Sunday, December 09, 2007

Esai: Bisikan Sastra Perang…

-- Binhad Nurrohmat*

WATAK kesusastraan peka pada tragedi, dan di antara tragedi terbesar bagi umat manusia adalah perang. Perang merupakan tragedi yang tak sebatas membinasakan tubuh dan melenyapkan peradaban manusia. Ketika krisis dan kegundahan di Eropa merebak pada 1935 dan dihantui luka Perang Dunia I, Jean Girauduoux menyelipkan sebaris kalimat jitu tentang bahaya perang yang paling mengerikan ke dalam dramanya, La guerre de Troi n’aura pas lieu (Perang Troya Tak Bakal Meletus): "Kebenaran adalah korban pertama dalam perang."

Pada berbagai zaman, perang gampang menggerakkan manusia menyelenggarakan kekerasan untuk penghancuran dan penaklukan. Perang merupakan bentuk tragedi primitif yang kerap mencabik-cabik riwayat umat manusia sejak mula hingga masa kininya. Tak mengejutkan bila ilham penciptaan kesusastraan agung abad silam—Mahabharata, Iliad, Odyssey—adalah perang. Juga, kesusastraan pada kurun mutakhir: Krawang-Bekasi saduran Chairil Anwar, Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer, dan Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma.

Sastra Perang bukan "liputan" permukaan belaka atas peristiwa atau suasana perang. Sastra Perang adalah pijar kedalaman empati tentang kehancuran tubuh dan pantulan warna-warni mental manusia dalam situasi konflik yang mampu menumbuhkan makna baru dan memperkaya pemahaman atas kenyataan, berdasarkan sudut pandang, visi, atau perspektif tertentu.

Virginia Woolf dalam Three Guineas (1938) membincang ihwal perang. Karya ini merefleksi foto kebengisan perang yang diedarkan Pemerintah Spanyol dua kali sepekan, dan Woolf menyimpulkan perang tak terpadamkan oleh edaran dokumentasi kekerasan itu.

Sastra Perang bukanlah risalah filsafat perang, meski di dalamnya bersemayam renungan filosofis. Sastra Perang mengambil jarak dan sekaligus intens terlibat dengan perang. Sastra Perang mengendus detak batin dan suara di benak pelaku atau mereka terkena dampak perang, tanpa berkhotbah.

Sastra Perang juga bukan kisah ulang gemuruh pertempuran. Novel Fateless Imre Kertesz (peraih Nobel Sastra 2002), misalnya. Novel berlatar Perang Dunia II ini bukan dokumentasi atas deru dan gelimang darah dalam perang ini. Novel ini mengarahkan kisah pada apa yang menyeruak dari derita jiwa raga manusia yang disekap dalam kamp konsentrasi Yahudi di Auschwitz dan Buchenwald.

Sastra Perang "menggemakan bisikan" pikiran dan jiwa manusia yang mengalami atau terpengaruh oleh perang, beserta keluhuran dan kebusukannya. Sastra Perang menyuarakan yang terabaikan dalam hiruk kekerasan, serupa kesaksian melankolis puisi Toto Sudarto Bachtiar Pahlawan Tak Dikenal: Wajah sunyi setengah tengadah/Menangkap sepi padang senja/Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu/Dia masih sangat muda.

Namun, ada Sastra Perang yang berfungsi sebagai "dokumentasi" peristiwa perang, misalnya sebagian Syair Perang Menteng yang mencatat serangan militer kolonial Belanda ke Kerajaan Palembang dan perlawanan rakyat Palembang. Syair ini digubah pada 1819, tak lama seusai perang ini meletus. Dan, juga ada Sastra Perang yang difungsikan untuk mengobarkan semangat perlawanan, contohnya Hikayat Perang Sabil saat rakyat Aceh mempertahankan wilayahnya dari agresi militer kolonial Belanda.

Pramoedya

Sastra Perang bagi pembaca yang hidup di dunia nan damai bisa menjadi sejenis "hiburan" pemantik naluri dramatik yang bisa mengusik atau menggundahkan lantaran sembulan kegetiran dan kengerian dari pergumulan batin dan pikiran manusia yang terlibat perang atau terpengaruh olehnya.

Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Karya yang ditulis semasa revolusi 1945-1949, ketika di dalam dan selepas dari penjara Belanda, ini menggambarkan sisi lain kehidupan manusia yang mengorbankan banyak hal demi cita-cita kemerdekaan, tetapi pengorbanan itu hanya menyebabkan penderitaan. Kisah-kisah yang diduga mengandung otobiografi pengarangnya ini menggambarkan manusia-manusia frustrasi akibat perang. Peristiwa perang dalam kisah-kisah ini cuma jadi latar yang muncul-hilang atau samar sama sekali.

Pram dan Chairil adalah manusia yang menghirup udara dan tumbuh pada masa perang. Penghayatan mereka atas perang dan dampaknya menjadi pengalaman pribadi yang natural. Perang adalah pengalaman empiris dan otentik mereka.

Namun, lewat data dan imajinasi, penghayatan terhadap perang atau dampaknya bisa terselenggara tanpa dialami oleh pengarang secara langsung, misalnya puisi Zagreb Goenawan Mohamad: Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan,/datang jauh dari Zagreb./Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong kepala, dan/berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya:/"Ini anakku.". Meski puisi dianggap realitas fiksional, bukanlah berarti puisi ini khayalan kosong yang tak bisa menautkan referensi pembaca ke peristiwa getir akibat keganasan perang, nun di sana.

Sedangkan Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma adalah "berkah" dari pembatasan terhadap wartawan yang meliput konflik bersenjata di Timor Timur pada masa Orde Baru. Berita-berita Seno mengenai konflik berdarah ini dibungkam (off the record). Tetapi, "ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara" kata Seno. Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini merupakan berita (fakta) yang "menyamar" sebagai sastra (fiksi), sehingga "berhak" atau malah "dituntut" menyembulkan daya literer.

Inti dari Sastra Perang adalah konflik lahir batin, kekerasan, dan tragedi akibat perang sebagaimana juga konflik atau kekerasan massal di Tanah Air dalam satu-dua dasawarsa belakangan ini yang merenggut banyak korban manusia. Konflik-konflik ini terekam oleh jurnalisme dan secara signifikan belum muncul dalam kesusastraan. Berubahkah watak kesusastraan mutakhir?

Konon, kesusastraan dianggap berharga antara lain karena mencerap suara dan geliat zamannya. Unsur mutu atau capaian estetika kerap jadi kekuatan mendasar dan amat menonjol, tetapi unsur ini bukanlah satu-satunya yang membuat kesusastraan bisa gemilang atau menggugah pembaca dari masa ke masa.

* Binhad Nurrohmat, Penyair

Sumber: Kompas, Minggu, 09 Desember 2007

No comments: