JAKARTA, KOMPAS - Pertemuan ratusan sastrawan dan pakar sastra Indonesia dalam Temu Sastrawan Indonesia III di Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yang berakhir Minggu (31/10), menyorot tajam kritik sastra akademis. Karena itu, tim perumus dan kurator Temu Sastrawan Indonesia III merekomendasikan perlunya diupayakan perkembangan kritik sastra yang memperkecil kesenjangan antara dunia akademis dan perkembangan sastra.
Ketua Panitia Temu Sastrawan Indonesia III, Abdul Kadir Ibrahim, yang juga salah seorang kurator, mengatakan, rekomendasi lain adalah perlunya diupayakan penghargaan terhadap pertumbuhan kritik dengan memperluas pelaku dan medium kritik sastra. ”Bahkan, juga dibutuhkan kehadiran lembaga kritik sastra yang berwibawa dan berintegritas tinggi,” katanya, Senin (1/11).
Menurut Abdul Kadir Ibrahim, kritik sastra menjadi topik pembahasan karena sastra Indonesia mutakhir tumbuh nyaris tanpa kritik. Kritikus dari kalangan akademis amat jarang memberikan kritik. Kalaupun ada, kualitasnya pun dipertanyakan banyak kalangan.
Kurang darah
Sastrawan Prof Dr Budi Darma dalam Temu Sastrawan Indonesia III itu mengatakan, mayoritas kritik sastra akademis hanyalah artefak kering, kurang darah, kurang daging, kurang semangat hidup. Mayoritas kritik sastra akademis hanyalah ada demi kepentingan untuk ada belaka, bukannya ada untuk membawa pengaruh dan membawakan dampak.
Pakar sastra Indonesia, Katrin Bandel dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengatakan, sistem akademis memang tampak kurang menguntungkan bagi perkembangan kritik sastra. Demi kemajuan kariernya dan kenaikan jabatan serta gaji, di Indonesia seorang dosen harus mengumpulkan nilai kum. Itu berarti bahwa dosen sebaiknya menulis di media-media yang diakui Kementerian Pendidikan Nasional saja dan lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas tulisan.
Arif Bagus Prasetyo, pemenang I kritik sastra 2007 Dewan Kesenian Jakarta, mengatakan, disiplin kajian budaya ikut membunuh kritikus sastra. Pengaruh kuat kajian budaya dalam ilmu sastra telah menghanguskan kritik sastra, membuat kritik sastra kehilangan fungsi evaluatifnya. Tak bisa lagi menilai bagus-buruknya karya.
”Kajian budaya menganggap ’bagus’ dan ’buruk’ sebagai kategori-kategori yang mengidap bias politis. Suatu pelabelan yang menyembunyikan dan melestarikan agenda kekuasaan. Dalam pandangan kajian budaya, pengakuan karya tertentu ’bagus’ selalu patut dicurigai mengusung nilai dan kepentingan pihak berkuasa,” paparnya.
Sastrawan Putu Wijaya menegaskan, sastra memang sudah tertolong tersosialisasikan pada masyarakat oleh kemurahan hati media yang menyediakan ruang sastra setiap minggu, tetapi biayanya jadi terlalu mahal.
”Selera penjaga gawangnya yang dominan dan ideologi pemilik media yang memberikan cap dapat menyesatkan apresiasi masyarakat. Apresiasi sastra oleh media bisa menutup hati masyarakat,” ujarnya. (NAL)
Sumber: Kompas, Selasa, 2 November 2010
No comments:
Post a Comment