JAKARTA, KOMPAS - Diisi peluncuran buku Once Ong Onghokham dalam Kenangan, pemutaran film pendek manusia Onghokham, dan kenangan beberapa teman almarhum, peringatan 100 hari meninggalnya Onghokham diselenggarakan di Teater Kecil TIM, Jakarta, Sabtu (8/12) malam. Hadir dalam acara itu ketiga editor buku—David Reece, JJ Rizal, dan Wasmi Alhazir—sekitar 100 hadirin yang terdiri atas bekas mahasiswanya, keluarga, kolega, rekan-rekan Ong, seperti Taufik Abdullah, Peter Sie, AB Lapian, Mely G Tan, Harry Tjan Silalahi, Thee Kian Wie, Pia Alisjahbana, Muhamad Iskandar, dan Myra Sidharta.
Gelak tawa mewarnai seluruh rangkaian acara begitu rekan-rekan almarhum menyampaikan pengalaman bersama Ong (1 Mei 1933-30 Agustus 2007). Kenangan-kenangan yang terungkap sebagian besar bukan Onghokham sebagai salah satu sejarawan besar Indonesia—sempat diwarnai suasana sendu ketika panitia mengajak berdoa sejenak untuk kepergian Prof Dr Sartono Kartodirdjo—tetapi tentang sosok Onghokham sebagai manusia yang unik menurut Harry Tjan Silalahi, penikmat absolut makanan menurut Dede Oetomo, berani malu kalau ada mau kata Beny Subianto, suka seenaknya sendiri menurut Toenggoel P Siagian.
Begitu seriusnya perhatian Ong pada makanan seserius memerhatikan ilmu sejarah. Adrian B Lapian ingat pengalaman saat Ong setelah terkena stroke pada 15 Februari 2001 di Yogyakarta, saat akan ikut merayakan ulang tahun Sartono Kartodirdjo. Ong membuat surat wasiat "aneh". Aneh sebab di saat Ong berbaring sakit, Lapian diminta mencatat ikan bandeng di deep-freeze untuk si A, botol-botol minuman keras untuk si B. "Sudah menghadapi maut masih memikirkan isi lemari es dan koleksi alkohol," kata Lapian, sambil menambahkan ketika Ong balik ke rumah di Cipinang Muara, surat wasiat itu dia kembalikan ke Ong sekaligus meminta surat wasiat itu dibuat sah.
Taufik Abdulah mengajak hadirin membayangkan Onghokham berpakaian necis lengkap dengan dasi dan jas. Itu terjadi ketika Taufik bersama sejumlah sejarawan Indonesia hadir dalam sebuah pertemuan di Belanda. "Baru sekali itu kami para rekannya melihat Ong berpakaian necis," ungkap Taufik Abdullah. Ketika kepada Ong dia minta lebih baik buka restoran daripada sejarawan—semua yang pernah menikmati masakan Ong berdecak kagum—Ong langsung menjawab "tidak bisa". "Memasak itu suatu event," kata Taufik menirukan Ong.
Kemenakan Onghokham, Paoke Hudyana, dalam kesempatan itu menyampaikan terima kasih atas perhatian dan terbitnya buku Once Ong. Dalam keluarganya, di Malang maupun Surabaya, sesuai tradisi, Ong biasa dipanggil Ku Ham.
Ketika studi hukum di Bandung dan kemudian sejarah di Jakarta, keluarga Hudyana dan Ong jarang bertemu, dan setiap kali ada saudara yang pulang dari luar negeri yang dia tanyakan adalah duty free berupa minuman. Kesukaan Ong pada makanan dan minuman diungkap pula oleh rekan-rekan dan bekas muridnya yang malam itu menyampaikan kenangan.
Sosok Onghokham sebagai manusia biasa juga terungkap dalam Once Ong, buku setebal 358 halaman berisi kumpulan kenangan 52 sahabatnya, dikemas khusus untuk acara peringatan 100 hari Onghokham. Penyumbang kenangan dalam buku ini beragam, seperti Bendict Anderson, Sydney Jone, Anthony Reid, Jamie Mackie Mackie, Asvi Warman Adam, dan Harold Crouch.
Kenangan pun beragam seperti kekaguman Jakob Oetama tentang manusia Ong sebagai sosok manusia yang amat berperikemanusiaan dan tabah dalam penderitaan. Goenawan Mohamad yang mengingat Ong merasa lebih bangga sebagai juru masak daripada sejarawan, dua kepandaian yang dibawa pulang dari AS tahun 1975. (STS)
Sumber: Kompas, Senin, 10 Desember 2007
No comments:
Post a Comment