-- Maria Hartiningsih
SIANG yang lengang. Jalan desa kosong ditimpa sinar matahari yang tegak lurus di atas kepala. Deru roda kendaraan hanya sesekali meningkahi suasana sepi. Pun di dalam rumah model tahun 1960-an di desa yang terletak sekitar 21 kilometer ke arah timur Yogyakarta menuju Klaten itu.
Purwadi sedang mengajar. (KOMPAS/MARIA HARTININGSIH)
Penghuninya, sepasang suami-istri yang sudah sepuh, larut dalam kesibukan kesehariannya. Ny Ruswaliyah (73) sibuk di dapur. Adapun suaminya, Purwadi (80), menyiapkan materi ajar di ruang kerjanya yang dipenuhi buku dan tumpukan koran. Setiap hari Minggu sejak 10 tahun lalu, ia memberi pelajaran Bahasa Inggris gratis untuk anak-anak desa.
”Mudah-mudahan memberi setitik sumbangan bagi kemajuan,” ujar ayah empat anak, pensiunan kepala cabang satu kursus bahasa Inggris di Yogyakarta, itu.
Purwadi tidak mau mau dibayar karena, ”Kalau dibayar nanti terikat kewajiban mengajar. Saya mengajar semata-mata karena saya ingin mengajar.”
Oleh karena itu, ia menolak menjadi guru les privat, apalagi kalau harus meninggalkan rumah seberapa pun besar bayarannya. ”Saya sudah tua, kalau terjadi apa-apa di rumah orang, nanti merepotkan,” tutur kakek dari enam cucu ini.
Perbincangan kami terhenti oleh makan siang, dengan nasi dari beras tumbuk yang padinya baru dipanen. Wangi aromanya. Keluarga itu punya 0,5 hektar sawah warisan yang digarap orang. Hasilnya dibagi, dengan 70 persen untuk penggarap.
”Kalau 70 persen untuk pemilik, namanya tuan tanah,” Purwadi terkekeh, ”Yang 30 persen itu sudah sangat cukup untuk kami.”
Lauk makan siang itu adalah ikan kembung, tempe goreng, telur ceplok, dan sayur brongkos. Makan siang ternikmat sebelum Purwadi melanjutkan kisahnya....
Tak tunduk
Penuturan Purwadi di bawah ini menguatkan kesadaran tentang masa lalu yang selalu hendak kembali dihapus pada masa pasca-Soeharto. Ideologi rezim itu tampaknya tidak mati meskipun simbol kekuasaannya telah diruntuhkan.
Secara kolektif, cara-cara represif muncul lagi untuk menutup ruang bagi sejarah korban. Selain ancaman kekerasan terhadap penyelenggaraan diskusi dan pertemuan, dan spanduk-spanduk antikomunis, cara yang sistematis adalah pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung.
Namun, kemudian upaya itu harus berhadapan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (13/10/10) yang menyatakan, UU Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum tak memiliki hukum mengikat. Dasar hukum kewenangan Kejaksaan Agung melarang buku itu dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.
Secara personal, ingatan sering dicairkan oleh waktu. Sebagian orang, memenuhi hipotesis sosiolog Anthony Srorr, cenderung melupakan hal-hal yang tak menyenangkan dalam hidupnya. Namun, dalam banyak hal, ingatan tak tunduk oleh waktu. Di antara mereka adalah Purwadi.
Menapak ingatan
Tak ada yang menduga, sarjana muda Jurusan Bahasa Inggris dan pernah menjadi guru di SMA di daerah Klaten itu sempat mau dagang sayur di Jakarta untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Untung ada seorang teman yang memberinya kesempatan mengajar di suatu lembaga kursus bahasa.
”Setelah keluar dari penjara, tak mudah mencari pekerjaan,” tutur Purwadi. ”Waktu itu, ibaratnya sama maling saja lebih terhormat maling.”
Pengasingan selama empat tahun kurang dua bulan dengan ketidakjelasan nasib sesungguhnya berlanjut dalam bentuk yang lebih subtil. Stigma melalui cap dalam kartu tanda penduduk berlanjut dengan pengucilan sosial selama puluhan tahun seusai penghukuman tanpa pengadilan itu. Keluarga ikut menanggung seluruh penderitaannya.
”Kalau kami makan banyak di kenduri, selalu ada yang mencemooh, ’Pantas, wong di rumah ndak ada yang dimakan.’ Cemoohan ’dasar anak PKI’ selalu terdengar, enggak tahu kami salah apa,” kenang Anton, sebut saja begitu, mengenang masa kecilnya.
Meski demikian, Purwadi masih merasa beruntung karena ”hanya” digolongkan ke dalam kelompok C oleh tim interogasi. Yang masuk dalam kategori itu adalah mereka yang dicurigai sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia atau organisasi yang berada di bawah payung partai yang dituduh sebagai ”dalang” Gerakan 30 September 1965.
Purwadi muda adalah anggota Persatuan Guru Republik Indonesia. Namun, ontran-ontran politik waktu itu memecah organisasi itu. Yang satu berafiliasi kepada partai nasionalis. Yang lain, dengan program-program lebih populis, berafiliasi pada partai yang dicap ”kiri”. Keduanya resmi diakui sebagai organisasi profesi saat itu.
Karena berada di lingkungan teman-teman ”kiri”, Purwadi kemudian bergabung dengan mereka. Pada tanggal 26 Oktober 1965, Purwadi dibawa lapor ke kantor polisi oleh direktur sekolahnya. Ia sempat bingung karena tidak merasa bersalah. ”Waktu itu ada polisi yang baik bilang, ’Pak Anda bukan kriminal. Di sini cuma ditanya-tanya, nanti kalau tak terbukti bersalah, dipulangkan’,” tutur Purwadi.
Sejarah yang dihapus
Setelah itu ia tak pulang. Bersama sekitar 2.000 orang ia menghuni satu dari sembilan ruang kelas gedung sekolah dasar di Klaten yang daya muatnya hanya 40 orang per kelas. Sekolah itu menjadi penampungan tahanan politik sebelum dipindah-pindahkan atau ”dihilangkan”.
Di situ Purwadi menyaksikan orang-orang yang hilang setelah ”pemanggilan”. ”Ternyata mereka dibawa ke Kali Simping yang pasirnya tebal. Katanya ditembak, lalu dikubur dangkal. Ada yang melihat, seperti membunuh anak anjing.”
Dari entah berapa banyak korban, ternyata ada yang bisa lolos. ”Ia ditembak, tetapi tidak mati. Oleh keluarganya ia disuruh menyelamatkan diri. Ia lari ke Jakarta dan menjadi pemulung. Ny Mitterand sempat menemuinya waktu ke sini,” tutur Purwadi, menyebut nama lelaki yang dikunjungi mantan Ibu Negara Perancis dan Presiden France Libertés pada tahun 2000 itu.
Tak ada yang tahu jumlah korban tewas di sekitar Klaten pada masa itu. Namun, kepada Ny Mitterand yang mendatangi tempat itu, beberapa saksi mata mengatakan, air kali itu warnanya merah oleh darah.
Sebelum Soeharto digulingkan, pembunuhan massal terkait peristiwa 1965—korbannya konon lebih dari 1,5 juta orang, tetapi angka resmi 200.000—tak banyak dicatat.
Berbeda dengan sejarah berdarah rezim Pol Pot di Kamboja yang ditulis dalam ratusan buku dan artikel di Barat, pembunuhan massal pasca-1965 sepi dari telaah. Salah satu dari sedikit buku yang kemudian menggedor ingatan adalah karya Robert Cribb, The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (1990). Jadi, selama lebih 20 tahun, sejarah kelam itu seperti dihapuskan dari peta peradaban manusia.
Menurut sejarawan Dr Budiawan, hal itu terjadi karena jutaan korban di Indonesia diasosiasikan dengan komunis, sementara di Kamboja, pelaku adalah komunis. Pemaparan kekejian di Kamboja bisa dibaca sebagai bagian dari propaganda antikomunis Barat semasa Perang Dingin. Sebaliknya, kebisuan Barat terhadap pembunuhan massal di Indonesia harus dibaca sebagai lebih dari sekadar pengabaian.
Berserah
Beberapa kali Purwadi merasa berada di batas antara hidup dan mati. Di tempat tahanan Klaten ia sempat menulis di sobekan kertas lusuh kepada anak sulungnya yang berusia tujuh tahun, ”Ndhuk, mulai besok kamu sudah tidak punya bapak. Bantu ibu, jaga adik-adikmu.” Surat itu dititipkan ke penjaga sebelum ia dipindahkan ke Solo, lalu ke Nusakambangan dan Yogyakarta, sebelum akhirnya dibebaskan.
Selama dalam tahanan, wajah istri dan anak-anaknya yang merawat semangat hidupnya. Purwadi membayangkan bagaimana istrinya harus berjuang sendiri untuk anak-anaknya. ”Dia ini waktu kecil gudhigen enggak sembuh-sembuh,” Ny Ruswaliyah menunjuk gambar si bungsu dalam foto keluarga tanpa bapak.
Gudhig atau scabies yang populer dengan sebutan ”gudhig Gestok” di daerah Klaten itu diduga berasal dari pembusukan mayat-mayat yang dikubur di lubang-lubang dangkal, yang lalu meruyakkan bakteri dan kuman. Ada yang masuk ke kulit manusia hidup, membuat gatal tak tertahankan dan sangat cepat menjalar ke bagian tubuh yang lain. Kolera merebak. ”zaman pagebluk” itu memakan banyak korban.
Pengalaman Purwadi dan ribuan orang lainnya tak bisa direduksi dalam pertanyaan ”siapa dalang G-30S”. Pertanyaan itu, menurut Budiawan, tak akan terjawab, bukan hanya karena bukti-buktinya tak memadai, melainkan terutama karena ada asumsi bahwa gerakan itu terstruktur. Penelitian John Roosa, ahli sejarah dari Universitas British Columbia, Kanada, dalam buku Dalih Pembunuhan Massal (2008, sempat dilarang Kejaksaan Agung) memperlihatkan hal sebaliknya.
Bagi Purwadi, pertanyaan itu bahkan tak relevan, sama tidak relevannya dengan rasa dendam. Keberserahan dan penerimaan seluruh pengalaman hidupnya telah menguatkan empati dan welas asihnya kepada pelaku.
Menguatnya wacana hak asasi manusia membuat mantel-mantel pembenar para pelaku pembunuhan massal itu terkoyak.
Posisinya kini terbalik. Dulu mereka dielu-elukan sebagai pahlawan. Sekarang, di televisi, korban berbicara lantang, sementara wajah pelaku disamarkan, suaranya dibuat seperti robot. Mereka dihilangkan personalitasnya. Kearifan Jawa selalu mengingatkan pada ”wolak-waliking jaman”....
Sumber: Kompas, Jumat, 5 November 2010
No comments:
Post a Comment