Sunday, December 09, 2007

Wacana: Narasi `Penyair Gila` Arsyad Indradi

-- Sudaryono*

KEGILAAN kreatif, kreativitas adalah kegilaan. Dengan kreativitas, kegilaan penciptaan dimungkinkan. Dengan kegilaan pula dapat dikecap capaian-capaian artistik sebuah sajak. Penyair memang terkadang seperti orang 'gila'. Artinya, di tengah-tengah masyarakatnya penyair acap tampil anomaly, menyendiri, mengasingkan diri dari interaksi massif, dan secara personal menampilkan sosok yang sering nyleneh, aneh, dan sulit diphami.

Penampilan seperti itu, bisa jadi merasuki sosok puisi yang diciptakannya sehingga acap pula puisi yang diciptakannya menjadi sulit dipahami. Hal seperti itu tidak ditemukan pada puisi-puisi penyair dari Banjarbaru, Arsyad Indradi, yang menyedot perhatian untuk digumuli.

Kegilaan Arsyad Indradi dalam mengeksploitasi dan mengekplorasi seggenap inderanya dalam menciptakan puisi masih dapat dinikmati. Adalah kegilaan manakala dalam satu tahun dia menerbitkan empat buku kumpulan puisi Nyanyian Seribu Burung (April 2006), Narasi Penyair Gila (Mei 2006), Romansa Setangkai Bunga (Juni 2006), dan Kalalatu (September 2006) secara swadana oleh Kelompok Studi Sastra Banjarbaru yang dipimpinnya.

Kumpulan puisi Narasi Penyair Gila dibuka dengan sajak Narasi Ayat Batu. Puisi ini secara intens mengungkapkan pergulatan penyair dalam menghayati 'misteri' Ilahi. Sebagai pembaca kita lantas ingat adanya prasasti, tugu, daun lontar dan sebagainya yang menyimpan kearifan:

Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit
Yang terhampar di sajadahku
Kujatuhkan di tebingtebing lautmu
Cuma gemuruh ombak dalam takbirku

Kuseru namamu tak hentihenti
Di ruasruas jari tanganku
Yang gemetar dan berdarah
Tumpahlah semesta langit
Di mata anak Adam yang sujud di kakimu

Arsyad Indradi yang memasuki usia 55 tahun pada Desember 2007 juga menyajikan sajak Narasi Pohon Tua seperti ini:

Kukalungkan lampulampu di ranjangmu
Lalu kujadikan pengantin
Lalu kunikahi daunmu kepompong birahi
dendam
Lahirlah kupukupu
Betapa nikmat dalam dahaga
Menjelajahi tubuhmu
Mencari rangkaian bunga
jauh dalam lubuk jantungmu

Sajak ini lebih mengedepankan kontemplasi dengan Ilahi. Upaya memperkongkret dan memperintim hubungannya dengan Ilahi ditampilkan melalui penginsanan-hubungan manusiawii dengan idiom symbol hubungan pengantin di ranjang.

Dalam sajak Narasi Gairah Embun secara manis penyair menulis seperti ini:

Mulutmu wangi sarigading
Menyentuh gordengorden jendela
Tapi jangan kau buka
Sebentar lagi pagi beranjak tiba

Secara analogis, metaforis, dan liris, dalam Narasi Tanah Kelahiran, dia menulis: Kau beri aku sampan/ Riakriak menyusuri uraturat nadi/ Wajahmu sudah lain tapi begitu angkuh/ Tumbuh rumah batubatu. Pada sajak Zikir Senja, pergulatan dan pergumuln penyair sampai pada kenyataan: Aku/ Anak Adam/ Yang tersesat di sajadahMu.

Memasuki usia senja, penyair semakin intens mengolah rahasia pertemuan dengan Sang Khalik. Intensitas itu membuahkan puisi-puisi relegius yang lembut dan kongkret. Lebih kongkret lagi ketika penyair lantas mengkaji bumi yang dipijak. Bumi yang memberikan kesadaran bahwa persoalan manusia tidaklah semata berkomunikasii dengan Sang Khalik, melainkan juga perlu membaca denyut kehidupan di bumi.

Puisi-puisi yang mewakili tema kehidupan di bumi yang ia pijak antara lain Ektase Seorang Pejalan Jauh, Etam Sayang Gunung, Romansa Bulan Saga, Romansa Seekor Hong, Romansa Setangkai Bunga, Roomansa di Bawah Hujan Cinta pun Abadi, Pertemuan, dan Jalan Begitu Lengang.

Hal yang unik dan menarik, penyair Arsyad Indradi mencoba menawarkan cara ungkap multikultur dengan memanfaatkan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam beberapa puisinya, seperti As One of the Song, Mamimeca, Elly: Sonta is Silent, dan In My Last Mirrage.

Kita cermati bagaimana penyair memakai campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam puisinya. Dalam As One of Song, Mamimeca dia menulis: Aku tahu betapa letih wajahmu/Dalam gugusan maha kelam/May soul stay in the wind, Mami. Pemanfaatan campur kode dalam puisi ibarat membuat gado-gado, bahan-bahan yang berlainan dipadu jadi satu, dan ternyata enak juga.

Mengakhiri pembicaraan ini, kita tampilkan puisi yang dijadikan judul buku kumpulan puisi. Judul puisi yang dijadikan judul buku, biasanya dijagokan sebagai gambaran pencapaian estetis dan gambaran sikap penyairnya. Bagaimanakah capaian estetis dan gambaran sikap penyair Arsyad Indradi? Kita simak sajak Narasi Musyafir Gila selengkapnya.

Mendadak cahaya itu terjebak dalam belitan kabut
Porakporandalah cakrawala dan aku kembali harus
bergumul dengan persimpangan jalan
Tapi aku tak sudi mengatakan: Ajalkan aku di sini

Kudakudaalas berloncatan pada goncangan bumi
Pada angin yang menepuk dada
Kugilakan musafirku ke padang luas
Padang abadabad persembunyianmu

Sebab aku telah mengatakann:
Kuabukan s'luruh mimpimimpi purbaku
Dan kutapakan dalam tubuhtembokmu
Agar tak kan kauu usik lagi s'luruh jejakmu

Puisi yang ditulis di Bandung pada 2006 seakan menandai penggembaraan spiritual penyair. Arsyad Indradi tampaknya sampai pada suatu halte, tempat istirah sejenak, tujuan perjalanan, dan tempat bertolak melakukan petualangan yang lebih gila. Estetika yang ditawarkan penyair, pola ucap puisi-puisinya, dan tematis puisi-puisinya tampaknya akan serupa air yang mengalir menuju muara makna.

* Sudaryono, Dosen Universitas Jambi

Sumber: Republika, Minggu, 9 Desember 2007

No comments: