-- Budi P Hatees*
MULDER berkesimpulan bahwa nilai-nilai tradisi merupakan sesuatu yang mesti dilawan, bukan dengan mempretelinya secara langsung dari dinamika kehidupan, tetapi menghancurkannya secara perlahan dan total dengan cara memperkenalkan nilai-nilai baru yang lebih dinamis. Nilai-nilai baru yang disebut demokrasi, meskipun bukan demokrasi yang dipahami publik secara ideal.
Demokrasi yang tidak ideal itulah yang menjadi acuan para pengamat sastra di negeri ini, sehingga mereka ngotot untuk mendukung "sastrawati menulis identitas". Dukungan yang sangat serius dilakukan M Fadjroel Rachman selaku penandatangan Memo Indonesia, dalam penutup esainya, Sastrawati Menulis Identitas Seksual (Media Indonesia, 2 September 2007). ''Siapapun yang takut terhadap kebebasan dan tanggung jawab pribadi, takut terhadap perbedaan, kehidupan dan progresivitas, dilarang membaca karya sastrawati Indonesia abad XXI,'' tulisnya.
Banyak alasan untuk menolak simpul itu karena simpul semacam itu, juga apa yang disimpulkan Niels Mulder, muncul sebagai persoalan tafsir atas teks (sastra), sedang tafsir tak pernah mengenal kata final. Tafsir sangat kaya, sangat jamak. Tafsir yang dilakukan Katrin Bandel atas novel Saman dan Larung karya Ayu Utami, setidaknya telah membantah simpul itu. Seksualitas, menurut Katrin, tidak pernah dipergunakan Ayu Utami secara sungguh-sungguh sebagai alat perjuangan, perangkat untuk memerdekakan. Kalau pun seksualitas itu kemudian ditafsirkan banyak pengamat sebagai pembawa spirit pembebasan, semua itu hanya terjadi pada wilayah tafsir.
Tafsir sangat dipengaruhi subyektivitas si penafsir. Kandungan kepentingan personal dan kelompok sangat kental dalam pemikiran subjektif. Saya berkesimpulan bahwa spirit pembebasan dalam novel-novel di atas lebih merupakan sebuah sukses dari kerja penafsiran. Penafsir yang sukses adalah entitas yang piawai membangkitkan hal baru sebagai wacana, dan sukses menjebak masyarakat untuk memberikan pengakuan.
Apapun dapat dialami teks (sastra) manakala diseret ke wilayah tafsir. Dengan menafsirkan, seseorang bisa merambah wilayah apa saja dan bersinggungan dengan apa saja. Sebab, diksi (bahasa) sebagai patokan penafsiran, sangat kaya akan makna. Sedangkan diksi sebagai sumber penciptaan unsur dasar sastra (metafor) sangat bergantung pada wawasan kognitif dari penafsir.
Kekayaan diksi (bahasa) melebihi kekayaan dunia. "Jika bahasa dilihat sebagai pengorganisasian dunia," tulis Nirwan Ahmad Arsuka dalam esainya, Nalar Indra dan Nalar Dunia: Krisis Penciptaan Sastra (Kompas, 5 Mei 2004), "sastra adalah wujud kesadaran dramatik atas pengorganisasian dunia itu."
Sebab itu, apabila seorang penafsir menguasai (medambakan) realitas dunia dimana nilai-nilai demokrasi dipandang sebagai solusi paling tepat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa dibayangkan bahwa tafsir tersebut akan kuat dipengaruhi oleh apa yang dicita-citakan penafsir tersebut. Fadjroel Rachman yang disemangati "nilai-nilai demokrasi", pastilah tidak akan beranjak dari hal-hal yang dicita-citakannya ketika membaca novel-novel tersebut.
Sayang, nilai-nilai demokrasi yang membuat Fadjroel Rachman terobsesi, nyaris tidak ada kaitannya dengan demokrasi yang menjadi cita-cita warga bangsa. Demokrasi dalam sastra seksual berbeda dengan demokrasi yang digadang-gadang warga bangsa ini. Demokrasi sastra seksual adalah demokrasi yang berkompromi kepada pasar, tunduk terhadap kepentingan kaum kapitalis, sekalipun pada akhirnya meruntuhkan nilai-nilai tradisi yang menjadi konvensi publik.
Nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya, yang menyemangati gerakan reformasi di negeri ini, direduksi menjadi sebatas hak-hak asasi manusia (HAM). Sesuatu yang terus-menerus digemakan, didengungkan, digiring ke dalam wilayah irrasional dunia politik. Demokrasi irrasional ini tak mengenal etika, spiritnya lebih banyak untuk mengarahkan publik kepada suatu orientasi yang menjauhkan mereka dari kehidupan sosial yang toleran.
Spirit seperti itu tak layak disuntikkan ke dalam dunia sastra. Sastra mestinya menjadi dunia yang paling steril dari pengaruh buruk politik. Sastra mestinya tetap menjadi wilayah yang paling aman bagi publik untuk tidak diseret oleh arus deras politisasi kehidupan yang menghanyutkan dan meruntuhkan kesatuan.
Mestinya, demokrasi yang diperjuangkan melalui sastra adalah nilai-nilai hidup bersama. Di dalamnya, setiap warga bangsa tidak hanya mempersoalkan HAM, melainkan menjaga dan melestarikan KAM (kewajiban asasi manusia). Setiap warga bangsa mesti diingatkan, bahwa untuk memperoleh HAM, mereka tidak harus melanggar HAM orang lain. Karena itu, setiap orang harus punya tanggung jawab yang sama untuk menjaga HAM orang lain.
* Budi P Hatees, Esais, pengajar dan peneliti
Sumber: Republika, Minggu, 2 Desember 2007
No comments:
Post a Comment