Tuesday, December 11, 2007

Seni Tradisi: Potret Perjalanan Hidup Manusia lewat Pantun

KEMATIAN dan kelahiran telah menjadi siklus kehidupan manusia. Jika kematian dihadapi dengan isak tangis kehilangan orang kita cintai, maka kelahiran disambut dengan wajah bahagia. Itulah kehidupan. Emosi, hanyalah ekspresi, mungkin memang tidak perlu dilebih-lebihkan.

Pemantun asal Bali tampil membawakan Upacara Nelu Bulanin pada Festival Pantun Nusantara 2007 di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu (9/12). Nelu Bulanin merupakan tradisi memberi nama bayi di Bali. (SP/Ignatius Liliek)

Pesan inilah yang ingin disampaikan sutradara panggung, Nano Riantiarno dalam acara Festival Pantun Nusantara yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta, baru-baru ini. Nano mengatakan, lewat kesenian pantun, dia mencoba merangkai siklus kehidupan yakni kematian dan kelahiran. Dua hal yang menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.

Kematian, lanjut Nano, menjadi hal yang sangat menakutkan bagi manusia. Tidak heran, air mata kesedihan selalu mewarnai momen ini. Sementara, kelahiran selalu dihujani dengan perasaan bahagia. Bagaimana pun, takdir ini selalu mendampingi kehidupan manusia, dan tidak bisa dihindari.

Menurut Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (NBSF Depbudpar), Mukhlis Paeni menjelaskan, Festival Pantun Nusantara merupakan agenda Depbudpar yang mencoba memperlihatkan pada masyarakat perjalanan hidup manusia mulai dari lahir hingga kematian melalui pantun.

Masyarakat, ujar Mukhlis, dapat melihat fase kehidupan manusia. Terutama kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki banyak nilai budaya dan tradisi. Setiap fase kehidupannya berdampingan dengan adat istiadat.

"Inilah perjalanan hidup manusia, lahir dan mati. Pada dasarnya tiap fase kehidupan manusia selalu di- penuhi dengan ritual-ritual. Terutama masyarakat Indonesia, yang memiliki begitu banyak tradisi dan adat istiadat sepanjang kehidupannya. Ritual maupun adat istiadat yang mendampingi perjalanan kehidupan manusia pun bukan tanpa maksud. Selalu ada pesan dan harapan yang mengikutinya," tutur Mukhlis.

Pesan ini terlihat dari rangkaian pantun yang dipersembahkan oleh 12 komunitas yang berasal dari 10 daerah di seluruh Nusantara, antara lain Jakarta, Aceh, Bali, Palembang, Kalimantan, Kepulauan Riau, Riau, dan Ambon.

Festival diawali Kajang dengan nyanyian dan suling yang dikenal dengan Basing. Sayup-sayup, Basing mengantar penonton dalam suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi. Syairnya merupakan ungkapan kebaikan dan jasa almarhum semasa hidupnya, serta harapan agar yang meninggalkan mendapat tempat layak di hadapan sang pencipta. Nyanyiannya juga merupakan ekspresi ratapan dari keluarga yang ditinggalkan.

Tak lama kemudian, kebahagiaan digambarkan lewat kelahiran seorang anak manusia. Pada festival itu, Bali mempersembahkan pantun bertajuk Upacara Nelu Bulanin, merupakan upacara saat bayi berusia tiga bulan atau 105 hari. Tradisi ini lekat dengan budaya masyarakat Bali dan bernapaskan Hindu.

Pesta Perkawinan


Sementara, Kuantan Riau mempersembahkan Kayat, yakni tradisi lisan non-naratif yang dibawakan dua pemain gendang dan seorang pemain biola. Kemudian, Riau melanjutkan acara dengan prosesi lamaran lewat Pantun Meminang. Sebagai bagian dari adat perkawinan Melayu, meminang merupakan acara ketiga dari enam proses perkawinan.

Siklus kehidupan manusia tidak berhenti, masih ada fase berikut seperti yang diperlihatkan Gayo lewat ratapan anak dara meninggalkan rumah. Sebuku Gayo yang dipentaskan komunitas dari Aceh ini merupakan seni meratap yang diungkapkan secara puitis disertai tangisan. Sebuku Gayo merupakan tradisi dalam pesta perkawinan masyarakat Gayo. Pengantin wanita yang akan meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi bersama suami akan bersebuku. Dalam bersebuku itulah, ungkapan sedih pengantin disampaikan. Sementara, ritual pengantin Jawa dipentaskan lewat Kacar Kucur dari daerah Jawa sebagai rangkaian dari bagian kehidupan manusia.

Dilanjutkan dengan memberi gelar pada sang pengantin yang telah menikah secara tradisional sebagai adat dari daerah Minang yang disampaikan lewat Malake-an Gala. Selanjutnya, pasangan yang menikah dan dikaruniai seorang anak dipertunjukkan lewat Menenggung Bayi dari Palembang. Nenggung atau nyanyian berupa pantun ditujukan untuk menidurkan anak yang mengalami susah tidur.

Kenyataannya, perjalanan kehidupan manusia tidak selalu berjalan mulus. Terutama ketika manusia berumah tangga. Kendala yang muncul dapat mempererat hubungan dua manusia, dapat pula meretakkan. Lewat Jantuk, penonton disajikan parodi teater Betawi, cerita yang mengandung nasehat perkawinan.

Kaganti atau nyanyian rakyat dalam masyarakat Wakatobi dipentaskan oleh Buton, dilanjutkan dengan Pantun Upacara Panas Pela dari Ambon. Panas Pela merupakan pantun perdamaian yang berisi nasihat-nasihat untuk hidup rukun, tenteram, dan berdamai dalam suatu perbedaan.

Festival Pantun Nusantara 2007 ditutup dengan Ritual Belian Sentiu dari Kutai Barat. Ritual pengobatan ini dikenal dalam masyarakat suku Benuaq atau suku Bahao dan ditujukan sebagai mantera permohonan pada kekuatan gaib. Pantun ini disuarakan oleh seseorang saat menari atau selesai menari.

Festival yang dapat membuka mata masyarakat tentang budaya Nusantara ini sepi penonton. Entah karena kurang promosi atau pertunjukannya memang kurang menarik, tetapi 472 kursi yang disediakan untuk penonton di ruang pertunjukan hanya terisi kurang dari 200 orang.

"Rencananya festival ini akan diadakan tiap tahun, tapi kami lihat dulu nilai pendidikan dan ekonominya. Kalau pun pertunjukan ini sepi penonton, ini baru langkah awal, mungkin gaungnya belum sampai. Tapi kita coba lihat positifnya, seniman tradisi ini mendapat perhatian dari pemerintah pusat, mereka mendapat tempat untuk berekspresi, dan harapan kami agar mereka mau terus melestarikan seni pantun," kata Mukhlis. [CNV/N-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 11 Desember 2007

No comments: