Padang, Kompas - Masyarakat Minangkabau yang dikenal memiliki kearifan budaya yang luhur ditantang untuk menampilkan kebudayaan itu demi memecahkan persoalan bangsa yang kompleks. Persoalan korupsi, perbedaan antara kata dan tingkah laku, serta perkembangan mentalitas menerabas ingin cepat kaya juga ditantang untuk dipecahkan dengan kearifan lokal.
Demikian salah satu isi pidato kebudayaan Prof Dr Ahmad Syafi’i Maarif, Sabtu (29/12) di Taman Budaya Padang, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatera Barat.
Menurut dia, masyarakat Minangkabau mempunyai sejumlah ungkapan yang sarat makna, mulai dari berbagai petatah-petitih hingga gurindam. Namun, berbagai produk kearifan budaya ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengatasi persoalan bangsa, seperti sulitnya mencari orang jujur, amanah, dan dipercaya.
Persoalan ini, lanjut Syafi’i, juga pernah diulas antropolog Koentjaraningrat dalam penelitiannya tahun 1970. Hasil penelitian itu antara lain mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia, terutama usahawan, ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memerhatikan proses. "Persoalan ini terus berlangsung hingga sekarang," kata Syafi’i, kelahiran Sumpur Kudus, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, itu.
Syafi’i melihat belum ada keberanian untuk bersikap melawan sifat yang sudah mengurat-akar di masyarakat secara umum. "Minangkabau, negeri elok, sudah lama menantikan anak-anaknya agar berani menyimpang dari pola umum yang korup, yang sedang melilit batang tubuh Indonesia sekarang, tetapi alangkah sukarnya," kata mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Kendati sulit, Syafi’i mengatakan, perlawanan harus tetap dilakukan. Salah satu yang dibutuhkan adalah ada stamina spiritual yang tidak boleh kendur.
Kultur berdebat
Di sisi lain, Syafi’i juga melihat historis kekuatan masyarakat Minangkabau, yang terletak pada kemampuan berdebat, bahkan di forum dunia dalam upaya membela martabat bangsa dari segala pelecehan dan pencibiran. Sayangnya, kemampuan diplomasi itu semakin luntur.
"Kita tidak lagi memiliki kemampuan diplomasi yang tangguh, seperti dulu diperlihatkan Agus Salim, Hatta, Sjahrir, Soedjatmoko, Adam Malik, Roem, LN Palar, Mochtar Kusumaatmadja, dan nama-nama lain. Orang Minang yang dikenal jago bersilat lidah dan terkenal dengan bidal ’takilek ikan dalam aie, alah tantu jantan batinonyo’ atau ’alun takilek alah tabayang’ (terlintas ikan dalam air, sudah tentu jantan betinanya, atau belum terlihat sudah terbayang) merupakan modal utama untuk berdebat dengan penuh percaya diri," katanya.
Menurut Syafi’i, kearifan lokal yang dikawinkan dengan unsur budaya rantau inilah yang melahirkan diplomat-diplomat andal untuk bersilat lidah di forum internasional. (ART/NAL)
Sumber: Kompas, Senin, 31 Desember 2007
No comments:
Post a Comment