Sunday, December 16, 2007

Khazanah: Monumen Sutardji Calzoum Bachri

-- Maman S Mahayana*

KETIKA Sutardji Calzoum Bachri (SCB) memproklamasikan kredo puisinya: 'Membebaskan kata dari beban makna, menghancurkan penjajahan gramatika, dan mengembalikan kata pada awalnya, pada mantra' dan coba mengimplementasikan sikap kepenyairannya itu dalam karya, jagat sastra Indonesia–-khasnya puisi--seketika seperti dilanda kegandrungan eksperimentasi. Semangat kembali kepada tradisi dan kultur etnik--yang dirumuskan Abdul Hadi WM sebagai kembali ke akar kembali ke sumber--laksana memasuki zaman aufklarung: menyebarkan pencerahan betapa sesungguhnya Nusantara punya warisan kultur agung.

Kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak (1973) yang sarat mantra seperti sakelar yang mengingatkan sastrawan—penyair kepada corak keindonesiaan yang menjelma dengan semangat dan elan baru. Bukankah keindonesiaan terbentuk melalui perjalanan panjang dan rumit proses akulturasi dan inkulturasi etnisitas berhadapan dengan kebudayaan Hindu, Buddha, Islam, dan belakangan Barat? Di sana kultur etnik menjadi akar dengan tradisi sebagai sumber wawasan estetiknya. Kembali ke kultur etnik, kembali ke tradisi, itulah gerakan estetik yang diusung sastrawan pada 1970-an. Dan untuk bidang puisi, ikonnya tidak lain, Sutardji Calzoum Bachri.

Sutardji Calzoum Bachri dan sastrawan seangkatannya memahami tradisi tidak lagi sebagai sesuatu yang statis, sudah selesai, dan kemudian dilupakan yang dikatakan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dengan "...kami tidak ingat kepada mengelap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan..." Tradisi bagi sastrawan Angkatan 70-an itu ditempatkan sebagai sesuatu yang dinamis, elastis, terus hidup dan dihidupi masyarakatnya. Tradisi adalah sebuah sekrup dari proses dinamika kebudayaan yang hidup dan berkembang. Maka, ia harus selalu berada dalam semangat melakukan tafsir ulang sesuai dengan keperluan masa kini.

Abdul Hadi mengatakan, tradisi bukan sekadar produk sejarah, melainkan juga sebagai sistem pengetahuan holistis yang berkaitan dengan kehadiran rahasia Yang Transenden dalam kehidupan. Dengan semangat itulah, SCB memperlakukan tradisi Melayu sebagai ibu kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya sebagai sumber wawasan estetiknya. Ia menjadi alat kesadaran untuk berbuat—mengungkap-mengucap.

Salah satu sarana untuk mengungkap-mengucap itu adalah puisi. Dan SCB memahami benar bahwa puisi bermain dalam tataran bahasa dengan kata sebagai intinya. Maka, ia menerka hakikat kepenyairannya dalam cengkeraman kegelisahan yang hidup yang pencariannya tidak sekadar mencipta ilham atau mengolah kata sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Penyair hendaknya tidak bertindak semata-mata sebagai pengguna kata, tetapi juga pencipta kata, pencipta makna dalam kerangka membangun kehidupan fiksional. Oleh karena itu, puisi bukan sekadar menghidupkan kembali bahasa yang sudah usang (arkaik) menjadi lebih segar sebagaimana yang dilakukan Amir Hamzah. Juga tidak sebatas memanfaatkan bahasa sehari-hari sebagai alat ucap yang penuh vitalitas, seperti yang diperlihatkan Chairil Anwar.

Bagi SCB, tugas penyair adalah melakukan penjelajahan, menukik—mengorek sampai ke inti kata. Mencipta kata dan membiarkan menemukan maknanya sendiri. Di sinilah, pesan spiritualitas SCB mengembalikan kata pada mantra akan menyesatkan jika ditafsirkan secara letterlijk, harfiah! Pesan spiritualitasnya mesti dimaknai lebih jauh sebagai salah satu upaya mengembalikan rahasia yang transenden sebagai ruh puisi. Maka, puisi bukan semata-mata deretan kata-kata yang membangun makna sintaksis—semantis, melainkan kata yang dapat memancarkan sihir, ritme yang membangun sugesti, dan ekspresi yang dapat menghidupkan sakelar imajinasi, menginspirasi untuk membawa pembaca—pendengarnya menerbangkan asosiasinya ke wilayah pengalaman spiritualitas masing-masing. Puisi harus menyimpan kekuatan magis yang membetot pembaca—pendengarnya ke dalam wilayah transendensi yang mahaluas, yang tidak terbatas ruang dan waktu.

Harus diakui, pada dasawarsa 1950-an, Ajip Rosidi coba menawarkan kultur keindonesiaan sebagai lahan garapan sastrawan yang kemudian memunculkan begitu banyak kosakata bahasa daerah. Tetapi pengucapannya belum lepas dari pengaruh Chairil Anwar dan sastrawan seangkatannya. Seperti Mohammad Yamin yang memperkenalkan tubuh soneta dalam jiwa pantun. Bentuk luar dan kemasannya seolah-olah baru, meskipun isinya belum beranjak dari cengkeraman jiwa yang lama. Hal yang juga terjadi pada diri Sutan Takdir Alisjahbana. Ia menawarkan konsep estetik puisi baru. Tetapi, ia juga sekadar menawarkan wacana, lantaran puisi-puisinya juga tidak dapat melepaskan diri dari pantun.

Popo Iskandar mengungkapkan, eksplorasi SCB lebih mendalam jika dibandingkan dengan Chairil Anwar. Konteks pernyataan itu tentu saja bukan pada perbedaan zaman, melainkan pada usaha melakukan penggalian pada hakikat kata, mengorek sampai ke inti kata yang kelak bakal menjadi ruh, jiwa, dan tubuh puisi. Itulah semangat penyair yang hidup. Ia bukan penulis puisi yang cukup menderetkan kata-kata yang membangun rangkaian makna. Penyair ialah pencipta dunia lewat kata-kata. Ia juga seorang pesulap, pawang kata-kata yang piawai menyimpan filosofi seninya, estetika, wawasan, elan, bahkan ideologinya tentang kesenian, kemanusiaan, dan kehidupan.

Berbagai tanggapan kemudian bermunculan, tetapi tidak ada yang coba membandingkan reputasi dan kebesaran SCB dengan Chairil Anwar. Bahkan A Teeuw dan Umar Junus menyebutkan puisi SCB, seperti pot atau Shanghai dan beberapa puisi SCB lainnya yang semodel dengan itu sebagai tidak ada artinya.

***

Sesungguhnya, sejauh manakah capaian estetik SCB? Relevankah kita membandingkan monumen yang telah ditancapkan Chairil Anwar atau para penyair lainnya dengan monumen (:capaian estetik) SCB? Jika Dami N Toda menempatkan Chairil Anwar sebagai mata kanan dan SCB sebagai mata kiri sastra Indonesia, saya--setelah coba mendalami ceruk kedalaman puisi-puisi SCB, coba menangkap makna di balik kesederhanaan dan kelincahpiawaian naratif cerpen-cerpennya, mencermati pandangan kritis para pengamat sastra Indonesia tentang Sutardji Calzoum Bachri dan terhanyut saat menjelajahi filsafat seninya dalam Isyarat (2007)--rasanya harus berkesimpulan: Sutardji Calzoum Bachri lebih besar daripada Chairil Anwar! 

* Maman S Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Sumber: Media Indonesia, 16 Desember 2007

No comments: