Sunday, December 16, 2007

Esai: Titik-Temu Sastra dan Sains

-- Agus Wibowo*

SASTRAWAN IA Richard dalam bukunya, Peotries and Science (1926) menyatakan bahwa masyarakat modern bakal mengkaji sastra secara serius layaknya kitab suci.Hal ini lantaran krisis spiritualitas dan dahaga batiniah akut yang mereka alami.

Agama yang selama ini dijadikan rujukan utama, kurang mampu diterjemahkan dalam kehidupan (terlampau melangit). Sementara sains dan teknologi yang juga dipuja-puja, hanya menawarkan kesenangan materialis-hedonis—yang jelas tidak mengobati derita batin tersebut. Pada situasi kritis ini, sastra menjelma dan menjembatani keduanya (agama dan sains). Dengan unsur estetis, filosofis, dan imajinatifnya, sastra layaknya oase di tengah gurun pasir yang gersang dan tandus.

Sastra dengan unsur imajinatifnya, ternyata juga memberi inspirasi manusia untuk berkarya sekaligus menyuplai energi spiritual bagi kehidupan.Betapa pentingnya unsur imajinasi dalam karya sastra,sampai-sampai seorang Einstein— yang dikenal sebagai bapak penemu teori relativitas—menegaskan: “imagination is more important than knowledge.” Pengakuan jujur Einstein ini tidak lepas dari kegandrungannya terhadap karya sastra dan musik terutama biola. Einstein juga dikenal sebagai penggemar berat puisi-puisi penyair romantik seperti Wordsworth dan Mary Shelley.

Einstein tampaknya mengikuti jejak pendahulunya, Alfred North Whitehead—seorang ahli matematika sekaligus pengarang karya monumental Principia Mathematica (1910)—yang juga penggemar berat Wordsworthdan Mary Shelley. Layaknya ilmu filsafat, sastra juga menjadi basis atau ibu kandung lahirnya berbagai disiplin keilmuan (mother of scienses). Hal ini lantaran melalui sastra, manusia dibelajarkan untuk menjelajahi imajinasi yang tidak terbatas. Dengan kata lain, manusia diajak bertamasya ke alam imajinasi yang luas tidak terkira (Putu Wijaya, 2007).

Tidak heran jika banyak pemikir inovatif dalam disiplin ilmu sosial dan sains,mempunyai latar belakang sastra yang kuat—setidaknya penikmat sastra. Sebut saja misalnya,Edward W Said, yang membongkar epistemologi orientalisme sambil membuka pintu poskolonialisme; Michel Foucault, yang mengadakan analisis wacana untuk melihat prawacana; atau Antonio Gramsci, yang melihat sastra sebagai medium pembaruan moral dan untuk mengungkapkan ideologi-ideologi kelompok sosial.

Bahkan, beberapa ilmuwan ternama seperti astronomer Carl Sagan, kosmolog Free Dyson, dan rocketry Wernher Von Braun, konon mengawali karier mereka dari kegemaran membaca sastra fiksi-sains. Kemunculan teori Heliosentris (matahari sebagai pusat orbit) yang dilontarkan Copernicus pada 1512,mengundang decak kagum para ilmuwan kala itu. Bagaimana tidak, pada era tersebut tidak ada alat yang mendukung untuk melakukan riset secara langsung atau pergi ke orbit matahari.

Tentunya Copernicus merupakan seseorang yang linuwih, atau mempunyai ilmu gaib karena mampu meneropong masa depan (weruh sak durunge winarah). Anggapan mistis ini terbantahkan, karena ternyata lahirnya teori tersebut berawal dari imajinasi dan intuisi Copernicus—yang juga seorang sastrawan.Kelahiran ilmu Matematika atau Aljabar, juga tiedak lepas dari dunia sastra. Disiplin ilmu tersebut lahir dari ekspresi atau luapan imajinasi yang diguratkan dengan angka, simbol, dan deretan rumus atau persamaan-persamaan.

Sebagai Sumber Inspirasi

Sastra diyakini memberi kontribusi positif bagi kehidupan, terutama sumbangan imajinasi yang menjadi medium manusia mendapat ide atau teori.Ide atau teori inilah yang selanjutnya menjadi karya nyata.Sayangnya,masyarakat kita masih memandang eksistensi sastra dengan sebelah mata.Sebab,secara pragmatis, sastra tidak memberikan kontribusi secara nyata—keuntungan material. Para orangtua merasa amat rugi jika kebetulan putra-putrinya kuliah di fakultas atau jurusan sastra. Bahkan,mereka amat bersedih jika putra-putrinya sampai menjadi sastrawan atau memiliki menantu sastrawan.Para orangtua pasti mengelus dada.

Pertanyaannya, mau diberi makan apa anak-istrinya kelak? Masyarakat kita sudah telanjur melihat ukuran kesuksesan kehidupan dari seberapa banyak materi atau harta benda yang dimiliki. Entah itu rumah, mobil, perhiasan, deposito,dan sebagainya.Mereka tidak akan tertarik jika putra-putrinya mahir membuat puisi,menulis prosa,atau bahkan membuat buku. Sastra tidak mampu menghasilkan kelimpahan materi layaknya sains. Selain itu, acap imajinasi yang merupakan basis sastra dianggap tidak ada manfaatnya. Berbeda dengan pikiran atau pengetahuan (knowlegde) yang merupakan basis sains. Bahkan, ada upaya dikotomi antara sastrawan dan ilmuwan.

Sastrawan tidak membutuhkan ilmuwan, demikian sebaliknya. Padahal, ilmuwan perlu imajinasi guna mengimajinasikan sebuah gambar kawasan atau objek yang akan ditelitinya, sebelum dia mulai membangun teori, lalu mengujinya. Artinya, meski langkah sains dituntun metodologis yang khas (metode ilmiah), imajinasi merupakan pendahulu semua langkah empiris tersebut. Dengan kata lain, ilmuwan perlu sastra sebagai penopang alam imajinasinya tatkala mengonsep sebuah hipotesis atau asumsi penelitian. Ini artinya,sastra dan sains memiliki satu titik temunya yang tidak bisa dipisahpisahkan. Upaya dikotomi hanya akan menghambat kemajuan keduanya.

Titik temu sastra dan sains juga kental terasa pada ranah ontologi (metafisis). Sebab, antara sastra dan sains sama-sama berupaya mengajukan model-model tentang kenyataan. Persinggungan lainnya ialah pada ranah formal, yakni sama bermain dengan manipulasi simbolis. Antara sastra dan sains juga saling memengaruhi, yang mana sains dapat menjadi inspirasi bagi sastrawan untuk menciptakan karya sastra atau juga sebaliknya.Edgar Allan Poe (Eureka), Lewis Carrol (Alice’s Adventure in Wonderland), dan Jorge Luis Borges (Ficciones)merupakan para penulis yang berhasil menautkan sastra dan sains. Selain itu, banyak kisah dari fiksisains yang menjadi inspirasi penemuan sains hebat.

Misalnya penemuan bom atom,balon udara Zeppelin,dan pesawat luar angkasa Appolo 11 milik NASA yang terinspirasi oleh kisah-kisah yang ditulis Jules Verne dalam novel fiksi-sains From The Earth to the Moon. Penulis lain yang karyanya tidak kalah mencengangkan adalah HG Wells,dengan karya The Time Machine (1895),The Invisible Man (1897), The War of the Worlds (1898),The First Men in the Moon (1901),dan beberapa koleksi novel menarik lainnya. Ini memberi gambaran betapa imajinasi yang disuguhkan sastra, banyak memberi kontribusi positif bagi sains terutama sebagai inspirasi ilmuwan membuat karya teknologi.

Sayangnya, perkembangan sains teknologi dan sastra di Indonesia secara umum masih terperangkap dalam bingkai "dua budaya", yakni sains belum memberikan masukan berarti dalam perkembangan sastra. Sementara kecenderungan umum dalam sastra kita, yakni merayakan sains dan teknologi dengan kekaguman,atau bersikap kritis terhadap sains dan teknologi. Selain itu, sastra juga masih menjadi dunia para pengkhayal, sementara sains mengukuhkan dirinya sebagai basis kenyataan dan kemajuan (Yasraf Amir Piliang,2007). Kecenderungan ini juga terasa di perguruan-perguruantinggi(PT) kita.Mata kuliah atau jurusan sastra kurang populer— untuk mengatakan kurang diminati— dikalanganmahasiswa ketimbang mata kuliah atau jurusan sains.

Mestinya, ada integrasi atau penambahan muatan mata kuliah antar kedua fakultas tersebut. Mahasiswa jurusan sastra misalnya,diperkenalkan dengan dunia sains agar kompetensi sastra yang dimilikinya bisa memberi sumbangsih positif bagi kemajuan sains. Demikian halnya mahasiswa yang selama ini berkecimpung di dunia sains, juga harus diakrabkan dengan sastra— sebagaimana yang diterapkan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Tujuannya, mahasiswa diajak untuk berekreasi imajiner dan memaknai berbagai sisi kehidupan yang dapat dipetik dari karya sastra yang dibahas.

Selain itu, melalui sastra, mahasiswa juga diajak menguliti esensi kehidupan untuk mempertebal rasa kemanusiaan, sekaligus menjadi semacam “starter”, pemicu pada penjelajahan pemikiran yang tak terbatas ke segala arah. Hadirnya sastra dalam fakultas atau jurusan sains, juga sebagai upaya meminimalisasi peran teknologi yang selalu arogan dan merasa give solution. Dengan kata lain, sastra bisa menjadi semacam oase di tengah keangkuhan sains.Semoga!

* Agus Wibowo, Esais Sastra, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 16 Desember 2007

No comments: