Tuesday, November 02, 2010

[Kompas Kita] Dorothea Rosa: Apakah Pemerintah "Membaca" Sastra?

Pengantar Redaksi

Rosa panggilan Dorothea Rosa Herliany memilih dunia penulisan sejak mahasiswa. Namun, tulisan opini pertamanya dimuat di sebuah majalah remaja saat dia duduk di sekolah menengah pertama (SMP).

Rosa tidak melulu menjadi penulis dan penyair, tetapi juga merintis penerbitan, perpustakaan, dan tempat berkumpul bagi komunitas penulis. Dia mengabdikan dirinya untuk dunia yang dicintainya itu, termasuk suatu saat pernah menjual mobil dan tanahnya untuk membiayai kegiatan penerbitan ataupun aktivitas dunia penulisan itu.

Namanya kini sudah mendunia. Kumpulan puisinya yang lain, Kill the Radio (2001), telah diterbitkan pula di Inggris. Selain itu, karya-karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa.

DOROTHEA ROSA HERLIANY (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)


Dalam menghasilkan suatu karya, apakah Dorothea Rosa menunggu hingga ide atau inspirasi datang menghampirinya, atau justru mencarinya? Bagaimana cara menjaga konsistensi dalam berkarya? Apakah bertekun menjadi seorang penyair di Indonesia bisa menjadi suatu profesi yang memberikan nafkah layak bagi diri sendiri dan keluarganya? Ataukah menjadi penyair hanyalah sebagai suatu penyaluran hobi berkesenian?

(Agatha Meissi, xxx@gmail.com)

Menulis puisi atau menulis karya sastra lainnya tidak hanya berhadapan dengan soal ”teknis” menulis, tetapi juga bukan melulu soal ”wangsit” atau ”ilham”. Oleh karena itu, tentu saja tidak sekadar seseorang menunggu ide datang atau bahkan sampai harus mencarinya. Tidak juga melulu soal target sehari harus menulis berapa halaman.

Penciptaan karya sastra melibatkan persoalan ”rasa” dan ”pikir”. Ketika ”rasa” dalam diri saya sedang sehat, dan pikiran sedang jernih, maka saya akan menghasilkan puisi bagus. Konsistensi seorang sastrawan biasanya dipengaruhi juga oleh sebanyak apa mereka membaca, baik karya sastra maupun membaca apa saja, termasuk membaca pengalaman hidup.

Tentu saja juga dengan terus berkarya (keharusan seseorang menulis dalam jumlah halaman tertentu, mungkin bagian dari hal ini, di mana ia membutuhkan keadaan yang berhubungan dengan kedisiplinan, dan hal ini memang penting).

Kepenyairan sama sekali tidak bisa dijadikan profesi untuk mencari nafkah. Tidak saja di Indonesia, bahkan di mana pun. Tetapi, juga bukan sekadar hobi berkesenian. Bagi saya, kepenyairan adalah suatu pilihan.

Hai Mbak Rosa. Mana karya terbarunya? Bagaimana pendapat posisi perempuan dalam karya sastra Indonesia kekinian? Apakah sudah banyak berubah bila di banding masa-masa sebelumnya?

(Anindita Siswanto, Yogyakarta)

Hai Anin... Karya terbaru sedang dipersiapkan. Mungkin awal tahun depan.

Perempuan dalam sastra Indonesia kini, secara kuantitas (jumlah sastrawan) selalu lebih sedikit daripada sastrawan lelaki. Sebenarnya, saya tidak pernah merasa perlu melakukan pemilahan jender. Tapi lepas dari hal itu, saya lebih melihat banyak penulis perempuan generasi kekinian tidak kalah dalam melakukan banyak gebrakan.

Dalam beberapa hal, mereka justru selangkah lebih baik daripada sastrawan lelaki. Sesungguhnya sastrawan (penulis) perempuan harus lebih berani karena mereka lebih memiliki keunggulan sebagai perempuan itu, baik dalam hal ”peluang” maupun ”area garapan”.

Apa Ibu memang asli orang Magelang atau hanya tinggal di Magelang.

(Purwanto Dwi Santoso, Jawa Tengah)

Saya lahir di Magelang dari dua orangtua asli Magelang, masa kecil hingga SMP tinggal di Magelang, lalu sebelas tahun sempat di luar Magelang sebelum akhirnya memutuskan menetap dan kembali tinggal di Magelang hingga sekarang.

Saya kagum dan bangga bahwa ibu sebagai wanita yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari masih terus berkarya dan membuahkan tulisan yang luar biasa sampai diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Saya juga senang menulis puisi, artikel, dan sejumlah buku. Apakah ada blog yang memuat kumpulan puisi Ibu? Bagaimana bisa diterjemahkan ke pelbagai bahasa apa ada jaringan kerja?

(Sr. M. Monika SND, xxxx@gmail.com )

Tidak ada blog khusus yang memuat puisi-puisi saya. Sampai hari ini saya masih lebih memercayai bentuk penerbitan cetak. Tetapi, jika Anda menginginkan puisi saya, bisa kontak saya via e-mail melalui Kompas.

Penerjemahan itu dilakukan setelah terlebih dahulu membaca karya saya, baik yang sudah saya publikasikan di media massa maupun yang terbit ke dalam buku. Memang yang kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa itu (kecuali yang berbahasa Jerman, Perancis, dan Belanda), berawal dari membaca karya saya dalam bahasa Inggris. Jadi, yang pertama penting saya kira adalah penerjemahan ke bahasa Inggris ini karena penerjemahan tersebut dengan sendirinya telah memperluas wilayah pembaca.

Dari situlah kemudian penerjemahan dilakukan ke bahasa lain. Memang ini tidak terlalu ideal (idealnya ya menerjemahkan langsung dari bahasa pertama ketika puisi itu diciptakan), tetapi tak apa (karena orang yang menguasai dan memahami bahasa Indonesia itu kan memang terbatas), asalkan kita tetap bisa bekerja sama dengan penerjemah. Selama ini saya memang selalu bekerja sama dengan baik dengan penerjemah.

Mbak bisa sukses di bidang Sastra (maksudku Puisi), menurut mbak apakah suatu bakat keturunan atau memang melalui belajar yang terus-menerus?

(Sri Mujiah, xxxx@yahoo.com)

Dalam keluarga saya tidak ada satu pun yang berbakat dalam sastra, bahkan yang berminat membaca pun tak ada. Jadi, saya merasa tidak ada faktor keturunan (saya juga tidak percaya hal-hal demikian).

Yang memengaruhi saya dalam berkarya lebih banyak karena faktor lingkungan (sahabat dan lingkungan bergaul), minat, dan keinginan untuk belajar yang tak putus-putus. Juga faktor yang tidak kalah penting adalah bahwa saya sangat suka membaca sejak kecil. Jadi, saya yakin mbak tidak pernah terlambat untuk belajar dari nol meski baru mulai sejak sekarang.

Apakah ibu memiliki semacam ”resep” singkat untuk penyair pemula. Apa yang menjadi pendorong utama ibu untuk selalu berkarya?

(Mariati Djamianto, xxxx@yahoo.com)

Resep saya: jangan pernah merasa menjadi ”pemula”. Yang terus-menerus mendorong saya untuk terus berkarya adalah kesadaran bahwa apa yang saya lakukan itu suatu pilihan (saya tidak percaya ”panggilan” karena nanti terus terjebak pada sikap ritual dan sakral). Untuk itu saya akan senantiasa melakukan yang terbaik untuk pilihan itu.

Bagaimana proses kreatif Anda dalam menciptakan puisi-puisi?

(Thomas Sutasman, Cilacap)

Proses kreatif saya menulis puisi, kadang spontan. Namun, saya harus selalu menyadari bahwa kata adalah ”satu-satunya” kekuatan. Oleh karena itu, kata menjadi begitu penting. Segala sesuatu harus mampu diungkapkan melalui kekuatan kata.

Karena kekuatan katalah yang harus mampu memberikan sugesti untuk sebuah pengalaman tertentu dalam sajak, yang seharusnya sampai kepada pembaca.

Saya tidak membatasi tema-tema khusus, tetapi saya selalu memiliki pembelaan yang sama, yaitu harapan akan sesuatu ”menjadi lebih baik”.

Bagaimana cara mendapatkan ide-ide ”nakal” untuk puisi kita, supaya puisi kita tidak sekadar cantik dalam kata tetapi juga segar?

(Helmi Fitria Nugroho, Bandung)

Bagaimana mendapatkan ide ”nakal”? Pertama-tama, kita harus tahu apa yang kita inginkan ketika menulis. Setelah itu, kita harus tahu hal yang biasa dan tidak biasa. Tetapi harus tetap sadar bahwa kita harus memutuskan sesuatu yang ”cerdas”. Maka ketika kita memilih yang ”tidak biasa”, kemungkinan besar kita tidak akan mengulang hal yang sudah dilakukan orang lain dalam menulis (karena itu banyak membaca karya orang lain menjadi penting). Itu menjadi ”nakal” karena unik dan cerdas.

Bagaimana menurut Anda mengenai perkembangan puisi yang ada di Indonesia?

(Rafi, xxxx@yahoo.com)

Sekarang sangat memungkinkan menulis puisi dan menemukan puisi di sembarang tempat, terutama sejak kita bisa dengan mudah menelusuri alamat-alamat web di internet. Secara kuantitas perkembangan puisi jelas sangat pesat. Dengan perkembangan teknologi yang makin memungkinkan kita bisa memengaruhi orang lain, publikasi kepenulisan di Indonesia juga cukup pesat, maka jadinya banyak juga muncul penyair-penyair (penulis-penulis puisi) baru.

Saya ingin sekali bisa berjumpa dan berbincang dengan Anda, tetapi rasanya tidak mungkin karena profesi saya sebagai kru kapal. Di antara gejolak rasa berhasil saya tuangkan dalam catatan-catatan kecil entah berupa apa, yang bertahun-tahun saya kumpulkan dalam satu bendelan kertas. Semoga saya bisa mengirimkan salah satu di antara kertas itu bila saya diberikan alamat Anda, agar saya mampu pahami dan mendapat sekelumit ilmu tentang syair dari Anda.

(Rasul Abidin, Surabaya, xxxx@globeemail.com)

Saya akan sangat senang apabila bisa membaca catatan-catatan kecil Anda. Melihat profesi Anda, pengalaman-pengalaman yang Anda temukan selama ini agaknya menarik. Saya pasti juga bisa belajar dari itu semua.

Mbak Rosa pengin tahu nih, karya Anda yang mana yang paling membuat Anda terkesan?

(Kusdiyana, Yogyakarta)

Setiap karya memiliki pengalaman-pengalamannya sendiri sehingga dari sudut pandang yang berbeda saya memiliki kesan-kesan terhadapnya.

Apakah tidak tertarik terjun langsung di dunia politik? Bagaimana caranya jadi Penulis puisi yang njiwani & sastrawi?

(Yaya Zuhriah, xxxx@gmail.com)

Saya tidak pernah tertarik terjun langsung di dunia politik. Saya yakin sampai kapan pun akan tetap begitu.

Menjadi penulis yang njiwani dan sastrawi, hmm... saya tidak tahu apakah saya mencapai tingkat seperti itu. Saya hanya terobsesi oleh keadaan ketika karya sastra saya dibaca oleh orang- orang yang membutuhkan hal itu untuk sesuatu perubahan menjadi lebih baik.

Bagaimana dalam kesibukan sebagai insan mondial, bagaimana Mbak Rosa menyelaraskan antara berkarya dan mengurusi banyak hal, yang bisa jadi, tak bersangkut paut dengan karya.

(Gunawan Sudarsana, SMA Seminari Mertoyudan, Magelang)

Kadang sastrawan menginginkan wilayah yang eksklusif dalam proses kreatif, yang terpisah dari urusan-urusan di luar sastra. Akan tetapi, di sisi lain sastrawan adalah anggota masyarakat biasa yang berhadapan dengan persoalan riil sehari-hari. Dan, sastra yang baik tidak terpisah dari persoalan masyarakat, di zamannya. Oleh karena itu, saya sangat bahagia jika bisa membaur di dalamnya, tetapi juga tetap bisa berkarya dengan baik.

Satu-satunya cara agar keduanya selaras adalah menyadari bahwa sastrawan memang tak akan pernah mempunyai ruang eksklusif di luar masyarakatnya. Justru mereka harus berada di tengah-tengahnya. (Salam untuk murid-muridnya ya, Pak Gun)

Mbak Dorothea Rosa, apakah karya-karya penulis kita—puisi, novel dan sebagainya—masih ”didengar” oleh masyarakat atau pemerintah, dalam arti bisa memengaruhi masyarakat atau pemerintah untuk mengambil kebijakan?

(Freddy Susianto, Meruya, Jakarta)

Saya tidak terlalu yakin apakah masih ada individu di pemerintahan ”membaca” sastra, apalagi puisi. Jika pun ada, mungkin itu hanya beberapa gelintir orang saja. Namun, seorang sastrawan itu harus terus menulis, apakah itu dibaca atau tidak oleh para penentu kebijakan.

Sastrawan selalu yakin, ketika peradaban manusia berkembang, maka mereka akan makin membutuhkan bacaan yang baik. Ketika masyarakat mulai menggemari buku-buku bacaan yang baik, maka peradaban manusia pasti akan makin mencapai suatu harmoni. (ush)

Sumber: Kompas, Selasa, 2 November 2010

No comments: