-- BSW Adjikoesoemo*
DEWASA ini fenomena sastra Islami, terutama fiksi Islami, kerap menjadi wacana dalam berbagai forum diskusi dan media massa. Namun, sejauh ini belum ada tulisan atau diskusi yang secara khusus menyorot tentang perspektif jender dalam sastra Islami. Pembicaraan lebih banyak menyorot fenomena, potensi pasar, dan kekuatannya sebagai wacana alternatif untuk 'menandingi' fiksi sekuler yang belakangan juga marak di Indonesia dan umumnya ditulis oleh kaum perempuan.
Penyebutan 'sastra Islami' atapun 'fiksi Islami' sebenarnya juga masih menunjukkan wilayah yang kabur, karena sifat Islami dalam sastra bisa saja ditunjukkan oleh karya-karya sastra dari kalangan non-Muslim, seperti sajak-sajak Kahlil Gibran, Gothe, dan bahkan sajak-sajak Tagore. Jadi, tidak hanya merujuk pada karya-karya sastrawan Muslim, semisal Najib Khaelani, Rumi, Kuntowijoyo, atau para penulis fiksi dari Forum Lingkar Pena (FLP) yang berjasa mempopulerkan istilah 'fiksi Islami' itu.
Karena itu, untuk kepentingan pembicaraan prespektif jender dalam sastra Islam, saya sengaja mempertegas wilayah pembicaraan dengan penyebutan 'sastra Islam'. Sebagaimana pernah dikemukakan Ahmadun Yosi Herfanda dalam beberapa diskusi di Yogyakarta, yang dimaksud dengan 'sastra Islam' adalah karya-karya sastra yang lahir di dunia Islam dan ditulis oleh sastrawan Muslim serta menawarkan nilai-nilai yang Islami.
Dengan definisi 'sastra Islam' seperti di atas, saya akan mencoba melihat secara acak dan sepintas persepektif jender dalam sastra Islam sejak dari karya-karya Nawal el-Sadawi (Mesir) sampai karya-karya sastra Indonesia terkini, terutama oleh para perempuan penulis yang memang lebih banyak berbicara masalah jender dibanding laki-laki. Sebut saja, misalnya, karya-karya Pudji Isdriani, Helvy Tiana Rosa, Wa Ode Wulan Ratna, Asma Nadia, dan beberapa penulis FLP lainnya.
Berbicara tentang perspektif jender dalam sastra Islam, kita memang tidak dapat melewatkan karya-karya Nawal el-Sadawi, seperti Perempuan di Titik Nol, yang sangat menggetarkan. Siapapun kaum perempuan yang membaca novel tersebut akan terdorong untuk bangkit guna melawan diskriminasi jender dan menolak penindasan kaum laki-laki terhadap kaumnya (perempuan).
Kenyataannya, diskriminasi jender, penempatan perempuan sebagai subordinasi lelaki, dan penempatan lelaki sebagai yang berkuasa, memang sangat kental di dunia Islam tradisional yang berbudaya patriarkhi. Budaya demikian sangat tampak di dunia Islam, sejak di kawasan Timur Tengah sampai Asia Tenggara, termasuk di Nusantara.
Diduga, budaya patriarkhi, yang menempatkan perempuan sebagai 'pelayan' lelaki, itu merupakan pengaruh bersama antara budaya Barat yang sekuler dan budaya feodal dari kaum bangsawan dan kerajaan-kerajaan Timur yang kemudian 'diadopsi' secara tersembunyi oleh kesultanan-kesultanan Islam yang mengalami degradasi nilai. Suatu tradisi budaya yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sejati, yang sesungguhnya muliakan kaum perempuan sebagai 'ibu kehidupan'.
Nawal el-Sadawi, yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, melihat realitas yang amat menyedihkan yang dialami oleh kaum perempuan yang hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional Mesir. Seperti tergambar dalam novel Perempuan di Titik Nol, kaum perempuan Mesir mengalami diskriminasi jender yang sangat menyedihkan. Dalam banyak hal, mereka harus mengutamakan kaum lelaki, bahkan dalam soal makan pun mereka harus mengalah dan mendahulukan kaum lelaki. Bersamaan dengan itu, karena ditempatkan sebagai 'kaum kelas dua', perempuan sering menjadi korban pelecehan seksual kaum lelaki, dan mereka tidak dapat berbuat banyak selain diam dan tunduk pada kekuasaan lelaki.
Melihat nasib kaumnya yang sangat menyedihkan, Nawal el-Sadawi terpanggil untuk mencatat kesaksian, menyodorkan realitas pahit yang berabad-abad tersembunyi, dan mendorong proses perubahan, melalui karya sastra (novel). Karya-karyanya, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia, seperti Perempuan di Titik Nol, Matinya Sang Penguasa, Memoar Seorang Dokter Perempuan, dan Catatan dari Penjara Perempuan, membuka mata jutaan manusia dari dunia Islam untuk menyadari keadaan untuk melakukan perubahan. Melalui novel-novelnya, Nawal el-Sadawi hendak membebaskan kaum perempuan dari penindasan kaum lelaki.
Karya-karya Nawal el-Sadawi sudah lama (sejak awal 1990-an) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, pengaruh semangat pembebasannya belum begitu terasa dalam sastra Indonesia, termasuk yang ditulis oleh para sastrawan perempuan semacam Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Karya Helvy, seperti novel Ketika Mas Gagah Pergi, dan beberapa karya Asma Nadia, secara tidak langsung memang menyinggung persoalan jender, tetapi dengan penggambaran yang sangat lembut sehingga malah terkesan membela budaya patriarkhi.
Karya-karya lain, seperti novel Memory in Sorong, memang secara jelas juga mengangkat persoalan jender, tapi lebih terseret ke persoalan poligami. Melalui novel ini, secara tegas Pudji menolak poligami, sambil mencoba memahami kenapa seorang lelaki yang jauh dari istri terpaksa berselingkuh. Namun, ketika perselingkuhan mengarah ke pernikahan (poligami), dengan tegas sang istri menolaknya, dan kalau perlu 'melenyapkan' saingannya. Perempuan (istri) menjelma menjadi wanita yang tegar dan keras ketika harus mempertahankan suami demi keutuhan keluarganya.
Pada beberapa fiksi Indonesia terkini, yang ditulis oleh pengarang perempuan Muslim, potret perempuan sebagai kaum yang harus tunduk pada adat dan kekuasaan lelaki juga masih kerap muncul, terutama pada cerpen dan novel yang mengangkat kekayaan lokal. Sebagai contoh adalah cerpen La Runduma karya Wa Ode Wulan Ratna. Tokoh utama (perempuan) dalam cerpen ini harus tunduk pada adat untuk dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tua. Tetapi, sang gadis 'berontak' dan melarikan diri. Jadi, sudah berbeda dengan fiksi era Siti Nurbaya, saat perempuan hanya bisa pasrah dalam kekuasaan adat dan kaum lelaki.
* BSW Adjikoesoemo, Alumnus Filsafat UGM, Ketua Indonesia Bangkit
Sumber: Republika, Minggu, 30 Desember 2007
No comments:
Post a Comment