Friday, December 14, 2007

Bangsa Bahari: Pandanglah Laut sebagai Pemersatu

-- Bambang Budi Utomo*

"SEGALA perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia."

Inilah Deklarasi Djoeanda 1957 yang diumumkan ke dunia internasional pada 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri RI Ir H Djoeanda. Kita patut bersyukur, kalau tidak ada pengumuman itu maka wilayah Indonesia hanya sebatas 3 mil dari garis pantai sebuah pulau, dan perairan di antara pulau merupakan perairan internasional.

Deklarasi tersebut merupakan awal perjalanan panjang menuju sebuah negara kepulauan yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan ditetapkannya dalam Konvensi Hukum Laut melalui United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Dengan dasar hukum ini, diakui bahwa luas Republik Indonesia mencapai 1,9 juta mil persegi dan terdiri atas 17.508 pulau.

Budaya bahari


Dicermati dari sisi kesukubangsaan dan budaya, keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di negara Republik Indonesia sangatlah janggal. Bagaimanapun, penduduk antara satu pulau dan pulau lainnya masih satu bangsa.

Bagaimana mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya. Sejak awal kedatangan manusia di Nusantara ini, pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian telah dihuni manusia. Bahkan, pulau-pulau kecil seperti Nusa Tenggara (dahulu disebut Kepulauan Sunda Kecil) juga telah dihuni. Beberapa penelitian arkeologi di Flores menemukan sisa-sisa kehidupan dari 80.000 tahun yang lalu.

Bangsa-bangsa Barat yang merantau menyebut tanah kelahirannya homeland atau motherland. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia lebih tepat dikatakan bumi pertiwi atau ibu pertiwi.

Istilah ini mungkin berasal dari pemujaan kepada Dewi Kesuburan yang sifatnya universal. Meski nenek moyang bangsa Indonesia juga mengenal pemujaan kepada Dewi Kesuburan, untuk menyebut tanah kelahirannya akan lebih tepat dengan istilah tanah air. Hal ini mengingat bangsa Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa mendiami pulau-pulau yang dikelilingi oleh laut dan selat.

Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 770 suku bangsa, 726 bahasa, dan 19 daerah hukum adat. Meskipun secara fisik antarsatu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut, namun dari sisi kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada.

Seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya, tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial, dan kultural.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultur, yang di dalamnya ada dua kelompok kehidupan, yaitu kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pesisir dan yang mendiami wilayah pedalaman. Sadar atau tidak, kedua kelompok masyarakat ini hidup dalam sebuah ketergantungan akan laut. Semuanya itu kembali pada konsep hidup dan kesadaran ruang hidup yang berasal dari heterogenitas.

Kemudian dalam sejarahnya, juga tercatat antagonis hasrat untuk saling mengendalikan dari kedua kelompok besar itu sendiri. Kelompok yang tinggal di darat berusaha untuk mengendalikan pesisir dengan segala upaya untuk mendapatkan hasil dari laut, juga sebaliknya.

Laut adalah ajang untuk mencari kehidupan bagi kedua kelompok masyarakat. Dari laut dapat dieksploitasi sumber daya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan memesona. Inilah yang mendorong kedua kelompok masyarakat itu menuju laut.

Awalnya bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Fenomena ini pada akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kadatuan Sriwijaya, Kerajaan Melayu, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Makassar.

Laut merupakan media pemersatu karena melalui laut orang dari berbagai bangsa berinteraksi dengan berbagai macam aktivitas. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan aktivitas perekonomian melalui "jasa" pelayaran antarbenua atau antarpulau.

Sejak awal tarikh Masehi, laut Nusantara telah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Dengan sarana transportasi air itu, komoditas perdagangan dibawa dari satu tempat ke tempat lain untuk diperdagangkan.

Wawasan Nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut)—termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya, dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan. Semua itu menyatukan bangsa dan negara secara utuh, mencakup segenap bidang kehidupan nasional. Inilah cara pandang bangsa Indonesia dalam memandang tanah air tempat kelahirannya, yang akhir-akhir ini sudah mulai dilupakan oleh anak-anak bangsa.

Pembangunan berkelanjutan


Dalam rangka peringatan tahun emas Deklarasi Djoeanda, pada 4 Desember 2007 ditandatangani Kesepahaman dan Dukungan Bersama antarmenteri tentang Pembangunan Berkelanjutan Kelautan Indonesia. Dalam kesepahaman yang diprakasai Dewan Kelautan Indonesia, disebutkan tiga butir kegiatan percepatan pembangunan kelautan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya laut yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.

Ketiga butir pembangunan kelautan tersebut meliputi pembangunan ekonomi (pelayaran, perikanan, dan wisata bahari), lingkungan hidup, serta sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari tiga butir ini, dikhawatirkan dalam urusan pembangunan hal pelestarian budaya dilupakan.

Dalam pembangunan lingkungan hidup tentunya menyangkut juga lingkungan budaya. Tanpa memerhatikan dan melestarikan lingkungan budaya, maka yang terjadi adalah kerusakan. Tatanan kehidupan yang penuh dengan kearifan lokal ditinggalkan.

Salah satu contoh kegagalan pembangunan pada masa Orde Baru adalah re-settlement suku Laut. Suku Laut yang biasa hidup mengembara di laut, oleh pemerintah dibuatkan rumah di darat. Maksudnya baik, tetapi karena tidak memahami ekologi kehidupan suku Laut maka rumah-rumah yang dibangun untuk mereka hanya dihuni sesaat. Selebihnya mereka pergi lagi ke laut "meneruskan pengembaraannya".

"Darat tempatnya orang yang sudah mati!", demikian keyakinan mereka. Akankah kegagalan itu akan terulang kembali hanya karena mengabaikan/mengecilkan sisi budaya?

Lima puluh tahun sudah Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara kepulauan dan dua puluh lima tahun sudah Indonesia "dilindungi" secara hukum oleh dunia internasional (UNCLOS 1982) sebagai Archipelagic State. Namun, dalam kurun waktu tersebut kita telah kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan. Masih 12 pulau lagi di "tepi" Indonesia yang masih disengketakan dengan negara tetangga, yaitu Ambalat, Bondo, Sekatung, Nipa, Berhala, Marore, Miangas, Marampit, Batek, Dana, Fani, dan Bras.

Ironis memang, sebuah negara kepulauan yang seharusnya kuat dalam pertahanan laut tidak mempunyai angkatan laut yang kuat. Demikian juga transportasi laut yang menghubungkan antarpulau dapat dikatakan jauh dari memadai. Bagaimana kita dapat mempertanggungjawabkan Deklarasi Djoeanda 1957?

* Bambang Budi Utomo, Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional

Sumber: Kompas, Jumat, 14 Desember 2007

No comments: