Friday, November 05, 2010

[Pustakaloka] Menyangkal Adat yang Ideal

-- Darmanto

Data buku

• Judul Buku: Adat Dalam Politik Indonesia

• Penyunting: Jamie S Davidson, David Henley, Sandra Moniaga

• Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV Jakarta

• Cetakan: I, 2010

• Jumlah Halaman: xxii + 456 halaman

• ISBN: 978-979-461-753-3



ADAT memiliki arti yang luas, bervariasi, dan menyangkut peristiwa sehari-hari sehingga bersifat inklusif. Di Indonesia, istilah adat digunakan untuk banyak hal, antara lain untuk memberi kerangka penilaian kekhasan lokal dan menamai aturan, ritual, ekspresi budaya, atau sistem hukum yang tidak tertulis.

Cornelis Van Vollenhoven, seorang profesor dari Universitas Leiden, memandang adat adalah manifestasi pandangan hidup khas Indonesia. Warisan utama sarjana Leiden bagi kita adalah cara pandang terhadap adat sebagai tradisi dan esensi lokal yang ideal, seperti yang diwarisi oleh Soepomo, murid Vollenhoven yang paling gigih.

Soepomo membuat abstraksi agar adat cocok menjadi bagian ideologi nasional dalam pembentukan konstitusi Indonesia. Bagi Soepomo, adat dimaksudkan sebagai sesuatu yang stabil, koheren, otonom, hasil konsensus lokal yang homogen.

Visi Seopomo menginginkan adat menjadi ideologi dan menawarkan mitos sakral tentang identitas nasional. Wacana ini menyediakan landasan imajinasi kepulauan Indonesia sebagai sebuah wilayah kultur koheren dan dengan itu juga suatu bangsa yang koheren (Reeve 1985; 21). Visi Seopomo tentang adat yang ideal ini berhasil mengenalkan konsep ”jati diri Indonesia”, ”sifat komunal”, dan ”ideologi kekeluargaan yang harmonis”.

Adat dan politik

Setelah Orde Baru tumbang, adat memiliki makna dan bobot politik baru. Kata ”adat” banyak muncul di media massa atau demonstrasi terbuka. Bobot politik kata ”adat” semakin kuat setelah terselenggaranya Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999. Kongres itu berhasil membentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diharapkan menjadi payung bagi gerakan masyarakat atas nama adat dan menjadi inspirasi gerakan sosial baru.

Gerakan atas nama adat yang dipelopori AMAN dipandang dapat menyumbang terbentuknya gerakan sosial di akar rumput, dukungan terhadap tuntutan hak atas tanah, serta memulihkan kebanggaan dan harga diri kelompok marjinal. Gerakan ini diharapkan mengembalikan hak masyarakat terhadap sumber daya alam yang diabaikan orde baru.

Peter Burns, kritikus utama Vollenhoven, mengatakan bahwa konsep adat versi Leiden sangat kuat serta berpengaruh dalam tradisi hukum dan politik. Salah satu konsep Vollenhoven yang bertahan adalah pandangan tentang adat yang esoteris dan lentur. Kelenturan dan kemuliaan pandangan tentang adat membuat adat dapat digunakan untuk berbagai proyek yang bersifat politis.

Pejabat pemerintah, elite daerah, kelompok solidaritas etnis, pejuang lingkungan, dan penduduk desa menggunakan bendera adat untuk menyuarakan kepentingan politiknya. Orang menggunakan adat sering untuk—dalam istilah antropolog Tania Li dalam buku ini—”mengklaim kemurnian dan keaslian demi kepentingan seseorang”.

Penggunaan adat menjadi lebih rumit bila bersinggungan dengan praksis politik. Gerakan adat bisa mendorong proses demokratisasi sekaligus bisa memberikan sisi gelapnya. Selain berpotensi untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dan menginspirasi gerakan sosial, wacana adat juga dapat berkontribusi pada kerusuhan etnis yang mengerikan.

Sifat paradoks dari gerakan atas nama adat ini muncul akibat representasi adat yang ideal. Hal ini cocok dengan tema yang disenangi dalam pemikiran politik di Indonesia mengenai sifat baik, murni, dan asli adat. Idealisasi kata adat menyebabkan istilah ini sukar diperiksa secara kritis. Peter Burns dengan sangat baik menangkap idealisasi ini dalam artikelnya, The Myth of Adat (1989). Bagi dia, adat yang ideal mengedepankan kualitas holistik sehingga sukar mencari kelemahan epistemiknya.

Adat dengan ciri ideal sangat mudah menjadi pembenar bagi tindakan politik karena penerapan dan penafsirannya sukar dikontrol. Adat semena-mena dipakai untuk menegaskan kedaulatan teritorial dengan klaim ”keaslian/kepribumian”. Atas nama adat, feodalisme gaya baru bangkit dalam bentuk pemilu bupati atau gubernur. Penggunaan wacana adat di atas justru malah bertentangan dengan semangat persamaan hak dan prinsip kesetaraan yang ditawarkan gerakan adat versi AMAN.

Wacana adat

Untuk mengimbangi dialektika wacana atas nama adat yang intensif akhir-akhir ini, buku Adat Dalam Politik Indonesia (2010) ini terbit pada saat yang tepat. Meskipun tidak secara eksplisit dituliskan, semangat buku ini adalah menyangkal adat yang ideal. Buku ini adalah buku pertama berbahasa Indonesia yang memeriksa secara kritis wacana adat dalam sejarah Indonesia.

Dalam melakukan tugas itu, buku ini melakukannya dalam dua hal. Pertama, mengulas faktor-faktor historis yang telah memengaruhi terciptanya wacana atas nama adat dan manifestasinya dalam sejarah Indonesia kontemporer. Kedua, melacak kontribusi kebangkitan wacana adat dalam politik Indonesia kontemporer serta memeriksa kekuatan dan keterbatasannya.

Buku ini meletakkan wacana adat secara teoritis sejak zaman kolonial, dilengkapi dengan analisis studi empiris dalam konteks lokal serta dihubungkan dengan analisis struktur politik ekonomi di tingkat regional, nasional, dan global. Tulisan di buku ini merupakan hasil studi yang berangkat dari realitas sehari-hari, mulai dari Aceh hingga Papua yang kompleks dan mengejutkan. Para penulis membawa pengalaman lapangan itu sebagai dasar pemahaman dan pengetahuan baru mengenai peran adat dalam politik Indonesia.

Beberapa penulis buku ini aktivis gerakan masyarakat adat. Mereka kritis dan memberi refleksi gerakan adat dari dalam. Hal ini membuat analisis buku relevan bagi peneliti sosial, akademisi, dan mahasiswa yang mendalami studi sosial dan politik di Indonesia. Buku ini juga membantu praktisi konservasi dan pembangunan, aktivis LSM, pengurus lembaga donor-donor pembangunan, serta private sector untuk memahami kenapa tuntutan atas pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan konflik politik di Indonesia muncul dengan wacana adat.

Artikel-artikel dalam buku ini memang tidak memberikan solusi seragam atas berbagai persoalan terkait dengan wacana adat, gerakan masyarakat adat, dan bidang lain, seperti konservasi, pembangunan, dan pengakuan hak-hak warga negara. Namun, buku ini tetap dapat memberikan gambaran, analisis, refleksi, dan pertanyaan-pertanyaan baru yang sangat penting untuk masa depan wacana dan gerakan adat di Indonesia.

Darmanto, Penulis buku ”Hutan, Kekuasaan, dan Perubahan: Ekologi Politik Siberut”

Sumber: Kompas, Jumat, 5 November 2010

No comments: