Saturday, November 06, 2010

Sumpah Pemuda dan Imajinasi Sastra

-- Asarpin

SEBELUM lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Roestam Effendi dan Muhammad Yamin telah mendahului gagasan tersebut dalam sejumlah puisi mereka. Yamin bahkan pantas dianggap sebagai pemantik—kalau bukan peramal dan pencatat serta pengamat yang baik—tentang kehidupan bangsa, yang kemudian dilanjutkan oleh para pemuda dalam langkah nyata.

Sebagai penyair, Yamin telah berdepan-depan dengan zaman. Penyair yang baik memang orang yang semestinya berdepan-depan dengan masa. Pramoedya telah menulis serial novel yang memperkarakan karakter bangsa yang baru sekarang mendapat perhatian. Sampai-sampai tema Sumpah Pemuda tahun ini mengambil tema menggelikan, Bangun karakter bangsa menuju Indonesia maju.

Multatuli juga sastrawan peramal yang baik dan pernah menulis sajak bencana yang akan menimpa Pulau Jawa dengan sangat mengerikan jauh sebelum Sidoarjo ditenggelamkan lumpur, atau banjir dahsyat yang mengancam negeri kepulauan ini. Saya petikkan bunyi sajaknya, yang diterjemahkan dengan sangat bagus oleh Asrul Sani:

Kaudengar bunyi penuh nada mengerikan/Memenuhi lembah dirasuk ketakutan?/Inilah suara garang air bah/Yang di lekuk gunung sedang memecah./Awan, yang ia peroleh untuk tempat tetirah/Membebaskan diri dari kandungannya kini/Lalu mengirimkan sesajen pada arus yang mandiri/Tiada terbendung dalam kecepatan berlipat/Ia datang laik kuda maju mengimbangi topan/Berlomba menuruni tanah tanah terban!/Ia datang, air terjun yang kelam,/Yang kuasa menghancurkan karang,/Merenggutkan pepohonan dari mahianya/Lalu dengan bahasa terompet perang/Yang menggema ke mana-mana,/Mencipta danau di lembah gemetaran.

Kalau Muhammad Yamin menulis tema Tanah air dan Sumpah Pemuda jauh sebelum Sumpah Pemuda diikrarkan, Rendra menulis sajak-sajak reformasi jauh sebelum reformasi jadi kenyataan pada 1998. Sementara Sutardji Calzoum Bachri menulis puisi yang mempersoalkan kata bukan sebagai alat dan begitu intim menggugat makna sebelum Derrida dan kaum posmo muncul memperkarakan makna lewat gerakan dekonstruksi.

Sutardji telah melebarkan sayap imajinasi dengan menemukan kebaruan lewat penemuan bahasa sendiri. Karena yang tak menemukan bahasa sendiri tak bakalan disebut penyair dan tak bakal ada kebudayaan. Ia menyair karena itu ia menemukan ucapan kendati ia tahu "walau huruf habislah sudah/alif ba ta ku tak sebatas Allah".

Sutardji melakukan inovasi dan lewat sajak-sajak yang mengabarkan tanda-tanda zaman atau isyarat (ingat judul buku kumpulan esai Tardji berjudul Isyarat). Bahkan Sutardji pernah menulis puisi yang memberi peringatan akan datangnya El Nino dan La Nina yang kini jadi isu nasional sejak cuaca ekstrem melanda sejumlah negara, termasuk Indonesia. Tak seorang penyair pun yang memikirkan kehadiran El Nino dan La Nina sambil mengaitkannya dengan Sumpah Pemuda, kecuali Sutardji. Jangankan menulis soal itu, mengerti kedua istilah itu sendiri tidak.

Dalam sajak berjudul Cari, Sutardji mengajak kita semua untuk menemukan Kata, mendekatkan diri kepada Tuhan dengan pengakuan dosa karena ia melihat tanda-tanda bencana dan perubahan cuaca yang kian menggila. Cepat temukan kata!/sebelum cuaca makin memburuk/sebelum datang lagi El Nino/sebelum datang La Nina/agar tak kembali muncul El Dictator. Karena kita tak juga menemukan Kata maka tak heran jika kemudian "ramalan" Sutardji terbukti. Kini orang mulai ribut ketika perubahan cuaca yang ekstrem, ketika gejala El Nino dan La Nina mencuat ke permukaan.

Selanjutnya Sutardji berseru: Wahai bangsaku/Keluarlah engkau/Dari kamus kehancuran ini/Carilah kata/Temukan ucapan/Sebagaimana dulu/Para pemuda menemukan/Kata. Seperti Muhammad Yamin menemukan kata sebelum Sumpah Pemuda, itulah makna sajak Tanah Airmata dan sajak Cari Sutardji. Ia berusaha menantang pembaca dengan menampilkan frase-frase puitik yang bukan dari kata hasil warisan.

Sajak-sajak baru Sutardji menampilkan pengakuan akan kebesaran Ilahi dan kedhaifan diri manusia yang penuh lumpur dosa, dan disampaikan dengan berterus-terang melalui bahasa yang langsung menapak ke inti peristiwa. Penurunan tangga dari langit lazuardi menuju ke bumi fana melalui momen-momen hari besar dalam Islam mengingatkan kita pada sajak-sajak nasihat dengan kandungan maksud mantera yang bermetamorfosis menjadi doa, tapi dengan kandungan puitis yang menawan. Tardji menggemakan ajakan untuk berserah diri kepada-Nya sebelum ajal dijemput malaikat-Nya.

Tardji tak lagi ber-aku-aku dan ber-kau-kau, tapi berusaha menyapa pembaca dengan "kami" dan "kalian". Sajak-sajak terbarunya mengandung isyarat sekaligus syarat dengan ungkapan futuristik yang padat, dengan tema religiusitas yang terasa menohok. Momen-momen hari besar oleh Tardji diberi tafsir yang baru: Idulfitri, Sumpah Pemuda, Haji atau Hari Kurban, memiliki arti yang segar dan penuh dengan tafsiran sufistik dengan madah khas dalam doa.

Cara-cara menampilkan sajak semacam itu sempat membuat saya curiga: jangan-jangan pilihan pada hari besar dalam sejumlah sajak Tardji sengaja diniatkan agar lebih mendekatkan kembali dengan pembaca, dan para pembaca akan berburu mengutip frase-frase puitiknya kala momen hari-hari besar itu tiba. Ketika bicara tentang Idulfitri, di sana terdapat asosiasi arus mudik-arus balik, pergi dan kembali, serta upaya pendakian puncak lotus pada batas terjauh, dengan maksud yang tegas, dan tak jarang menampilkan kejutan, kamuflase.

Proses kelahiran sajak-sajak baru Tardji seperti kelahiran bayi yang suci. Sang ibu yang melahirkan berusaha menghayati diri sebagai sang hamba pendosa yang dengan jujur mengakui kehinaan dan kenistaan dirinya di hadapan Sang Khalik sambil berserah diri, sabar, dan tawakal. Berkali-kali Tardji menyuguhkan kata-kata dengan rasa yang bernyanyi secara bersama dan terjun dari kekosongan pencarian menuju bumi dan sumber-sumber mata air kecemerlangan, entah untuk menemukan bahasa pengucapan lagi, atau sedang meramal kejadian lagi.

Demikian, jika bangsa ini memang sungguh-sungguh hendak merealisasikan suatu kehidupan politik yang kultural, para politikus sebaiknya mencermati sastra, puisi, sebagai inspirasi atau sebagai dorongan untuk menciptakan keputusan dan kebijakan sosial maupun politik, bukan sebagai kuda tunggangan sebagaimana tak jarang terjadi pada momen-momen menjelang pemilu atau pilkada.

Asarpin, Pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 6 November 2010

No comments: