-- Gesit Ariyanto
EKSPRESI kemarahan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya reda pascapromosi wisata Malaysia yang menghebohkan karena mengklaim lagu Rasa Sayange dan reog Ponorogo sebagai khazanah budayanya. Entah apa ekspresi berikutnya bila produk budaya tradisional angklung dan batik benar-benar mereka "eksploitir". Hah...!? Sabar dulu.
Konvensi Bern yang diratifikasi Indonesia 10 tahun lalu menyebutkan, negara berhak melindungi setiap bentuk ekspresi budaya tradisional yang tak diketahui penciptanya, termasuk folklor. Untuk proteksi, negara "pemilik" dapat mengajukan keberatan terhadap negara lain yang terindikasi menyerobot.
Pengajuan keberatan itu semakin kuat bila negara "pemilik" asli budaya bersangkutan memiliki bukti pendukung (inventarisasi). Tanpa itu pun, persoalan dapat diselesaikan damai dengan diplomasi resmi.
Lagu Rasa Sayange dan kesenian reog Ponorogo dapat digolongkan sebagai hasil kebudayaan rakyat atau karya cipta yang tak diketahui penciptanya. Dalam konteks itu, negara memegang hak ciptanya.
Selain lagu daerah, negara juga memegang hak cipta karya peninggalan bersejarah, sejarah dan benda budaya nasional, cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni yang lain.
Diakui Direktur Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Rahasia Dagang Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dagang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Ansori Sinungan, hingga kini belum ada inventarisasi produk budaya secara nasional. Keberadaannya masih parsial, terdapat di buku-buku terbitan individu atau kelompok.
Cakupan HKI
Hak kekayaan intelektual dibagi dua; hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak cipta melekat khusus pada pencipta, yang bersifat perseorangan atau kelompok. Sementara hak kekayaan industri meliputi paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, dan rahasia dagang.
Perbedaan mencolok antara hak cipta dan hak kekayaan industri di antaranya pada sistem perlindungannya. Hak kepemilikan pada hak cipta secara otomatis melekat pada pencipta begitu karyanya diluncurkan ke tengah masyarakat, seperti lagu-lagu, tarian, maupun film.
Pada hak kekayaan industri, sistem perlindungan baru diberikan setelah seseorang, kelompok, atau industri mendaftarkan karyanya kepada otoritas HKI untuk memperoleh sertifikat paten, merek, desain industri, atau desain tata letak sirkuit terpadu.
Menurut pengajar HKI dan hukum dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Agus Sardjono, pemahaman HKI yang berkembang di tengah masyarakat telanjur salah. Itu terlihat dari penyebutannya, seperti "mereknya dipatenkan", "desainnya dipatenkan", "pematenan batik", hingga "paten seni tradisi".
"Sarjana hukum saja banyak yang belum paham HKI," kata dia. Di seluruh Indonesia, doktor dengan disertasi tentang HKI kurang dari 10 orang.
Paten
Secara umum, paten merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada seseorang atau kelompok atas temuannya di bidang teknologi. Bentuk temuan itu dapat berupa produk, proses, atau penyempurnaan dan pengembangannya.
Paten berbeda dengan sertifikat merek atau desain. Bedanya, paten mencakup teknologi yang menghasilkan produk dengan fungsi-fungsi tertentu, sedangkan desain cenderung terkait estetikanya. Sementara merek merupakan tanda pembeda dengan produk lain yang mengandung citra tertentu.
Menurut mantan Subdit Administrasi dan Pelayanan Teknis Paten Ditjen HKI Dede Mia Yusanti, ada tiga syarat utama sebelum sertifikat paten dikeluarkan. Ketiganya, mengandung unsur kebaruan, invensi, dan dapat diterapkan di tingkat industri.
Ketiga syarat itu dipakai dalam pemeriksaan substantif oleh tim Ditjen HKI, setidaknya dua tahun setelah pendaftaran diajukan. Sesuai ketentuan internasional, proses sertifikat paten membutuhkan waktu sekitar 3,5 tahun.
Proses paten merupakan yang paling lama dibandingkan proses merek dan desain industri. Biaya pendaftaran paten sekitar Rp 500.000, biaya substantif sekitar Rp 2 juta, belum termasuk biaya kelebihan klaim. Dan, setiap tahun ada biaya pemeliharaan sesuai ketentuan internasional.
Meskipun terbilang mahal, lanjut Ansori dan Agus, mengurus paten penting untuk menjamin keuntungan masa depan.
"Paten tak dapat diajukan ketika sudah diumumkan atau digunakan masyarakat. Alasannya, unsur kebaruannya hilang," kata Agus. Hal itu pula yang terjadi pada model "sosrobahu", yang banyak dipakai untuk menyangga infrastruktur jalan layang.
"Sosrobahu" telanjur dikenal masyarakat sebelum ada upaya mematenkan. Unsur kebaruan pun tak terpenuhi.
Analogi serupa berlaku bagi merek dan desain industri.
Data tahunan Ditjen HKI menunjukkan, jumlah pendaftar paten domestik jauh tertinggal dibandingkan asing. Dari hampir 5.000 pendaftar paten tahun 2006, kurang dari 600-nya merupakan pendaftar paten domestik.
Batik dan tempe aman
Mengacu pada kesepakatan internasional bahwa produk budaya yang berkembang di tengah masyarakat tertentu dilindungi negara, kekhawatiran "eksploitasi" oleh negara lain dapat diredam. Setidaknya, ada mekanisme penyelesaiannya.
Mengacu Konvensi Bern, maka batik sebagai produk budaya rakyat, seperti reog, hak ciptanya dimiliki dan dilindungi negara.
Sebagai produk budaya tradisional, sesuai ketentuan HKI, tak bisa dipatenkan. Yang mungkin dilakukan adalah menginventarisirnya sebagai kekayaan intelektual negara. Selanjutnya, daftar panjang kekayaan tradisional itu didaftarkan ke Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO).
Menurut Agus, Indonesia sepatutnya belajar dari Malaysia yang mampu "menjual" seni tradisi seperti reog Ponorogo dan Rasa Sayange. Pada saat bersamaan, memicu semangat nasional menjaga kekayaan tradisional dan menyentil kesadaran pentingnya HKI.
Marah tak dilarang, apalagi menyangkut harga diri bangsa. Persoalannya, marah saja tak cukup untuk mengembangkan ekspresi budaya tradisional.
Sumber: Kompas, Jumat, 14 Desember 2007
No comments:
Post a Comment