Friday, November 05, 2010

Landung Membaca Sindhunata: Ketika Kumbakarna Maju Tak Gentar Mengganyang yang Benar

LANDUNG Simatupang memberikan refleksi nan menarik melalui petikan prosa liris ”Alengka Muram” dari Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata—penerbit Gramedia Pustaka Utama—yang dibacakan Kamis (4/11) malam di halaman Bentara Budaya Jakarta.

Aktor Landung Simatupang mementaskan "Alengka Muram-Landung Me m b a c a Sindhunata" di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (4/11) malam. (KOMPAS/DANU KUSWORO)

Dibuka alunan instrumen seruling, Landung memulai kisah. ”Alengka muram, di langitnya mengelam dendam berbulan-bulan hitam. Malam terluka dalam duka-dukanya, hujan rintik-rintik air mata bunga jangga, malam hujan, hujannya lidah menyala nagaraja taksaka.”

”Alengka Muram” mengisahkan ajal Kumbakarna, raksasa perkasa, di medan perang. Kumbakarna adalah adik Rahwana, Raja Alengka, yang menculik Sinta, istri Rama putra mahkota Kerajaan Ayodia, ketika pasangan itu menjalani pembuangan di hutan ditemani Laksamana, adik Rama.

Didukung pembacaan oleh Fortunata Kaswami Rahayu (Bu Cicit) dan V Sri Purwanti serta musik dan efek oleh Jebret Eko Susilo dan Sutrisno, Landung yang dikenal sebagai aktor dan sutradara teater memanfaatkan keaktorannya itu sehingga penonton yang memenuhi halaman BBJ terpukau dengan penampilannya.

Landung, yang ditemui seusai pembacaan, mengatakan, ia tertarik dengan prosa liris Sindhunata karena persoalan yang dikemukakan sangat relevan dengan kondisi kekinian, tetapi dibungkus dengan karya sastra yang elok.

”Dalam cerita itu Kumbakarna juga mengalami perang yang tak kalah dahsyat, yakni perang batin. Raksasa yang malang! Tindakan nyata Kumbakarna ialah maju tak gentar mengganyang yang benar,” ujarnya.

Sedangkan adik Kumbakarna, jadi adik Rahwana pula, yaitu Wibisana yang tidak berwujud raksasa, memilih menyeberang ke pihak Rama. Artinya, Wibisana memilih untuk, dalam pengertian ”politik praktis” mungkin, berkhianat.

Buku Anak Bajang Menggiring Angin yang jadi acuan, sejak terbit pada 1983 hingga kini sudah cetak ulang sembilan kali.

Landung, yang sudah dikenal luas sebagai pembaca terbaik untuk cerita pendek, fragmen novel, dan esai, menghidupkan kembali karya Sindhunata dengan nuansa pewayangan yang hidup dan menarik ditonton.

(NAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 5 November 2010

No comments: