Sunday, January 27, 2013

Jurnalisme Sastra dan Novel Sarongge

-- M Badri

MENGAWINKAN sastra dengan jurnalisme bukan hal terlarang. Keduanya berasal dari akar yang sama, budaya teks/tutur. Budaya yang sudah mengakar pada manusia sejak berpuluh abad silam. Realitanya banyak jurnalis yang kemudian menjadi sastrawan. Sebut saja Goenawan Mohamad, Rida K Liamsi, Seno Gumira Ajidarma (SGA), Leila S Chudori, Akmal Nasery Basral, Hasan Aspahani, Hary B Koriun dan banyak nama lainnya. Bahkan SGA dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara menegaskan bahwa dalam bentuk fakta (karya jurnalisme) maupun fiksi (karya sastra), kebenaran adalah kebenaran- yang getarannya bisa dirasakan setiap orang.

SGA menggugat definisi soal kebenaran yang seringkali terlalu ketat. Sebab dalam dunia jurnalisme, kebenaran seringkali dipersempit hanya terletak pada fakta-fakta pemberitaan berupa teks dan foto. Sementara bentuk pesan lainnya semacam cerpen dan puisi hanya dianggap sebagai fiksi, bukan kebenaran. Padahal sejatinya sastra juga merupakan jalur pengungkapan kebenaran. Sastra adalah cermin realitas. Dalam konteks ini, jurnalisme dan sastra bisa menjadi medium untuk mengomunikasikan kebenaran.

Toh, kenyataannya dunia jurnalisme juga tidak lepas dari konstruksi informasi fiktif. Bahkan media sebesar New York Times dan The Washington Post juga tak luput dari muslihat jurnalisme fiksi yang dilakukan wartawannya. Salah satu yang menonjol adalah kasus Janet Leslie Cooke, yang menulis artikel ‘’Dunia Jimmy’’ dan dimuat di The Washington Post pada 28 September 1980. Laporan itu mendapat penghargaan Feature Terbaik Pulitzer 1981. Belakangan, ketahuan bahwa artikel tentang bocah pencandu heroin di kawasan kumuh Washington DC itu bohong dan sosok Jimmy hanyalah rekaan Cook.

Tapi sastra dan fiksi jelas dua hal yang berbeda. Maka jurnalisme sastra dengan jurnalisme fiksi tidak bisa disamakan. Fiksi dalam KBBI diartikan sebagai cerita rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan dan pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Sedang sastra lebih kepada bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai. Maka ketika menyebut jurnalisme sastra, pikiran kita harus dibebaskan dari kata: fiksi.

Jurnalisme Sastra
Membicarakan jurnalisme erat kaitannya dengan proses mengumpulkan data dan fakta lalu mengkonstruksinya menjadi sebuah cerita (berita). Dalam perkembangannya, bentuk penulisan berita tidak sebatas straight news dengan model piramida terbaliknya. Munculnya genre jurnalisme sastra (atau sastrawi) membuka ruang bagi jurnalis untuk merekonstruksi fakta menjadi sebuah teks, yang membawa imajinasi pembaca untuk berdialog dengan objek yang diberitakan. Dengan teknik seperti ini, imajinasi pembaca akan menangkap sebuah gambaran peristiwa seperti membaca cerpen atau novel.

Istilah jurnalisme sastra berawal dari buku antologi The New Journalism berisi narasi-narasi terkemuka sejumlah jurnalis Amerika Serikat, yang dirangkai Tom Wolfe pada tahun 1973. Wolfe menyebutkan empat karakter dalam melakukan pemberitaan dengan menggunakan teknik jurnalisme sastra. Pertama, pemakaian konstruksi adegan per adegan. Kedua, pencatatan dialog secara utuh (percakapan, bukan kutipan dan pernyataan). Ketiga, pemakaian sudut pandang orang ketiga. Keempat, mencatat secara rinci karakter, perilaku dan berbagai simbol kehidupan orang-orang yang muncul dalam peristiwa.

Wolfe juga menegaskan bahwa jurnalisme baru tersebut bukan fiksi. Ia harus memenuhi kaidah jurnalistik ketat untuk aspek akurasi faktual dan kebenaran sumber. Berdasarkan konsep jurnalisme sastra tersebut, maka lumrah saja kalau karya jurnalistik ditulis serupa karya sastra: novel, cerpen dan puisi. Asalkan konstruksi teksnya tidak menyimpang pada proses jurnalisme. Lalu apa pula sastra jurnalisme?

Sastra Jurnalisme
Belum lama ini bertambah lagi jurnalis yang melahirkan novel. Tosca Santoso, setelah lebih dua dekade bertualang di dunia jurnalisme, menerbitkan novel berjudul Sarongge. Novel setebal 384 halaman yang diterbitkan Dian Rakyat pada September 2012 tersebut mengangkat tema tentang lingkungan, cinta dan kemanusiaan (juga ditulis: hutan, manusia dan cintanya). Karena gaya penulisannya sebagian serupa karya jurnalisme maka, maka saya gunakan istilah ‘’sastra jurnalisme’’.

Gaya penulisan sastra seperti ini sering saya jumpai pada karya sastra yang ditulis oleh sastrawan yang (pernah) berprofesi sebagai jurnalis. Barangkali karena dalam keseharian selalu berkutat dengan reportase dan penulisan teks jurnalisme, maka gaya tersebut kadang terbawa pada penulisan sastra. Ciri-cirinya antara lain dapat dilihat pada gaya penulisan yang banyak didasari fakta lapangan, data-data pendukung dan munculnya idealisasi dan idealisme dalam konstruksi peristiwa.

Tapi berbeda dengan jurnalisme sastra yang mutlak bersandar pada kebenaran, ‘’sastra jurnalisme’’ tidak diharamkan memasukkan unsur, latar dan penokohan fiktif. Itulah seninya, seperti yang saya lihat pada novel Sarongge. Seperti Green Radio dan program adopsi pohon adalah sesuatu yang nyata dan dilakukan di Sarongge, perkampungan di lereng Gunung Gede Pangrango --lokasi yang juga nyata. Termasuk organisasi Ksatria Pelangi (Rainbow Warrior adalah nama kapal organisasi lingkungan hidup Greenpeace) tempat tokoh Karen memilih jalurnya sebagai pegiat lingkungan.

Nama Ksatria Pelangi tersebut langsung mengarahkan saya pada Greenpeace, organisasi lingkungan yang pernah melakukan aksi di Teluk Meranti, Pelalawan, Riau. Aksi itu juga terekam jelas dalam bagian kelima buku ini (hal. 87-113). Cerita latar belakang kasus, kronologis dan rangkaian aksi mulai pembuatan bendungan dan penyanderaan ekskavator yang terjadi pada bagian ini, benar terjadi pada akhir 2009 lalu di Riau. Juga perusahaan yang ditulis PT Sinar Tembaga segera mengarahkan kita pada PT Sinar Mas. Bahkan pada beberapa bagian Tosca menulisnya serupa karya jurnalistik.

Baca misalnya: Eksploitasi lahan gambut oleh para pengusaha hitam, terjadi karena dukungan para pejabat juga. Di Kabupaten Pelalawan, misalnya, belasan izin dikeluarkan bupati, untuk mengolah hutan gambut yang mestinya dikonservasi. Empat puluh persen dari area hutan gambut di sekitar Teluk Meranti ini, sudah dialokasikan untuk Hutan Tanaman lndustri. Bupati mengeluarkan izin itu, bukan tanpa sogokan. Setiap surat diberi bandrol Rp2 miliar. Maka muluslah rekomendasi kabupaten itu. Dan, kalau sudah diberi rekomendasi daerah, biasanya Departemen Kehutanan akan meluluskan izin yang diajukan. Meski belakangan, bupati yang menandatangani surat-surat itu menjadi tahanan karena sangkaan korupsi. (hal. 90).

Namun Karen yang mengikatkan diri di buldozer apakah nyata? Setelah saya telusuri di situs Greenpeace dan beberapa berita media, ternyata memang ada seorang wanita Indonesia yang bertahan mengikatkan diri di belalai ekskavator. Tapi dia bukan alumni IPB seperti tokoh Karen. Salah seorang wanita dan alumni IPB yang saya tahu ikut aksi di sana hanya melingkari buldozer dengan paralon. Kebetulan dia sahabat saya sewaktu sama-sama kuliah di IPB dan setahu saya dia tidak seperti penggambaran tokoh Karen dalam novel itu. Tapi itulah ‘’sastra jurnalisme’’, meramu fakta dan fiksi menjadi sebuah cerita yang ‘berisi’.

Novel ini memang tergolong berat untuk pembaca awam, kita diajak membaca karya jurnalistik, sastra sekaligus karya ilmiah. Di banyak bagian, Tosca menuliskan berbagai referensi ilmiah tanaman hutan dan tanaman obat. Seperti penamaan tanaman, teknik penanaman, manfaat untuk kesehatan dan sebagainya, memberikan kita pengetahuan baru. Salah satu yang menarik adalah bagian ‘’Mengenal Tumbuhan Kontrasepsi’’ (hal. 135-137).

Dari situ saya berasumsi latar belakang pendidikan Tosca di IPB dan kedekatannya dengan dunia penelitian, mempunyai andil besar untuk tidak sekadar menyajikan cerita tapi juga referensi botani. Sebagaimana diungkapkan antropolog Clifford Geertz, pekerjaan jurnalis berdekatan dengan pekerjaan peneliti. Sama-sama menggambarkan secara detail data dan fakta. Maka ketika jurnalis-peneliti menulis sastra, hasilnya seperti novel Sarongge.

Saya merasa penting mengaitkan latar belakang penulis dengan karyanya. Seperti yang juga ditulis Ayu Utami dalam bagian pengantar buku ini: Orang bisa membaca buku ini tanpa mengaitkannya dengan sosok penulis. Tapi saya merasa penting menekankan biografi penulisnya di sini, sebab pengenalan itu membuat kita percaya bahwa ide dan ideal yang ditawarkan buku ini bukan impian yang melambung-lambung. Tempat-tempat yang disebut di sini bukan khayalan petualangan, melainkan pernah dikunjungi penulis. Tokoh utamanya bukanlah fantasi yang mengelus-elus ego pengarang, seperti masih banyak kita temukan dalam novel-novel kita hari ini. Buku ini memang mengandung banyak idealisasi, juga idealisme, yang konsisten dengan perjuangan penulisnya sendiri (hal. xi).

Kolaborasi jurnalisme, ilmiah dan sastra dalam novel Sarongge bagi saya merupakan kelebihan novel pertama Tosca ini. Apa kekurangannya? Semua karya sastra pasti ada titik lemahnya. Namun saya bukan kritikus. Saya tidak akan membedah terlalu dalam untuk menemukan sisi buruk dari novel ini. Saya juga tidak akan menceritakan ending-nya, yang -kata penulisnya sendiri saat diskusi buku di Bandar Serai Pekanbaru (12/01/2013)- mendapat kritikan dari sejumlah pembaca.

Mirip Rahasia Meede, novel sejarah yang banyak mengulas kawasan kota tua Jakarta (ES Ito, 2007), Tosca juga banyak menulis detil lokasi, terutama di kawasan Gede Pangrango. Lokasi eksotis, terutama penelusuran sumber air dan hutan di sekitar Sarongge. Sampai menemukan buah konyal dan pepohonan puspa, rasamala dan ki hujan. Bedanya Tosca tidak menyertakan peta lokasi tersebut. Hanya ada tiga peta dalam buku ini, perjalanan Ksatria Pelangi ke Pulau Rote dan sekitarnya (hal. 212), Tanimbar (hal. 281) dan Papua (hal. 311). Sementara Sarongge dan Gede Pangrango sebagai titik sentral cerita malah tidak ditampilkan. Barangkali kalau buku ini cetak ulang, Tosca bisa menyisipkannya. Lalu dilanjutkan dengan kegiatan Jejak Alam Sarongge, seperti halnya wisata Napak Tilas Jejak Rahasia Meede, untuk menjawab dahaga imajinasi pembaca.***

M Badri, Sastrawan dan pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Januari 2013



No comments: