KESENIAN, apa pun bentuknya, tidak lahir dari sebuah lembaga yang dibentuk segelintir manusia yang merasa paling bertanggung jawab terhadap masa depan kesenian. Lembaga apa pun hasil bentukan itu, sekalipun bernama dewan kesenian, tidak ada satu karya seni pun yang bisa dihasilkannya. Tidak sepotong puisi, tidak sebentuk lukisan, tidak selembut gerak tari, tidak selenting bunyi, dan, ini yang paling penting, lembaga itu justru telah meletakkan kesenian bukan sebagai kesenian.
Tidak heran jika kesenian, di zaman ketika hidup manusia didominasi oleh logika dominan tertentu seperti ekonomi atau pasar, kesenian justru menggelepar-gelepar kehabisan oksigen. Kesenian kehilangan publik, karena publik sendiri tidak menangkap adanya semacam strategi dari seni(man) itu untuk, setidaknya, berusaha agar publik bisa menerima kesenian sebagai jalan kontemplatif melihat hidup mereka sendiri.
Begitulah seharusnya kita, terutama masyarakat Lampung, menyikapi lembaga kesenian bernama Dewan Kesenian Lampung (DKL). Selama bertahun-tahun, lembaga yang telah membuat penggagasnya begitu romantis dan cengeng, sehingga merasa perlu disebutkan namanya setiap kali orang lain bicara soal DKL, tidak lebih bagus dari semacam reuni orang-orang yang pernah muda di sebuah panti jompo yang sumuk. Dan setiap kali orang-orang yang pernah muda itu bertemu, mereka membolak-balik album masa lalu dengan cita rasa yang dibuat lebih hebat dan warna emas lebih berkilau, lalu sampai pada kesimpulan bahwa tidak akan pernah ada generasi baru yang sanggup melampai capaian-capaian yang telah mereka peroleh. Capaian-capaian yang, sebetulnya, nonsen karena cuma mereka yang menganggap telah ada pencapaian puncak, meskipun cara mereka mengukur capaian-capaian itu bukan saja keliru tetapi sangat tidak mendasar.
Kita tidak bisa membicarakan kesenian seperti membicarakan nilai tukar rupiah atau kita tidak bisa mengukur ada pencapaian dalam kesenian seperti mengukur pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung, sementara kita sama-sekali tidak menunjukkan kreativitas yang alternatif, unik, dan artistik. Begitulah DKL, selama bertahun-tahun, dikelola tanpa konsep yang jelas, tanpa perencanaan-perencanaan yang matang, dan akhirnya, menghasilkan segala sesuatu yang tidak jelas serta tidak matang pula. Hal-hal yang disebut kegiatan kesenian, atau yang dimaknai sebagai upaya melestarikan kesenian daerah, tidak berorientasi pada sebentuk strategi seni untuk membuat publik merasa memiliki kesenian sebagai jalan kontemplatif melihat hidup dan kehidupannya, yang berbeda dengan kontemplasi dunia sosial lainnya.
Kesenian di belahan mana pun di Nusantara ini, telah terkooptasi dalam bingkai politik pemaknaan warisan zaman represif Orde Baru, tidak lebih dan tidak kurang cuma untuk l'art pour l'art, dimana sudah diandaikan hanya kalangan seniman saja yang dirangkul di dalamnya. Pemahaman yang masih sangat kuat dalam diri elite pemerintah daerah sehingga mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab untuk memberikan tempat bagi kesenian di dalam riuh-rendah kehidupan.
Elite pemerintahan daerah terperangkap dalam retorika pasar yang telah menusuk ke dalam sendi-sendi kehidupan kita hari ini, karena pemerintah tidak pernah berusaha memahami bahwa seni berbeda dengan publik utiliti, peraturan daerah, retribusi, propaganda, subsidi BBM, pamflet politik, pidato-pidato pengentasan kemiskinan, kredit UKM, atau beras raskin. Dan seni, seharusnya, tidak perlu berebut tempat di masyarakat dengan elemen-elemen sosial lainnya. Seni tidak perlu dikalahkan terus-menerus, menjadi nomor sekian dalam list persoalan yang harus diselesaikan pemerintah, menjadi anak haram dalam pembangunan daerah.
***
SELAMA bertahun-tahun seni terstigmatisasi dalam benak elite pemerintah daerah sebagai dunia yang artifisial. Seni adalah semacam benda artistik yang cuma berfungsi untuk dekorasi, pelengkap sebuah acara peresmian gedung atau penyambut tamu kenegaraan. Seni akhirnya tidak membutuhkan kreativitas, bentuk-bentuk baru. Seni adalah apa yang sudah ada dan tumbuh di masyarakat. Seni tidak pernah dianggap sebagai salah satu bentuk kreatif dari kebudayaan manusia.
Stigma semacam ini terus berlangsung tanpa ada upaya dari DKL untuk menawarkan sebuah paradigma yang bisa membalikkan cara berpikir, setidaknya mempertegas bahwa seni adalah sebuah dunia alternatif, karena seniman-seniman yang mengelola DKL adalah gerombolan massa yang tidak bisa meng-counter atau setidaknya menghidar dari gempuran-gempuran isu. Malah Herwan Achmad sebagai Ketua Umum DKL periode 2005-2008 dengan sangat bangga minta dilibatkan dalam program kepariwisataan seperti Festival Krakatau, yang semakin mempertegas bahwa DKL dikelola bukan berdasarkan paradigma berpikir. DKL dikelola dalam bingkai paradigma politik artifisial yang mengekang dan tidak pernah mempersiapkan kesenian yang ada di Lampung agar bisa memproduksi isunya sendiri, dan kita tahu jika hal itu yang terjadi sejumlah alternatif sudut pandang akan berhamburan sehingga kehidupan tidak menjadi sekering jerami.
Para seniman di tubuh DKL adalah seniman boyongan, kaum yang menyerah dan pasrah saja dibuai politik kepentingan penguasa, karena seluruh hidupnya sangat tergantung pada kucuran dana APBD. Seniman di DKL lebih percaya kepada kepemimpinan birokrasi atau bekas pejabat birokrasi, dan menutup diri terhadap pemimpin yang dari luar birokrasi. Tidak heran jika hingga hari ini, pengurus DKL periode 2005-2008 yang baru dipilih secara "demokratis" dalam Musyawarah Besar Seniman Lampung, terlihat seperti bagian dari birokrasi pemerintah daerah yang tidak bisa berbuat apa-apa selama APBD 2005 belum disahkan DPRD Lampung. Kita tahu, birokrasi di Indonesia, tidak terkecuali di Lampung, adalah wadah yang cara berjalannya bukan saja lambat tetapi menyebalkan. Birokrasi sangat memuakkan, apalagi dikelola oleh sumber daya manusia yang melulu berorientasi pada proyek dan mengincar fee untuk tambahan uang masuk. Birokrasi punya andil besar untuk membunuh kreativitas, menghancurkan produktivitas, dan membuat profesionalisme tidak bisa berkutik di dalamnya.
***
REFORMASI yang digulirkan susah-payah oleh kalangan seniman di belahan lain Nusantara ini, gemanya tidak sampai ke DKL. Padahal, para seniman di Indonesia tidak lagi berpikir bagaimana supaya dekat dengan pemegang kekuasaan politik negara, tetapi bagaimana menghasil karya-karya kreatif dimana ekspresi seni mampu membuat ruang-ruang sempit menjadi semakin lebar dan setiap orang bisa masuk ke dalamnya untuk emencari alternatif baru dalam melihat kehidupannya.
Orang tidak lagi mengait-kaitkan ekspresi kesenian dengan ketidaksepahaman ideologi politik, apalagi dengan arus besar pemahaman politik yang terjadi di masyarakat. Ada pembatas tegas antara kebebasan ekspresis seni dengan ideologi politik, dan keduanya tidak ada lagi sangkut-paut. Pluralitas dalam hal pemahaman politik mendapat toleransi yang sangat memadai, sehingga setiap insan tidak dilarang untuk menghasilkan karya seni seperti apa saja yang diinginkannya.
Di Lampung, kebebasan ekspresi seni ditandai dengan munculnya gagasan-gagasan untuk, misalnya, menggelar pameran lukisan nude. Bukan lukisan-lukisan realis perempuan telanjang itu yang ingin ditampilkan Arief Mulyadi dan kawan-kawannya, para perupa muda Lampung, melainkan bagaimana paradigma ekspresi seni mereka bisa diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Penelanjangan nilai-nilai tradisi warisan leluhur budaya lewat lukisan-lukisan nude ini bisa dipahami sebagai pengungkapan fakta-fakta riil dalam masyarakat terkait masalah-masalah yang selama ini dianggap tabu.
Paradigma berpikir seperti ini secara pasti akan terus berpengaruh pada modus ekspresi budaya dalam pengejawantahan seni, baik tari, musik, teater, maupun berbagai ungkapan yang kadang sudah sulit dikategorikan karena cakupannya yang merangkum elemen-elemen media seni yang sangat beragam.
Di dalam kesusastra, seharusnya seorang sastrawan (apalagi anggota DKL) tidak perlu merasa bangga jika diundang tampil di berbagai festival seni yang keterwakilannya ditetapkan berdasarkan tetapan teritori yang bersifat geopolitis atau beradasarkan standar koneksitas dengan struktur kelembagaan yang memiliki otoritas untuk penetapannya. Di sana tidak ada kreativitas, melainkan semacam pengkolonian seniman untuk direkayasa pola perilaku dan pola berkesenian sehingga bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang bersifat sangat spesifik.
Kreativitas harus menjadi tujuan utama seniman. Kreativitas memungkinkan seniman untuk lebih leluasa berekspresi secara individual untuk mempertajam dan mempekuat jelajah nilai-nilai instrinsik seni yang digelutinya, tanpa mengabaikan nilai-nilai ekstrinsik yang membuatnya bersentuhan dengan masyarakat. Dengan begitu, begitu seorang seniman menghasilkan sebuah karya, maka karya itu tidak mati iseng sendiri. Dalam musik, pernyatan Alan P. Merriam dalam The Anthropology of Music, bisa menjadi pendorong dalam ekspresi seni kita. "Begitu musik dihasilkan," tulis Merriam, "karya itu menjadi milik seseorang atau yang lainnya-milik individu, milik kelompok tertentu, atau milik masyarakat pada umumnya" (1964: 82).
Ada kepemilikan terhadap karya seni tersebut. Persoalan sekarang, bagaimana seorang penyair, misalnya, sampai pada tahap itu? Jawabannya adalah kreativitas yang dibangun di atas fondasi kokoh.
***
KREATIVITAS seniman di tubuh DKL tidak segegap-gempita kreativitas seniman yang berada di luar DKL. Seniman DKL terlalu sibuk menjadi bagian birokrasi pemerintahan daerah, sehingga kreativitasnya lebih banyak diarahkan untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Kalaupun mereka berkreativitas, hal itu cuma untuk diri sendiri. Malangnya, kreativitas yang sangat invidual itu dijadikan bagian dari kegiatan DKL. Contoh, program penberbitan buku sastra cuma diperuntukkan bagi pengurus DKL. Kesibukan mengurus diri sendiri itu menyebabkan DKL tidak bisa merangkul kalangan seniman untuk menjadikan lembaga ini sebagai wadah kebersamaan. Tidak heran jika banyak seniman di Lampung yang merasa tidak memiliki lembaga ini, karena pengurusnya tidak berusaha mendekatkan diri. Seorang Herwan Ahmad pun, akhirnya, cuma kenal satu penyair di Lampung.
Akhirul kalam, teruslah berdiskusi tentang DKL. Terus berperang ide dan gagasan. Jangan pernah merasa puas atas apa yang sudah ada. Gelisahlah. Andalkan rasionalitas, kreativitas, lalu tanyakan: untuk apa lembaga ini dibentuk? Kemudian jawab sendiri.
* Udo Z. Karzi, Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung periode 2005-2008.
** Budi P. Hatees, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung periode 2005-2008.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Maret 2005
No comments:
Post a Comment