PENJAGA seni budaya lokal akhirnya sedikit memperoleh perhatian dari pemerintah. Mereka mulai mendapat penghargaan sebagai maestro seni tradisi.
Encim Masnah,70,tampil percaya diri membawa tembang DI dalam Pantun Ada Carita. Diiringi musik tradisional gambang-kromong yang ditabuh maestro Ongkian dan Aan serta musik tehian yang digesek Tarlak,nenek asal Kampung Sewan,Kelurahan Neglasari, KotaTangerang,Banten,ini melenggang gemulai.
Rambut yang memutih serta garis-garis tegas yang melipat di wajah mengisyaratkan perjalanannya dengan sang waktu begitu bermakna. Selama 70 tahun itu separuh hidupnya memang telah diabdikannya untuk mempertahankan serta mewarisi musik tradisional Gambang Kromong.
Atas kesetiaan penuh pengorbanan mempertahankan serta mewarisi tradisi, dia layak menerima penghormatan berupa penghargaan maestro seni tradisi. Penghargaan ini diberikan oleh Direktorat Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (NBSF Budpar) yang bekerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Hotel Millenium,Jakarta,pada Jumat (28/12).
Tentu tidak hanya Encim yang memancarkan senyum karena mendapat penghargaan. Tak kurang dari 26 maestro seni tradisi dari berbagai daerah mendapat penghargaan yang sama, kendati secara seremonial hanya diwakili Encim. Ke-26 maestro itu antara lain Ismail Saroeng (maestro bidang keahlian musik Serunai),Abdullah Abdul Rahman (seni tari), Alistar Nainggolan (musik tradisi Batak), Zulkaidah Boru Harahap (opera batak), Ibrahim Ahmad (wayang bangsawan),M Ali Ahmad (Pantun), Sawir St Sati (syair dan musik),Islamidar (Sampelong), Saidi H Bodong (topeng betawi), Bonang (wayang betawi) dan Mimi Rasina (tari topeng dari Indramayu).
Rata-rata usia maestro seni tradisi itu di atas 60 tahun,menyebar dari seantero Nusantara. Memang sudah saatnya masyarakat, umumnya dan pemerintah khususnya, memberikan penghormatan kepada para penjaga tradisi. Para penjaga dan pewaris tradisi itu telah berjuang tanpa pamrih mempertahankan nilai-nilai budaya.
Bagaimanapun, kata Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Mukhlis Paeni, jasa mereka tak terukur nilainya. Tanpa semangat juang para maestro seni itu, bisa saja kekayaan bangsa berupa nilai-nilai seni tradisional yang tersebar dari Aceh hingga Papua akan hilang begitu saja.
Kegelisahan akan hilangnya berbagai kekayaan budaya itu yang mendorong Ditjen NBSF mengembangkan program penghargaan maestro seni tradisi. Sejak Januari 2007, melalui kerja sama dengan ATL, program yang memberikan penghargaan kepada pencinta seni tradisi mulai dilaksanakan.
“Dengan penghargaan ini diharapkan pengetahuan mereka bias ditransfer kepada generasi muda,”kata Muklis. Untuk mendapatkan 27 maestro yang mendapat penghargaan pada tahun pertama ini butuh waktu panjang. Prosesnya, kata Ketua ATL Prudentia, sudah dimulai sejak Januari. Yang dilibatkan dalam proses pengajuan nama-nama pun tidak hanya Ditjen NBSF dan ATL, tapi juga taman-taman budaya serta sekolah tinggi seni yang ada di daerah. Adapun kriteria kelayakan sebagai maestro seni antara lain usia.
Mereka harus lebih dari 50 tahun dan sudah berkarya tidak kurang dari 20 tahun. Ketentuan lainnya segi kelangkaan, baik dari segi orangnya (langka/ tidak ada yang lain) juga tradisinya memang sudah langka. Adapun kriteria paling penting lain,seniman itu hidupnya tidak berkecukupan. Ibarat hidup enggan mati tak mau.
“Mereka ini butuh bantuan agar bisa hidup dan menghidupi tradisi dengan baik,”kata Prudentia. Misalnya saja, tutur Teti, panggilan akrab Prudentia, Sawir St Sati, 60,asal Sumatera Barat. Seniman yang memiliki keahlian di bidang syair dan musik ini hari-harinya berjualan pakaian. Sebagai pedagang kaki lima,dia berjalan dari satu tempat ke tempat lain.
Namun dalam kondisi itu Sawir terus memperdalam kemampuannya mendendangkan lagu-lagu Minang yang sebelumnya sudah dia pelajari saat di kampung. Berkat kemampuannya berdendang dengan iringan saluang, juga lantaran kebisaannya bermain randai, dia pun kerap diundang mengisi acara pesta perkawinan atau perjajanan lain. Ada juga maestro asal Aceh, Ismail Saroeng.
Dia salah satu seniman yang luput dari bencana tsunami. Saat seluruh hartanya terhanyut tsunami,hanya satu harta,yaitu alat musik tiup miliknya yang selamat. Di balik peristiwa itu, Ismail Sarong merasa masih diberi kesempatan untuk menjaga tradisi leluhur sebagai seniman peniup seurune kale yang kian langka. Dengan kriteria semacam tersebut,maka dari 54 kandidat yang masuk ke tim juri, yang lolos untuk mendapat penghargaan sebanyak 27 orang.
Mereka ini selanjutnya akan disantuni pemerintah dengan memberi honor seadanya, yaitu sebesar Rp1 juta per bulan. Santunan ini diberikan sepanjang mereka produktif mengalihkan pengetahuan mereka kepada generasi muda.
Mereka bisa mentransfer pengetahuan mereka kepada generasi muda melalui institusi formal seperti sekolah maupun nonformal berupa taman budaya atau sanggar. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun bisa memanfaatkan mereka. (donatus nador)
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 30 Desember 2007
No comments:
Post a Comment