JAKARTA (Lampost/MI): Naskah-naskah kuno yang menjadi bagian dari catatan sejarah Indonesia marak dijual ke luar negeri. Kebanyakan para pemiliknya lebih memikirkan uang daripada nilai penting naskah tersebut.
Hal itu diungkapkan Titik Pudjiastuti saat pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, di kampus UI Depok, Rabu (3-11). Dalam pidato pengukuhannya berjudul Naskah dan identitas budaya, Titik menyebutkan faktor ekonomi menjadi alasan utama pemilik atau ahli waris naskah menjual kepada pihak asing. ''Orang Indonesia itu selalu kalah dengan yang namanya uang,'' kata Titik.
Ia menyebutkan untuk harga serat Chentini yang diklaim pemiliknya sebagai naskah terlengkap di dunia dihargai Rp2,5 miliar. Itu pun setelah diteliti lebih lanjut, ternyata merupakan naskah salinan saja, bukan aslinya.
"Dua tahun lalu banyak terjadi pembelian naskah-naskah Melayu. Pembeli berani menawar hingga puluhan juta rupiah. Itu dilakukan oleh perorangan maupun pemerintah," ujarnya.
Malaysia merupakan salah satu negara yang paling gemar membeli naskah-naskah sejarah Indonesia. Titik menyebutkan naskah kuno dari Riau, Kutai, dan Aceh paling banyak dibeli. Naskah yang diborong berjenis naskah sastra kuno, legenda, sejarah, dan cerita.
"Malaysia tidak melakukan pencurian. Mereka mengakui bahwa naskah-naskah itu diambil dari negara lain, sebagai pertanggungjawaban akademis," kata Titik.
Ia menganggap penjualan naskah kuno ini bagian dari penjajahan budaya secara perlahan. Apabila hal itu terus dibiarkan, yang terjadi nantinya akar budaya bangsa Indonesia akan tercerabut. Generasi muda pun akan kehilangan identitas bangsa.
Senada dengan Titik, guru besar tetap Fakultas Ilmu Budaya yang juga dikukuhkan pada hari itu, Djoko Marihandono, menyebutkan keterbatasan atau ketidakmampuan sejarawan membaca naskah kuno berbahasa Belanda, Prancis, Portugal, dan Spanyol, menjadi kendala untuk mengungkapkan peristiwa sejarah di masa lalu. Sebaliknya orang asing menguasai naskah-naskah kuno tersebut. Padahal sumber referensi naskah-naskah kuno itu banyak ditemukan di Arsip Nasional dan Perpustakaan Nasional dan daerah.
"Di samping itu masyarakat sudah telanjur menganggap buruk semua peninggalan kolonial," kata ahli sejarah kolonial dalam pidato pengukuhannya berjudul Profesional: Kajian tentang sumber sejarah dan metodologi. (S-1)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 5 November 2010
No comments:
Post a Comment