Beli sepapan kain katun
Katun diukur dengan kayu
Bertutur sopan bile berpantun
Karena pantun budaye Melayu
Katun diukur dengan kayu
Kayu dibeli dari Nongsa
Pelihare pantun budaye Melayu
Rosak budaye rosaklah bangsa
Menjadi "tukang pantun" tentulah bukan cita-cita Muhamad Ali Achmad sejak kecil. Semula ia hanya mengikuti garis nasib yang mengalir, sesuai profesinya sehari-hari sebagai guru SMP di kota kelahirannya, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Memang, sejak kecil Muhamad Ali hanya punya satu cita-cita pokok: menjadi guru! Demi meraih cita-cita itu, setamat SMP ia memilih melanjutkan ke sekolah pendidikan guru (SPG).Di sini Muhamad Ali mempelajari banyak hal. Selain lewat mata pelajaran umum, ia juga dibekali ilmu tentang metode dan strategi mengajar, bagaimana menguasai kelas, hingga hal-hal menyangkut tahap-tahap perkembangan anak.
Sebagai calon guru yang dipersiapkan untuk mengajar anak-anak sekolah dasar (SD), bekal pemahaman tentang kepribadian orang lain (baca: peserta didik) lewat sejumlah mata pelajaran ilmu kependidikan yang ia terima ternyata sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi setamat SPG ia tak langsung terjun menjadi guru, tetapi meneruskan ke jenjang pendidikan guru sekolah lanjutan pertama (PGSLP).
"Kebetulan pada tahun saya tamat SPG, atas prakarsa Pak Djauzak Achmad (tokoh pendidikan di Riau, pernah menjadi Direktur Pendidikan Dasar Depdikbud), dibukalah PGSLP di Tanjung Pinang. Saya melanjutkan ke sana. Di sana pula akhirnya saya bertemu jodoh," kata Muhamad Ali yang akrab dipanggil Pak Ali oleh murid dan koleganya.
(Dari Nongsa ke Sungai Jodoh
Sampai di sana membeli kain
Sudah lame mencari jodoh
Bertemu adinda langsung kawin)
Belakangan, setelah lebih dari 10 tahun berprofesi sebagai guru SMP di Tanjung Pinang, sejak awal 1970-an ia mulai kerap diminta menjadi pembawa acara di berbagai hajatan. Pada acara-acara perkawinan, kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan, hingga upacara-upacara adat, nama Muhamad Ali mulai dikenal luas sebagai master of ceremony (MC). Dalam membawakan acara, ia kerap tampil berpasangan dengan Nunung, penyiar di RRI Tanjung Pinang.
Sejak itu pula dunia pantun-memantun menjadi begitu akrab dalam kesehariannya. Memang tak bisa dihindari, mengingat untuk menjadi pembawa acara Pak Ali mulai dituntut agar bisa berpantun di setiap jeda waktu pada pergantian acara. Belum lagi pada awal dan akhir kegiatan, kebiasaan berpantun sudah menjadi tradisi yang tak terpisahkan dalam setiap perhelatan di tanah Melayu.
Pantun telah menjadi hiasan dan bunga-bunga yang digunakan juru acara majelis untuk membuat ruang pertemuan "harum semerbak".
"Awalnya memang berat, tetapi lama-kelamaan pantun-pantun itu mengalir begitu saja. Seperti kata pepatah, ’ala bisa karena biasa’. Kiatnya sederhana, percaya diri, serta rajin membaca dan berlatih," ujar Pak Ali, sang guru pantun dari Pulau Bintan.
Mulai luntur
Lahir di Tanjung Pinang, 1 Maret 1941, bapak dari empat anak ini sekarang lebih dikenal secara luas sebagai pemantun ketimbang profesinya sebagai guru yang mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah.
Tak aneh bila sebutan "guru pantun" pun terkadang muncul dan dijadikan panggilan lain untuk dia. Terlebih sejak ia pensiun pada 2001 (terakhir Muhamad Ali tercatat sebagai tenaga pengajar di SMP Negeri 5 Tanjung Pinang), suami Nong Azamah ini bisa dikatakan mencurahkan waktu sepenuhnya untuk urusan pantun-memantun.
Dalam banyak peristiwa pinang-meminang di Tanjung Pinang, ia kerap dilibatkan oleh keluarga-keluarga yang tak terlalu pandai berpantun. Ia bisa diminta sebagai wakil keluarga yang meminang atau sebaliknya. Dalam adat resam Melayu tersebut, kemampuan berpantun menjadi penting, lantaran pemaparan isi pertemuan disampaikan dalam bahasa kias yang santun berbentuk pantun.
Di tengah arus modernisasi yang mendera kalangan generasi muda, tak terkecuali di Pulau Bintan sebagai daerah yang kerap dijuluki Melayu yang sebenar-benarnya Melayu, kebiasaan berpantun untuk mengungkapkan perasaan hati itu sudah mulai luntur.
Di tengah kondisi itulah orang- orang seperti Muhamad Ali menjadi sangat berperan. Ia pun sadar dan merasa "dipakai" di masyarakat karena pantun.
"Padahal, kalau memang mau, sebetulnya berpantun itu mudah. Gampang, cari dulu isinya baru kemudian membuat sampiran. Bagi yang belum mahir, tetapi ingin sekali berpantun, untuk pembayang (sampiran) dapat diambil dari kata-kata yang bersumber dan berunsurkan hal-hal yang ada di sekitar kita. Tak usah mencari-cari kata yang sukar didapat atau payah dimengerti. Prinsipnya sederhana, yaitu tiga M: mudah dibuat, meriah bagi pendengar, dan menarik isinya," kata Muhamad Ali.
Dengan kata lain, kemampuan berpantun tak selalu berkelindan dengan bakat dan talenta. Kemampuan berpantun bisa diajarkan. Itu artinya orang bisa belajar mengasah dirinya untuk piawai dalam berpantun. Banyak membaca, rajin berlatih, dan sering dipraktikkan menjadi kunci dalam berpantun.
Tesis ini paling tidak dibuktikan sendiri oleh Pak Ali, yang baru menekuni dunia pantun-memantun pada usia 31 tahun. Sebelum itu, ia hanya tahu dari buku-buku bahwa pantun (pada umumnya) adalah jenis sastra lisan yang terdiri atas empat baris dengan pola sajak ab-ab. Pak Ali juga sudah sejak lama paham bahwa dua baris pertama berupa sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi dari sebuah pantun.
Baginya, tak penting benar perdebatan klasik para ahli apakah antara sampiran dan isi memiliki hubungan atau tidak. Biarlah orang-orang seperti HC Klinkert (1868), Pijnappel (1883), van Ophusyen, Hooykas, Tenas Effendi, atau Sutardji Calzoum Bachri berteori tentang pantun, tetapi bagi Pak Ali yang terpenting adalah berpantun itu sendiri.
Seperti orang belajar bahasa Inggris, kata dia, belajar pantun juga harus selalu dipraktikkan agar terbiasa. Syukur-syukur apabila kebiasaan itu meningkat menjadi semacam "mata pencarian".
Satu hal yang selalu ia yakini, berpantun harus dengan hati senang. Oleh karena itu, Pak Ali selalu berusaha agar pantun yang ia buat berisikan hal-hal yang dapat menyegarkan pendengar.
Oleh karena itu, pantun lebih banyak ia tempatkan sebagai seni tradisi yang bersifat menghibur, bahkan ketika menyampaikan kritik sekalipun. (KEN)
Biodata
Nama: Muhamad Ali Achmad
Lahir: Tanjung Pinang, 1 Maret 1941
Pendidikan: PGSLP
Pekerjaan: Pensiunan Guru
Istri: Nong Azamah
Anak:
- Ir H Agus Ika Putra (40)
- Yuli Polina Spi (38)
- Finaliantry SE (36)
- Dessy Kurniawati Amd (34)
Sumber: Kompas, Kamis, 27 Desember 2007
No comments:
Post a Comment