Sunday, December 09, 2007

Barongsai, Barong, Reog, Dst

-- Viddy AD Daery*

PROTES sekelompok masyarakat Indonesia yang reaktif terhadap dugaan ”Reog dipulung Malaysia” berakhir antiklimaks dan memalukan karena Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta yang mewakili pemerintah negeri jiran itu menjawab bahwa tidak benar Malaysia mengambil alih Reog Ponorogo menjadi milik asli mereka.

Yang terjadi adalah sekelompok besar masyarakat Jawa—sebagian besar asal Ponorogo yang pernah disewa pemerintah penjajah Inggris 1870-an untuk membangun Malaysia sebagai kuli kontrak penggarap hutan menjadi perkebunan kopi dan karet, membawa juga kesenian reog dan wayang kulit, Marhabanan, Ludruk, Ketoprak dan, sebagainya.

Hanya saja,ludruk dan ketoprak kini sudah tidak lagi eksis di Malaysia. Malah, keputusan Pemerintah Malaysia yang terbaru seperti dikatakan Menteri Pariwisata/ Pelancongan Malaysia Tengku Adnan Mansur yang beristri artis Indonesia Enny Beatrice menyatakan bahwa semua kesenian Indonesia akan dihentikan ”penayangannya” oleh pemerintah Malaysia.

Hal itu tentu justru akan merugikan masyarakat Jawa di Malaysia, guru-guru seni Indonesia yang disewa Malaysia,dan para perajin seni yang banyak mendapat pesanan dari Malaysia, sedangkan pesanan dari pemerintah Indonesia sendiri sangat kurang kalau tidak nol besar.

Kesenian Dibawa dan Dikreasi Baru

Kasusnya adalah ada ”mukimin” alias imigran Jawa yang membawa kesenian reog ikut hijrah ke Malaysia. Seperti imigran Jawa dikontrak penjajah Belanda untuk hijrah ke Suriname (Amerika Selatan) sebagai kuli kontrak, mereka membawa kesenian ludruk, melahirkan ”Kabaret Captain Does”.

Selain itu,tahanan tentara sewaan Jawa semasa Perang Banten yang dibuang Belanda ke Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di dua tempat itu mereka membawa kesenian debus dan pencak silat. Ada juga imigran Jawa hijrah ke Pulau Christmas dan Pulau Cocos Keeling (di Samudera Indonesia, tetapi masuk wilayah Australia) sebagai kuli kontrak penambangan dolomit dan fosfat, juga hijrah ke New Caledonia (di Samudera Pasifik) sebagai kuli perkebunan tebu.

Mereka membawa wayang kulit.Tetapi, karena yang hijrah adalah para kuli,bukan pakar dalang, mereka ”memodifikasi” wayang kulit versi mereka,hasilnya agak penceng-pencengdan waguserta ceritanya agak sederhana dan ngawur. Kenapa para reaktifis Indonesia tidak memprotes Suriname, Sri Lanka,Afrika Selatan,Australia,New Caledonia, dan sebagainya?

Padahal, jelas-jelas Australia mencetak wayang-wayang versi Melayu-Jawa Samudera Indonesia itu di prangko-prangko filateli Australia.Juga, buku-buku panduan turisme Afrika Selatan selalu menonjolkan masyarakat Melayu-Banten-Jawa sebagai obyek wisata budaya yang mempunyai kesenian debus dan makanan rijstaffel atau nasi campur ala Belanda-Afsel.

Kasus Reog Ponorogo dikreasi imigran Ponorogo menjadi Tari Barong saya kira amat mirip dengan proses wayang kulit Jawa dikreasi menjadi wayang wagu di Pulau Christmas dan Pulau Cocos Keeling. Toh, wayang Indonesia juga mengkreasi wayang India. Untung India tidak pernah memprotes Indonesia di zaman Kerajaan Kediri atau zaman Majapahit dulu. Reog Ponorogo mungkin juga ”diilhami”seni Barongsai dari daratan China karena orang-orang China sudah banyak yang mengembara di Nusantara sejak zaman Singosari, ketika utusan Kubilai Khan disuruh mengancam raja-raja Singosari.

Jadi, benar pepatah ”tak ada yang baru di bumi ini.” Namun,yang perlu kita banggakan, meskipun kita juga bangsa peniru (pemulung juga), kita mampu mengkreasi baru dengan lebih indah dan lebih artistik dari aslinya. Konon, Borobudur meniru Angkor Wat di zaman Raja Campa Indrawarman (kini Kamboja dan Vietnam) yang bersahabat baik dengan raja-raja Mataram kuno.

Tetapi, banyak budayawan yang menilai bahwa Borobudur lebih indah dan lebih halus daripada Angkor Wat. Tentu bisa jadi, orang Campa menilai sebaliknya . Wayang Indonesia sangat luar biasa detail sunggingannya dibanding wayang India dan wayang Thailand, dua sumber yang menjadi inspirasi wayang Indonesia/ Jawa.

Juga kesenian yang diimpor dari Arab dan Turki di zaman pasca-Sunan dan abad sultan-sultan (sekitar abad 16 dan 17 M),misalnya Tari Zapin dan Teater Indra Bangsawan. Toh, Tari Zapin Melayu/Indonesia lebih rumit dan indah daripada zapin asli Arab yang sangat sederhana dan cuma meloncat-loncat.

Tari Zapin ini populer di seluruh wilayah kesultanan Melayu, mulai Jambi, Palembang, Riau, sampai Johor, Malaka, dan seluruh semenanjung Malaya. Maka, orang-orang Jambi, Palembang, dan Riau tidak pernah memprotes Malaysia, mungkin karena mereka lebih sadar keserumpunan ketimbang orang Jawa.

Psikologi Orang Kalah?


Mengapa orang-orang Jawa memprotes Malaysia mulai lagu Rasa Sayange sampai Reog Ponorogo, sementara mereka tidak takut diprotes Amerika waktu para artis Indonesia menyanyi lagu rap dan tari hip-hop serta break dance? Saya kira, penyebabnya, bangsa kita mengidap sindrom ”anti menggaruk kuduk sendiri” dan juga mengalami psikologi orang kalah.

Karena sekian lama dikhianati pemerintahnya sendiri,mereka mencari pelampiasan dengan memusuhi saudaranya yang dikiranya lebih yunior atau lebih lemah. Malaysia adalah murid Indonesia sejak zaman Kerajaan Malaka berguru kepada Majapahit di abad 15, sampai zaman merdeka, bahkan sampai zaman modern karena sampai 1970-an, antara lain di daerah Sabah, ada serombongan petani Indonesia di bawah koordinasi Cak Kadar, budayawan dari Surabaya, yang ditugasi pemerintah Indonesia untuk memberi pelajaran budi daya tanaman kelapa sawit kepada petani Sabah, Malaysia Timur.

Apa yang terjadi sekarang? Kelapa sawit Indonesia jeblok karena mismanagement sehingga dibeli dan dikelola perusahaan kelapa sawit Malaysia. Malaysia memang banyak mendapatkan devisa utama dari perdagangan global minyak bumi, kelapa sawit,dan turisme. Menurut budayawan M Sobary, para wartawan senior Malaysia pernah berguru ke kantor berita Antara Indonesia.

Hanya saja, perlu disayangkan karena kini Sobary menuduh Malaysia maling. Suatu tuduhan yang berbahaya sebelum dibuktikan di pengadilan. Apalagi, Sobary seorang budayawan yang mestinya amat berwawasan luas.Tapi siapa tahu, Sobary juga sedang mengidap psikologi pecundang.

Maka, kondisi sekarang dibalik, Indonesialah yang kini banyakberguruke Malaysia, dengan banyaknya mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia dan sangat banyak TKI mengais rezeki ringgit di negeri itu. Meski mereka sangat sering disiksa majikan-majikan etnis China dan India, toh tetap saja mereka ke sana mencari hidup karena Indonesia sendiri tidak bisa memberi harapan hidup karena kekayaan negara dirampok para pemimpin dan komplotannya.

Psikologi orang kalah inilah yang menjadikan sebagian rakyat Indonesia menjadi sensitif dan reaktif dengan proporsi yang kurang mendahulukan akal dan nalar. Memang amat disayangkan, Indonesia yang dipuji secara tepat oleh Koes Plus sebagai ”Kolam Susu” telah memberi manfaat kepada banyak bangsa mulai Arab, China, India, Barat, bahkan sesama rumpun Melayu, sejak zaman awal Masehi bahkan mungkin sebelum Masehi (seperti diceritakan dalam karya sastra Arab kuno ”Sindbad Si Pelaut”), sampai zaman modern kini.

Namun, rakyatnya justru dimiskinkan kezaliman para pemimpinnya sendiri, bagai peribahasa ”Anak ayam mati di lumbung padi”.(*)

* Viddy AD Daery, Budayawan Asia Tenggara

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 9 Desember 2007

No comments: