-- Zacky Khairul Uman*
Sihir sejarahmu senjakala sudah
Kubur wajah rendah diri itu, kubur warisan tolol itu...
Aku mampu mengubah:
tambang peradaban-inilah namaku
(Adonis, Waqt bayn al-Ramâd wa al-Ward, 2004:12)
PADA mulanya adalah kekalahan. Pada Juni 1967, hujan peluru membanjiri Perang Enam Hari dunia Arab melawan Israel. Inilah perang yang menentukan segalanya. Nasionalisme kerakyatan yang kemudian masyhur dengan Nasserisme, akibat pengaruh Gamal Abdel Nasser, yang sempat membikin gairah kebangkitan bangsa Arab era 1950-an hingga 1960-an, bertekuk lutut menderai air mata.
Pasca-1967 adalah petanda krisis mentalitas Arab. Mulailah, ramai diperbincangkan revitalisasi "tradisi".
Yang tradisionalis memaksa untuk kembali ke otentisitas Islam sebagai warisan utama Arab. Yang neomodernis berupaya mendialogkan warisan tradisi dengan ide-ide kemajuan dari Barat. Bahkan, ada pula yang sekuler: mendekonstruksi tradisi dan mengambil inspirasi kemajuan Barat. Mulai saat itulah hingga kini, kita mengenal pemikiran brilian dari Adonis, Hassan Hanafi, Abid al-Jabiri, Arkoun, Abu Zayd, dan seterusnya.
Bagi ’Ali Ahmad Sa’id Asbar, nama asli Adonis, seorang sastrawan Arab kontemporer, krisis pascaperang hanya sebuah koinsiden. Mengenai genealogi keterpurukan bangsa Arab, Adonis punya preseden tersendiri. Yakni kala Adonis meneliti puisi-puisi terbaik Arab sepanjang masa, mulai dari era Jahiliah hingga modern. Mulai dari 'Imru al-Qays hingga Kahlil Gibran, dan membikin buku yang berjilid-jilid dalam Antologi Puisi Arab di awal 1960-an.
Temuan Adonis mencengangkan. Hampir mayoritas produk puisi Arab—yang kita maklumi sebagai intisari karya sastra Arab—mengikuti nalar yang mengekor ke masa lalu. Stilistika dan bentuk puisi Arab manut pada suatu wujud yang baku, mapan, dan tak tergugat.
Jika sastra yang semestinya menabuh perubahan, kreatif, dan dinamis, situasi itu membuat kebudayaan menjadi statis. Adonis menilai kemunduran sastra menjadi ayat bagi kemerosotan budaya yang dipegang oleh mayoritas kemapanan yang statis.
Kritik budaya
Maka, peristiwa 1967 pun menjadi titik balik pula bagi kreativitas Adonis. Karya puisinya yang terbit setelah tahun krisis itu, "Waktu di Antara Abu dan Mawar", menjadi "baru" sekaligus kritik tajam dan paling berani atas kebudayaan Arab. Mulailah ia meneropong kebudayaan Arab secara keseluruhan, hingga menjadi sebuah disertasi dengan kajian fenomenologis dalam kebudayaan Arab.
Ia membagi kajiannya dalam dua konsep, "yang statis" dan "yang dinamis", sebagai kecenderungan dua "mazhab" yang bertentangan. Ia menegaskan, baik yang klasik maupun yang modern, menentang "budaya liberal". Ia melihat kecenderungan ini dalam pemikiran para sarjana Arab klasik dan modern.
Kehidupan Arab tak akan pernah mencapai kemajuan, menurut Adonis, dan tidak dapat mencipta kecuali jika struktur tradisional pemikiran Arab diubah sehingga terjadi perubahan dalam cara memandang dan memahami sesuatu.
Dekonstruksi budaya tidak dilakukan melalui instrumen lain kecuali lewat tradisi itu sendiri. Dalam Deklarasi ke Arah Kebudayaan Arab Baru (1980), Adonis menyerukan untuk membebaskan Arab dari setiap bentuk tradisionalisme, mendesakralisasi masa lalu dan menganggapnya sebagai pengalaman serta pengetahuan yang tak mengikat secara mutlak.
Manifesto modernitas
Adonis menolak nilai-nilai statis dalam membangun tradisi sastra dan budaya. Ia meredefinisi puisi secara prestisius sebagai "visi untuk mengubah dunia". Dengan mencipta kebaruan dalam ekspresi sastra, Adonis membangun pembaruan dalam kesusastraan yang membuat dirinya sebagai "juru bicara" sastra Arab kontemporer. Visi tersebut berujung pada pembentukan identitas dan kebudayaan baru berdasarkan kebebasan berekspresi dan perubahan yang mencerahkan.
Meski Adonis mengkaji kekuatan inovasi pada gerakan revolusioner (Khawarij dan Qaramith), pemikiran rasional (Mu’tazilah dan sarjana lainnya), dan tasawuf (gerakan esoterisme menentang formalitas syari’ah), tetapi tampaknya Adonis lebih banyak menyoroti kecenderungan kreatif sastra (puisi) untuk meneropong perubahan kebudayaan.
Puisi bagi Adonis adalah "upaya menciptakan dunia baru dengan cara melemparkan masa kini ke masa depan atau membuka pintu-pintu masa kini untuk menerawang masa depan.
Lebih lanjut dalam Zaman Puisi (1972), ia menyatakan, "puisi baru merupakan metafisika eksistensi kemanusiaan; pujangga besar ialah perubah, bukan hanyut dalam keheningan (statis)". Sebagaimana TS Elliot dalam sastra Inggris, Adonis memang pencipta genre dan mazhab baru serta kritikus sastra Arab yang amat ulung.
Nobel sastra
Adonis, yang beberapa kali dinobatkan sebagai calon peraih Nobel Sastra, menganggap kesusastraan sebagai politis. Dalam manifesto modernitasnya, Adonis meyakini bahwa kesusastraan dapat mengubah dunia secara revolusioner, dengan seorang pujangga memainkan peran utama di dalamnya.
Kreativitas dilihatnya sebagai bukti kebesaran manusia bahwa ia makhluk kreatif. Zaman kreasi ialah dialektika antara yang lahir dan yang batin. Manusia mulai mempersonifikasikan sesuatu yang gaib.
Keyakinan Adonis untuk mengubah kebudayaan diperlukan kreator-kreator yang transformatif. Mereka yang memerankan diri sebagai ubermensch yang mampu menggelorakan spirit zaman. Ia mendeklarasikan diri sebagai kreator itu sendiri. Ia banyak dipuja, tetapi karena itu pula ia banyak dicela.
"Aku menulis dalam bahasa yang mengasingkanku," ungkap Adonis.
Ya, memang, ia hijrah dari Suriah ke Lebanon terus ke Paris karena tekanan politik, penolakan ide-ide liberalnya serta prahara perang saudara yang menyekam api. Tetapi, ia tak pernah puas berkarya.
Karyanya adalah simbol kreativitas dan perubahan itu sendiri. Adonis, dialah sang penyair-filsuf yang menggegerkan Arab. Ia pembawa kredo dinamis bagi arti sebuah kebebasan, kemanusiaan, dan kemajuan peradaban sebagaimana ia buktikan sebelumnya sebagai pemimpin gerakan "sastra pembebasan" (syi’r hurr) era 1950-an hingga 1960-an.
Ia berseru: liber, libera, phallus....
* Zacky Khairul Uman, Program Studi Arab Universitas Indonesia; Cak Tarno Intitute
Sumber: Kompas, Sabtu, 15 Desember 2007
No comments:
Post a Comment