Saturday, December 01, 2007

Opini: Paten Kebudayaan

-- Mikhael Dua*

POLEMIK mengenai lagu Rasa Sayange, tarian Reog Ponorogo, dan kritik terhadap Malaysia belum juga berhenti. Pasalnya, kedua produk kultural tersebut digunakan sebagai jingle dalam iklan Truly Asia oleh pihak Malaysia. Beberapa tokoh masyarakat di Indonesia angkat bicara.

Berkaitan dengan Reog Ponorogo, misalnya, Bupati Ponorogo Muhadi Suyono menyatakan, akan melawan melalui jalur hukum jika terbukti Pemerintah Malaysia mengklaim bahwa tarian barongan yang mirip dengan kesenian Reog Ponorogo itu milik negeri jiran tersebut.

Polemik tentang produk kultural tersebut menjadi semakin panjang. Persoalannya, lagu Rasa Sayange dan Reog Ponorogo merupakan produk kultural. Apakah para ahli hukum dapat melihat kasus ini sebagai misappropriation (penyalahgunaan) atas hak-hak kultural? Jika demikian, apakah produk kultural dapat dijadikan sebagai milik, dalam pengertian hak kekayaan intelektual (HAKI)? Jika tidak, bagaimana kita memperlakukan produk kultural kita sebagai paten yang harus dilindungi?

Paten merupakan sertifikat yang diberikan oleh pemerintah untuk menegaskan bahwa obyek paten tertentu baru dan memiliki manfaat bisnis. Dalam aplikasi paten, sesuatu yang dianggap sebagai paten diuraikan secara detail, sehingga dapat dibedakan dari yang lain. Sertifikat tersebut menjadi landasan bahwa seseorang memiliki hak atas obyek paten. Jika obyek paten merupakan sebuah produk, pemilik paten mempunyai hak untuk mencegah yang lain dari membuat, menggunakan, dan menawarkan untuk dijual. Hak tersebut memiliki kekuatan di hadapan hukum.

Hak monopoli pemilik paten memiliki batasnya dalam ruang dan waktu. Di banyak negara sebuah paten menjadi sah untuk periode dua puluh tahun dari waktu aplikasinya. Dan itu pun berlaku dalam ruang yurisdiksi yang terbatas, terutama pada batas yurisdiksi dari kantor yang memberikan hak paten. Jadi, hak paten tidak berlaku di mana-mana di seluruh dunia dan sepanjang waktu.

Etika memiliki alasan tersendiri untuk mendukung hak paten. Beberapa teori mencoba menjelaskannya. Yang paling terkenal adalah argumentasi hak asasi. Menurut argumen ini, setiap orang memiliki hak atas cipta, rasa, dan karsa yang berasal dari dirinya. Masyarakat memiliki kewajiban untuk melindungi hak tersebut. Oleh karena itu, penggunaan cipta, rasa, dan karsa tanpa otorisasi pemiliknya dapat dilihat sebagai pencurian.

Argumentasi ini memiliki basisnya dalam teori John Locke mengenai kerja. Dalam teori tersebut dikatakan, tanah diciptakan untuk semua manusia, namun hanya melalui pekerjaan seseorang dapat memiliki secara moral dan hukum apa yang dihasilkannya. Hak milik, menurut pandangan Locke, berasal dari kerja. Berdasarkan latar belakangnya, argumentasi ini bisa ditafsir individualistis.

Selain itu, sistem paten dapat dibenarkan dari segi keadilan distributif. Pertimbangan mengenai keadilan merupakan alasan yang kuat untuk mendukung sistem paten. Inti teori ini berbunyi: adalah adil bahwa penemu mendapatkan reward karena mereka memberikan layanan bagi masyarakat. Sebaliknya, akan menjadi tidak adil jika orang lain menjadi "pengendara bebas" atas biaya orang lain yang telah berusaha melakukan penelitian dan penemuan baru. "Pengendara bebas" adalah mereka yang tidak menginvestasi waktu dan uang dalam mengembangkan penemuan dan karena itu tidak dapat diterima jika mereka diizinkan untuk bersaing dengan penemunya sendiri dalam pasar bebas.

Yang terakhir adalah argumentasi utilitarisme. Menurut teori ini, insentif perlu diberikan kepada penemu karena tanpa dia tidak mungkin terjadi perkembangan seni, ilmu, teknologi, dan kemakmuran. Menggunakan kata-kata John Stuart Mill, kebebasan yang dimiliki seorang penemu merupakan modal yang tak ternilai bagi kemajuan bangsa dan masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan atas apa yang ia temukan pantas diberikan oleh masyarakat.

Berdasarkan teori-teori tersebut hak paten merupakan jaminan masyarakat atas kreativitas para penemu, ketika barang tertentu menjadi komoditas bisnis. Dalam perspektif ini, hak paten memiliki fungsi produktif. Namun, kita juga melihat sesuatu yang lebih penting dari itu. Menurut teori keadilan distributif, hak paten tidak bertujuan egosentris. Ketika suatu benda dilihat sebagai obyek ekonomi, hak paten mengarahkan kita pada fungsi sosial bisnis. Jaminan terhadap hak paten tidaklah mutlak, karena hak paten bertujuan kesejahteraan dan kemakmuran banyak orang.

Dialog Kultural


Teori-teori etika mengenai hak paten bertujuan untuk menjawab masalah keadilan dalam penggu- naan karya intelektual. Dengan menghargai hak paten, bisnis pada taraf tertentu menghargai hak penciptanya. Dalam perspektif keadilan tersebut, tentu menjadi harapan banyak orang agar polemik mengenai lagu Rasa Sayange dan tarian Reog Ponorogo mendapatkan kepastian mengenai penghargaan atas pengarang dan efek kesejahteraan dari penggunaan karya-karya seni tersebut.

Namun, teori-teori tersebut belum berhasil menjelaskan bahwa lagu Rasa Sayange dan tarian Reog Ponorogo merupakan karya seni. Baik Indonesia maupun Malaysia memiliki narasinya sendiri tentang karya seni tersebut. Kita perlu membayangkan bahwa lagu dan tarian tersebut tidak memiliki narasi yang sama. Bahkan ketika lagu dan tarian tersebut didatangkan dari Indonesia ke Malaysia, bangsa Indonesia sendiri harus membiarkan agar bangsa Malaysia menciptakan sendiri narasinya berdasarkan simbol dan gesture yang sama dari lagu Rasa Sayange dan tarian Reog Ponorogo.

Para penikmat lagu Rasa Sayange dan tarian Reog Ponoorogo pun memiliki kebebasan tersendiri untuk memahami dan menafsir makna lagu dan tarian tersebut. Kreativitas seni selalu terjadi dalam dialog dengan pengalaman masing-masing orang dan masing-masing masyarakat. Ia tidak seluruhnya dilihat sebagai hak individual, tetapi juga tidak seluruhnya menjadi hak kolektif. Lagu dan tarian adalah teks yang dapat dinikmati oleh setiap orang dengan caranya sendiri-sendiri.

Kesulitan inilah yang membuat para pembela lagu Rasa Sayange dan tarian Reog Ponorogo menemui jalan buntu. Kebuntuan itu terutama disebabkan mereka memprioritaskan gagasan hak. Pada hal seni sebagai teks selalu bersifat publik dan mendapat interpretasi yang berbeda-beda.

Memperhatikan kesulitan dasar ini saya kira sudah saatnya bagi kita untuk tidak memandang karya seni semata-mata sebagai barang dagangan, tetapi sebagai kemungkinan untuk dialog kultural, ketika karya seni tersebut dikenal, dinikmati, dan bahkan dipatenkan orang lain. Memperhatikan betapa kurangnya popularitas lagu Rasa Sayange dan tarian Reog Ponorogo di Indonesia, saya malah mengusulkan agar bangsa Indonesia perlu belajar dari pengalaman naratif bangsa Malaysia ketika mempopulerkan lagu dan tarian tersebut. Saya yakin, kita dapat diperkaya oleh pengalaman bangsa-bangsa lain atas lagu dan tarian ciptaan kita sendiri. Oleh karena itu, jika kita ingin konstruktif menanggapi polemik sekitar paten lagu Rasa Sayange dan tarian Reog Ponorogo kita perlu mengubah diri kita dari paradigma hak kepada paradigma dialog kebudayaan.

* Mikhael Dua, Kepala Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, penikmat musik daerah.

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 1 Desember 2007

No comments: