Saturday, December 22, 2007

Diskusi Sastra: Lebih Mendalam dan Humanis

-- Lan Fang*

bayangku membusuk setelah dingin

kureguk

dan malam yang semakin mabuk

mencambuk tubuhku

dengan segala ngilu. Wajahku tergores

sebaris kelembutan. Aku tenggelam

seperti sebongkah kesaksian yang

mengiris ingatan

di lorong-lorong pelabuhan. Dan ombak

yang kian jantan datang

dengan kesepian tak tertahan

seribu mambang telah berlayar

membawa bunga-bunga api, seperti

petualang jelatang

menyadap tubuhku yang paling mawar


CUPLIKAN puisi Pelayaran Bunga karya A Muttaqin itu menjadi cover buku dokumentasi sastra Festival Cak Durasim 2007 yang dihelat dari tanggal 10-17 November 2007 di Taman Budaya Provinsi Jawa Timur. Festival ini merupakan acara tahunan yang pada tahun ini merupakan penyelenggaraan yang ke-8.

Menurut Pribadi Agus Santoso, Kepala Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, festival ini merupakan salah satu agenda berkesenian di Jawa Timur dan merupakan sebuah ruang dialog yang diharapkan bisa mengakomodasi kreativitas para seniman. Dari sini diharapkan para seniman bisa saling mengenal, berkolaborasi, dan membangun jaringan. Bukan saja dalam lingkup Jawa Timur, antarprovinsi di Indonesia, tetapi juga dengan luar negeri. Oleh karena itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, materi yang disajikan meliputi seni pertunjukan tari, teater, kesenian daerah, wayang, dan sastra.

Sejak enam tahun yang lalu, sebagaimana layaknya sebuah festival yang seharusnya ada pertunjukan yang bisa ditonton, maka kali ini pun sastra juga mempertunjukkan pembacaan puisi dan cerpen. Bedanya pada dua tahun terakhir ini, Taman Budaya Provinsi Jawa Timur juga menambahkan acara diskusi sastra ke dalam agenda penyelenggaraan selain menerbitkan buku antologi cerpen dan puisi.

Pelayaran Bunga, dokumentasi sastra Festival Cak Durasim 2007 yang diterbitkan, kali ini diwakili oleh 10 sastrawan Jawa Timur "terkini" yang dipilih oleh tim seleksi. Buku ini didiskusikan oleh Maman S Mahayana, Djoko Saryono, dengan key note speaker Budi Darma. Sementara dari kalangan penulisnya diwakili oleh tujuh penyair, yaitu A Muttaqin, Didik Wahyudi, Javed Paul Syatha, M Faizi Kaelan, M Fauzi, Puput Amiranti N, dan R Timur Budi Raja; dan tiga prosais, yaitu Imam Muhtarom, Lan Fang—saya sendiri—dan Mashuri.

Pasti sulit untuk mendefinisikan maksud "terkini" itu. Namun, panitia penyelenggara menyepakati istilah "terkini" itu bukan sekadar dari sisi usia mereka yang rata-rata masih muda. Akan tetapi, juga dari pencapaian estetika dan konsistensi berkarya. Diharapkan kesepuluh sastrawan ini bisa dianggap sebagai bagian dari representasi perjalanan sastra di Jawa Timur.

Jauh berbeda

Djoko Saryono, seorang pengamat sastra yang juga dosen pascasarjana Universitas Negeri Malang, mengatakan bahwa karya ke-10 sastrawan itu jauh berbeda bila dibandingkan dengan generasi 1980-an dan 1990-an. Baik dari gaya penyampaian bahasa, estetika, maupun makna. Djoko Saryono mengistilahkan bahwa karya mereka bertiwikrama. Mengungkapkan hal-hal yang sepele dan kecil di dalam bingkai fenomena alam semesta. Diungkai dengan kata-kata liris dan puitis. Yang kemudian membesar dan mendalam dalam pesona dimensi humanis dan spiritual. Jauh dari nada geram dan kalimat yang meledak-ledak, yang kerap dipakai pada puisi-puisi dan cerpen-cerpen sastrawan dari generasi sebelumnya yang banyak berbicara tentang hal-hal besar seperti tema-tema politis dan sosial.

Ia mengambil puisi A Muttaqin Namaku Malam, Puput Amiranti Di Telik, Laut Kembali Berbuih, dan cerpen Sonata, sebagai contoh. Menurut dia, para penulis tersebut banyak mengambil keindahan alam untuk menyampaikan kabar hati. Pilihan kata-kata yang dipakai sangat teduh dan menyentuh. Kalaupun melukiskan lara dan kecewa, tetapi disampaikan dalam bahasa estetika yang jauh dari tekanan bahasa yang ingar-bingar. Bahkan cenderung nyaris tenang, penuh kontemplasi dan menyublim.

Maman S Mahayana menarik sejarah ke dalam perbincangan kritik sastra. Menurutdia, seyogianya kritik sastra tidak sekadar hanya menjembatani teks-teks yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Tetapi juga memberikan apresiasi, panduan, keterangan tambahan, dan pengungkapan kekayaan teks yang belum tergali. Seperti yang dilakukan Sutan Takdir Alisjahbana dalam mengulas puisi-puisi yang dikirim ke majalah Pandji Poestaka pada awal 1932.

Menurut Maman, ketersesatan dalam pemahaman atas kritik sastra Indonesia itu setidaknya dipengaruhi oleh lima faktor utama, yaitu kelalaian membaca sejarah, salah memahami dan menerapkan pendekatan struktural, salah memahami hakikat dan tujuan karya sastra, adanya kecenderungan eksklusif dan arogansi dari kaum akademis, juga adanya kesalahpahaman dalam memahami kategori kritik sastra.

Sebagai key note speaker, Budi Darma merangkum keseluruhan diskusi dengan jernih, bening, cerdas, dan menyihir semua peserta diskusi. Ia mengutip pendapat Sapardi Djoko Damono bahwa seorang penyair (prosais) yang baik adalah juga seorang esais yang baik. Bahwa karya sastra hampir bisa dikatakan selalu berbicara tentang "diri sendiri". Maka karya sastra tidak sekadar hanya berpuitis-ria, tetapi juga harus bertutur dengan sistematis dan kedalaman makna seperti selayaknya sebuah esai. Begitu juga sebaliknya. Sebuah paparan makna yang disampaikan secara sistematis juga harus memiliki keindahan puitis untuk memikat pembacanya.

Pelayaran Bunga ternyata bisa dikatakan cukup mendapat respons positif dari masyarakat Surabaya. Pada malam harinya, di halaman Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, dibangun sebuah panggung kecil dikelilingi obor dengan sebuah layar lebar di sisi panggung, ke sepuluh sastrawan yang terangkum dalam Pelayaran Bunga tampil membacakan karya-karyanya. Masyarakat yang mengapresiasi cukup banyak walaupun jauh dari kesan hiruk-pikuk.

Karena pada saat yang sama, Surabaya juga mempunyai perhelatan akbar di Tugu Pahlawan dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, yakni konser akbar Simfoni untuk Bangsa. Di acara ini tampil sederet artis dan musisi kondang Tanah Air. Mereka adalah Ungu Band, Ari Lasso, Iwa K, Drive Band, Ian Antono, Achmad Albar, Piyu, Butet Kertaredjasa, dan Kua Etnika. Puluhan ribu warga Surabaya tumplek blek di Tugu Pahlawan dan jalan-jalan sekitarnya.

Dua event yang bertabrakan itu tidak terlalu dikhawatirkan dengan serius oleh Pribadi Agus Santoso selaku Kepala Taman Budaya Provinsi Jawa Timur. "Konsumen yang gegap gempita itu berbeda dengan penikmat kata-kata. Masing-masing mempunyai segmen dan diapresiasi sendiri-sendiri di masyarakat," ujarnya. Lagi pula, biasanya Festival Cak Durasim memang diselenggarakan di kisaran bulan Oktober pada setiap tahunnya. Hanya pada tahun ini bergeser ke bulan November karena pada bukan Oktober bersamaan dengan bulan puasa dan hari Lebaran.

Ini senada dengan pernyataan pamungkas Budi Darma di akhir acara diskusi temu sastra pada siang harinya. "Membaca karya sastra bisa disamakan seperti mendengar sebuah komposisi lagu. Lagu yang baik akan meninggalkan gema di hati pendengarnya. Demikian juga dengan karya sastra yang baik akan meninggalkan kesan di hati pembacanya," ujarnya.

Pelayaran Bunga diharapkan bisa lebih banyak berbicara tentang wajah sastra terkini Jawa Timur. Tidak sekadar berlayar terombang-ambing di atas samudra kata-kata belaka. Namun, bisa terus melahirkan karya-karya yang layak diperhitungkan. Karena bukankah semua bunga lahir dari kegelapan bumi yang merindu matahari?

* Lan Fang, Penulis Tinggal di Surabaya

Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Desember 2007

No comments: