Monday, December 10, 2007

Sosok: James Danandjaja, Ensiklopedia Folklor Indonesia

-- Mulyawan Karim

Kenapa dongeng Bawang Putih dan Bawang Merah bisa mirip dengan dongeng Cinderella dari Eropa? Di Indonesia, mungkin hanya James Danandjaja yang mampu memberi jawaban komprehensif atas pertanyaan semacam ini.

James yang antropolog Universitas Indonesia ini bisa bicara panjang lebar soal teori-teori yang bisa menjelaskan proses sejarah yang menyebabkan terjadinya kesejajaran itu, komplet dengan contoh-contoh dongeng lain dari berbagai penjuru Nusantara dan dunia, yang intinya juga berkisah soal ibu tiri nan jahat.

James Danandjaja, yang lahir dengan nama James Tan, memang pakar dongeng dan ilmu dongeng. Resminya, profesor emeritus alias guru besar pensiunan berusia 73 tahun ini adalah ahli folklor, cabang ilmu antropologi yang mempelajari berbagai bentuk kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan. Oleh karena itu, kecuali dongeng, ilmu folklor juga mempelajari berbagai warisan tradisi lisan lain, sejak teka-teki, legenda, mite, sampai busana dan arsitektur tradisional.

”Folklor itu penting dipelajari. Tradisi lisan merupakan cerminan identitas masyarakat atau golongan di mana ia hidup. Masakan Padang yang pedas dan berbumbu keras, misalnya, mencerminkan karakter orang Minang yang penuh semangat,” kata Pak Jimmy, begitu James biasa dipanggil para mahasiswanya, dalam obrolan di rumahnya di daerah Tanah Baru, Depok, Rabu pekan lalu.

Sejak awal jadi antropolog, James sudah giat melakukan penelitian kepustakaan dan mengumpulkan cerita rakyat langsung dari berbagai daerah di Indonesia dan negara-negara lain. Saat melanjutkan studi di University of California, Berkeley, pada 1972, dia melakukan riset kepustakaan di sana untuk menyusun tesis master yang kemudian juga terbit sebagai buku berjudul An Annotated Bibliography of Javanese Folklore.

Dibantu mahasiswa

Ribuan naskah dongeng, teka-teki, cerita humor, sampai permainan rakyat juga dikumpulkannya selama lebih dari 30 tahun dia mengajar di Jurusan Antropologi Universitas Indonesia. Setiap mahasiswa peserta kuliah folklor ia tugasi mengumpulkan cerita rakyat apa saja. ”Awalnya, setiap mahasiswa saya minta mengumpulkan 100 cerita. Tetapi, kemudian terus berkurang jadi 50, 30, dan akhirnya cuma 10 item saja,” cerita James.

Dari laporan tugas para muridnya itulah, antara lain, James menghasilkan sejumlah buku kumpulan cerita humor, seperti Humor Mahasiswa Jakarta (1988) dan Humor dan Rumor Politik Masa Reformasi (1999). Naskah-naskah cerita rakyat dari berbagai daerah khusus ia rangkum dan terbitkan sebagai serial buku anak-anak, yakni Cerita Rakyat dari Bali, Cerita Rakyat dari Jawa Tengah, Cerita Rakyat dari Kalimantan, dan Cerita Rakyat dari Sumatera, yang semua terbit pada 1992.

”Sebetulnya belum semua naskah sudah saya terbitkan. Sebagian berkasnya dalam bentuk ketikan yang tersimpan di ruang Jurusan (Antropologi), bahkan hilang dibuang dosen lain yang mungkin tak senang dengan apa yang saya lakukan,” sesal James.

Buku-buku James tak hanya laku dijual di Tanah Air, tetapi juga banyak dibaca orang di mancanegara. Beberapa universitas di Malaysia dan Brunei Darussalam menjadikan Folklor Indonesia, buku lain yang disusun James, bacaan wajib bagi para mahasiswanya. ”Buku saya itu sudah dicetak ulang sampai enam kali,” kata pria yang memilih hidup sendiri itu.

Terapi amnesia

Meski lahir di Jakarta pada tahun 1934, James melewati masa remajanya di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Di sana pula dia sempat mengembangkan bakatnya yang lain, menari balet. Di ruang tamu rumahnya, James, yang pada tahun 1950-an sempat menjadi instruktur tari di sekolah balet Namarina, memajang beberapa foto kenangan masa muda, termasuk foto besar Jimmy remaja sedang menari balet.

James baru kembali tinggal di Jakarta sejak kuliah di UI dan belajar antropologi dari Profesor Koentjaraningrat (alm). Setelah jadi sarjana, guru besar antropologi Indonesia yang pertama itu pula yang membantu James mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di AS dan meraih gelar master dalam bidang folklor.

Sambil mengembangkan ilmu folklor, di UI James juga mengembangkan spesialisasi antropologi psikologi. Ini dilakukan terutama setelah ia meraih gelar doktor pada 1977 dengan disertasi berjudul Petani Desa Trunyan di Bali: Lukisan Analitis yang Menghubungkan Praktik Pengasuhan Anak Orang Trunyan dengan Latar Belakang Etnografisnya. Karya ilmiah ini kemudian juga diterbitkan oleh Pustaka Jaya sebagai buku (1980).

Sebagai dosen, James tak tergolong dosen killer. Namun, para mahasiswanya mengenal Pak Jimmy sebagai pribadi yang tekun, rajin, dan berdisiplin tinggi. Ia tak bisa menerima mahasiswa yang terlambat datang kuliah dengan alasan hujan. ”Hujan air saja kok dibikin alasan. Saya baru akan terlambat kalau hujannya hujan golok,” begitu Pak Jimmy pernah menegur mahasiswa sambil bercanda, sekitar 30 tahun silam.

Pada tahun 1999 James memulai memasuki masa pensiun. Namun, sampai hari ini ia masih tetap aktif mengajar sebagai guru besar emeritus di UI dan Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida). ”Biar saya punya penghasilan tambahan karena uang pensiun saya cuma Rp 1,2 juta sebulan,” demikian James memberi alasan.

Di masa senjanya James juga tetap giat meneliti dan menulis. Setelah menulis buku berjudul Folklor Amerika, yang diterbitkan tahun 2003, hari Senin (10/12) ini rencananya dia akan meluncurkan buku barunya, Folklor Tionghoa, di Kampus UI Depok.

James berharap buku barunya itu bisa berfungsi sebagai obat yang menyembuhkan warga keturunan Tionghoa dari penyakit amnesia yang sudah lama diderita. Akibat indoktrinasi yang dilakukan rezim Orde Baru (Orba) yang tak ingin mengakui eksistensi mereka, menurut James, banyak warga keturunan Tionghoa, sadar atau tidak, berusaha melupakan jati diri suku bangsanya.

”Tekanan rezim Orba inilah yang mengakibatkan banyak warga keturunan Tionghhoa mengalami autohypnotic amnesia, yakni proses melupakan jati diri atas kemauan sendiri agar bisa diakui sebagai orang Indonesia,” ujar James.

Saat ini dia juga tengah menulis buku otobiografi, yang penyelesaiannya tak ia targetkan. ”Buku itu sudah selesai 60 persen, tetapi tak ada target kapan harus selesai,” katanya. Apalagi, kondisi fisiknya kini tak lagi prima. Selain menderita gangguan pada penglihatan, sejak terserang stroke awal November lalu James nyaris tak bisa lepas dari kursi rodanya.

Sumber: Kompas, Senin, 10 Desember 2007

No comments: