-- Imam Santoso dan Maria Rosari Dwi Putri
SELASA pekan ini, Mahkamah Konstitusi membuat putusan mengejutkan perihal Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dengan membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur RSBI dan SBI.
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945.
Para hakim konstitusi membongkar sejumlah cacat filosofis dalam RSBI dan SBI. "Ini merupakan bentuk baru liberalisasi dan dualisme pendidikan, serta berpotensi menghilangkan jati diri bangsa dan diskriminasi," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Sementara hakim konstitusi Anwar Usman menyoroti pembedaan sarana dan prasarana, pembiayaan dan pendidikan SBI/RSBI dari sekolah lain akan mencipta perlakuan berbeda kepada sekolah dan siswa.
"Ini bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah," kata Anwar.
Taraf atau tarif
Polemik baru segera muncul. Guru dan orangtua pun berbeda pandangan soal inkonstitusionalisasi RSBI ini.
"RSBI adalah terobosan dalam tingkatkan pendidikan dan perlu," kata Wakil Kepala Sekolah SMAN 12 Jakarta, Mulyanto.
Mulyanto menyayangkan kritik terhadap RSBI selalu berpusat pada sisi biaya yang memang di atas persekolahan biasa.
Dia menilai sekolah bagus tak hanya ditentukan oleh seleksi siswa, tapi juga kemampuan sama bagusnya antara guru dan siswa.
Untuk menghadirkan kondisi ideal ini tentu memerlukan kelengkapan-kelengkapan khusus yang berkonsekuensi biaya besar. Pada tingkat ini seharusnya negara yang lebih berperan, bukan dikembalikan pada masyarakat.
Mulyanto menyayangkan kesalahan dan kekeliruan praktikal RSBI membuat sistem yang dianggapnya baik ini, harus terkorbankan. "Jangan bakar lumbungnya, tapi perbaikilah," kata dia.
Pandangan berbeda diutarakan Mathius Sadmoko Murti, Kepala Sekolah SMA Regina Pacis, Jakarta, yang mengaku tidak tahu menahu RSBI.
"Hanya saja sering ada ledekan, bukan taraf internasional tapi tarif internasional, karena SDM-nya atau guru-guru-nya tidak khusus," kata Mathius.
Dia sendiri tidak menyetujui RSBI. "Kami (Regina Pacis) tidak menyelenggarakan RSBI karena belum mengetahui persis aturannya," sambung Mathius.
Namun, meski tidak menentang putusan inkonstitusionalisasi RSBI oleh Mahkamah Konstitusi, Mathius menyayangkan putusan itu keluar saat tahun ajaran tengah berjalan dan ini memperpelik masa depan kerjasama yang telah dilakukan sekolah dengan pihak lain.
"Kasihan orangtua dan guru. Pihak sekolah dan pihak orangtua," kata Mathius.
Bahasa asing
Pandangan orangtua juga terbelah. Ada yang sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang menilai positif RSBI di tengah menurunnya kualitas pendidikan nasional dalam beberapa masa terakhir.
"Buat apa sih negara bikin RSBI? Itu kan akhirnya cuma memicu kesenjangan sosial, yang punya duit bisa tambah pinter, tapi yang nggak punya duit, ya dapat seadanya," kata Nastiti Wulandari, ibu rumah tangga berdomisili di daerah Tebet, Jakarta Selatan.
Nastiti menilai sekolah milik negara di Indonesia belum bisa menggunakan konsep RSBI.
Sementara Rini Abed, bertempat tinggal di Bintaro, Jakarta Selatan, mempertanyakan konsep internasional dalam RSBI.
"Kalau konsep internasionalnya berupa guru asing, Bahasa Inggris sebagai pengantar, dan ujian tambahan di akhir tahun ajaran, yaa itu masih perlu ditinjau ulang," kata Rini.
Rini khawatir, karena tak membiasakan Bahasa Indonesia di kelas, RSBI dapat memicu lunturnya nasionalisme anak muda, kendati diakuinya banyak faktor yang bisa melunturkan nasionalisme.
Bahkan pakar sosiolinguistik Prof Fathur Rokhman menyebut kecondongan RSBI menggunakan Bahasa Inggris telah membuat Bahasa Indonesia kalah gengsi.
"Memang tidak semua. Namun, lihat saja papan nama untuk ruang-ruang di sekolah RSBI. Banyak yang memakai istilah Bahasa Inggris, misalnya library (untuk perpustakaan)," katanya di Semarang, Rabu.
Tetapi, Reshma, ibu artis cilik Nizam Hasan, menilai nasionalisme tidak hanya ditekankan di sekolah.
"Keluarga sebagai tempat pendidikan dasar anak, punya peran penting untuk menumbuhkan nasionalisme anak. Pendidikan boleh luar negeri, tapi kita orang Indonesia, seharusnya diajari budaya Indonesia," kata Reshma.
Namun, berbeda dari Nastiti, Reshma menganggap Indonesia memerlukan RSBI. "Kita semua tahu pendidikan (taraf) internasional memang lebih bagus," kata dia.
Tuntutan tinggi
Sebaliknya, Anjelika Wijaya, ibu tiga anak, menganggap membuat pandai bangsa tak perlu dengan menghadirkan sekolah taraf internasional.
"Kalau anak belajar di sekolah bertaraf internasional, apa bisa dibilang pandai? Banyak anak stres karena tekanan sekolah. Kurikulumlah yang harus diperbaiki," tegas Anjelika.
Anjelika mencontohkan anak bungsunya yang kini duduk di kelas lima SD yang kewalahan oleh bertumpuknya tugas sekolah.
Dia iba pada anak sekolah sekarang yang kehilangan waktu bermain dan bercengkerama dengan orang-orang tercintanya, karena banyaknya tuntutan sekolah.
"Kurikulumnya juga masih berantakan. Kalaupun dicampur kurikulum asing, bayangkan beban siswanya yang semakin tidak punya waktu bermain, dan orang tuanya harus membayar ekstra untuk pendidikan yang mahal itu," keluh Anjelika.
Mereka patut didengar, karena pendidikan, bukan melulu soal prestasi, apalagi prestise dan modal, sebaliknya menyangkut juga jati diri dan pembangunan karakter.
Sejauh ini, pemerintah sendiri sigap menindaklanjuti "koreksi konstitusional" dari Mahkamah Konstitusi ini. "Apapun putusan itu, kami akan menghargai, dan tetap menjalankannya," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.
Namun Nuh mengingatkan siswa-siswa berprestasi sudah sewajarnya ditangani secara khusus, demi membuat mereka bisa terus berkembang.
Kini semua menanti langkah pemerintah berikutnya, tentunya yang sungguh menjawab kekurangan filosofis seperti diutarakan Mahkamah Konstitusi, dan tidak memoles produk lama menjadi seolah-olah baru.
"Jangan membangkitkan kembali roh RSBI dengan nama lain," kata Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti. n
Sumber: Antara, Kamis, 10 Januari 2013
No comments:
Post a Comment