jawa Barat dan sebaliknya, tradisi masyarakat di Jawa Barat, menghidupi pula masyarakat yang tumbuh di Banten. Tengoklah dari sisi bahasa sebagai elemen utama suatu budaya. Bahasa sehari-hari yang digunakan sebagian besar masyarakat Banten adalah bahasa Sunda. Sebagian kecil lainnya menggunakan bahasa Jawa, itu tak lain bahasa Jawa Serang (Jaseng) yang merupakan varian dari bahasa Jawa Cirebon, wilayah paling timur Jawa barat. Dengan kata lain, Banten tidak memiliki bahasa sendiri.
Kedua, sebagai etnik. Orang Banten tak lain adalah etnik Sunda. Jika ditelusuri sejarahnya, leluhur orang Badui yang tinggal di pedalaman Lebak, tak lain berasal Pajajaran yang sekarang merupakan wilayah Bogor. Sejumlah sejawaran meyakini mereka adalah warga Pajajaran yang mengasingkan diri ke wilayah kulon lantaran menolak agama baru (Islam). Maka berdasarkan fakta-fakta ini, mengukur “kadar” kebantenan sebuah cerpen dalam konteks sayembara ini menjadi persoalan yang rumit.
Sehingga dapat dimaklumi jika juri memilih cerpen “Tiga Penghuni dalam Kepalaku” sebagai pemenang, kendati cerpen ini menjadikan Banten semata sebagai setting tempat. Demikian pula cerpen juara kedua “Bebek Panggang Nyai Pohaci” garapan Ank Ariandi yang mengangkat khazanah dongeng tentang Nyai Pohaci (dewi padi). Dongeng tentang dewi padi tidak hanya hidup di kalangan masyarakat kampung di pelosok Banten. “Perempuan Lesung” besutan Richa Miskiyya yang menyabet juara ketiga, setali tiga uang dengan cerpen Guntur Alam dan Ank Ariandi. Sebuah kisah tentang kasih tak sampai yang telah menjadi cerita umum dalam khazanah sastra di mana pun.
Duabelas cerpen lainnya kurang lebih menunjukkan kecenderungan serupa. Menempatkan Banten semata sebagai setting tempat. Mulai dari yang bercerita tentang penggunaan ilmu mistik untuk meraih jabatan seperti tampak pada cerpen “Teluh” karya Skylashtar Maryam, menjadikan keluguan masyarakat tradisional Badui sebagai nilai ideal dalam “Limbur Singkur” karya Ikal Hidayat Noor, serta tempat-tempat di Banten lainnya yang ditulis dengan semangat turistik nan sentimentil.
Aris Kurniawan, cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Januari 2013
No comments:
Post a Comment