-- Ilham Khoiri
Nak gugur, gugurlah nangko/Jangan nimpo si batang padi
Nak tiduk, tiduklah mato/Jangan nyinto si main lagi
SEORANG ibu melantunkan pantun sambil menggoyang-goyangkan ayunan. Bayi dalam ayunan kain sarung itu masih saja terjaga. Hingga sang ayah datang dan turut menimang-nimangnya sambil berpantun, bayi itu pun belum juga memejamkan mata.
Si ibu (diperankan Yudi) dan sang ayah (Saidi Kamaluddin) tengah mementaskan Nenggung atau pantun menidurkan bayi. Tradisi asal Palembang, Sumatera Selatan, itu dinyanyikan untuk membuat anak bisa tidur nyenyak. Saat berdendang, kedua orangtua menyelipkan petuah-petuah moral.
Nenggung menjadi salah satu pentas yang menarik dalam "Festival Pantun Nusantara 2007" di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Minggu (9/12) malam. Program acara Ditjen Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ini dilaksanakan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dalam kerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI), Pusat Kajian Bahasa dan Budaya (PKBB) Unika Atma Jaya, dan sejumlah pemerintah daerah.
Ada 12 kelompok seni daerah yang tampil dalam perhelatan itu, yaitu dari Bali, Kuantan, Riau, Kepulauan Riau, Gayo, Jawa, Minang, Palembang, Betawi, Buton, Ambon, Kajang, dan Kutai. Mereka memainkan pantun sebagai bagian dari komunikasi sehari-hari, masuk dalam ritual sakral, nyanyian, atau tari. Pantun-pantun itu khusus dimainkan untuk menyambut peristiwa-peristiwa penting dalam siklus kehidupan manusia, mulai dari lahir, menikah, hingga mati.
Saat bayi berumur tiga bulan, misalnya, masyarakat Bali punya tradisi Nelu Bulanin, atau upacara berpantun untuk memberi nama bayi. Masyarakat Kepulauan Riau biasa meminang dengan rangkaian pantun yang santun sekaligus akrab. Saat pernikahan, keluarga budaya Jawa punya tradisi berpantun dalam ritual Kacar-kucur, yang menegaskan tanggung jawab lelaki kepada istri.
Masyarakat Gayo punya tradisi Sebuku, yaitu pantun perpisahan yang dinyanyikan anak perempuan yang hendak meninggalkan orangtuanya untuk mengikuti suami. Adat Betawi punya pantun Jantuk yang berisi pepatah-petitih untuk melestarikan rumah tangga. Masyarakat Kajang punya pantun yang disebut Basing, yang dinyanyikan dengan sendu untuk meratapi kematian anggota keluarga.
Kehalusan tutur
Festival Pantun Nusantara 2007 berhasil menggambarkan kekuatan budaya lisan yang masih berlangsung di pelosok Nusantara. Masyarakat tradisional terbiasa memperhalus penuturan melalui metafor, ungkapan tak langsung. Gembira, sedih, marah, petuah, atau canda dijinakkan dalam permainan bahasa yang elegan. Bentuk ekspresinya kaya, tak selalu mengandalkan format pantun konvensional 2-2 (dua baris sampiran, dua baris isi).
Lebih dari sekadar permainan bahasa yang indah, pantun di beberapa daerah bahkan merefleksikan kearifan lokal yang bersumber dari ilmu pengetahuan, etika, dan estetika—hasil perasan dari pengalaman hidup selama ribuan tahun. Diksi dan irama pantun yang anggun, santun, dan penuh simbol mengejawantahkan suara bijak dari masa silam.
"Kearifan lokal itu masih bisa jadi alternatif acuan nilai untuk masa kini," kata Ketua ATL, Pudentia.
Setidaknya pantun mencerminkan pesona keanggunan berbahasa di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang riuh dengan komunikasi vulgar, bahkan kerap diluapi amarah dan kekerasan. Simaklah pantun Panas Pela asal Ambon yang menyuarakan pentingnya kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupan masyarakat yang plural.
"Salamate ama ina/Panas pela manise/Lawamena haulala/rasa sayang-sayange//. (Salam dan hormat bapak dan ibu/Kuatkan tali persaudaraan yang manis/Maju terus pantang mundur/Rasa sayang harus dirasakan terus)."
Memang, sebagian kearifan masa lalu itu masih butuh diuji relevansinya dalam kehidupan zaman yang berubah. Tradisi Kacar-Kucur dari Jawa, misalnya, tak bisa lagi diterjemahkan secara dangkal sebagai kepasrahan perempuan (yang pasif di rumah) kepada dominasi laki-laki (yang bekerja ke luar mencari nafkah). Budaya masyarakat urban sekarang menuntut, suami dan istri sama-sama bertanggung jawab atas kelangsungan hidup rumah tangga.
Sumber: Kompas, Minggu, 16 Desember 2007
No comments:
Post a Comment