Jakarta, Kompas - Banyaknya korban jiwa dalam setiap bencana di Tanah Air semestinya mendorong pemerintah untuk segera menerapkan pendidikan kebencanaan. Tanpa pendidikan kebencanaan, anak-anak akan tercerabut dari lingkungannya dan korban akan terus berjatuhan.
Nersina (5) memeluk boneka yang diberikan relawan di posko kesehatan di Gereja Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (3/11). Lebih dari sepekan peristiwa gempa dan tsunami yang menimpa warga Mentawai, belum ada upaya serius untuk memulihkan trauma, terutama bagi anak-anak. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
”Masyarakat harus disadarkan bahwa mereka hidup di lingkungan alam yang rawan bencana alam, seperti gempa, letusan gunung api, tsunami, dan tanah longsor. Cara paling efektif untuk menyadarkan itu adalah melalui pendidikan sejak usia dini,” kata S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, Rabu (3/11) di Jakarta.
Menurut Hamid, hal-hal yang bersifat lokal mesti diperkuat dalam pembelajaran di kelas. Dalam pengenalan soal alam Indonesia, misalnya, pembelajaran untuk anak-anak yang berada di daerah rawan gempa mesti berangkat dari pengenalan yang mendalam soal daerahnya.
”Ketika belajar soal gunung berapi, misalnya, sekolah di Yogyakarta dan sekitarnya mesti diberi pemahaman yang mendalam, termasuk juga bagaimana mengantisipasi jika meletus dan bagaimana membantu pascabencana,” kata Hamid.
Kurikulum pendidikan kita, menurut Hamid, mesti diimplementasikan dalam materi pelajaran yang dekat dengan lingkungan si anak. Kemudian, meluas ke masalah yang lebih umum.
Lendo Novo, pemerhati pendidikan lingkungan yang juga penggagas sekolah alam, mengatakan, pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia seharusnya mengajarkan anak-anak didik untuk hidup harmonis bersama alam. Dengan pengetahuan lingkungan yang kuat, anak-anak Indonesia akan mampu memanfaatkan potensi alam untuk kesejahteraan serta menjaga alam sebaik-baiknya guna mencegah terjadinya bencana atau kerugian yang lebih besar dari fenomena alam.
”Di tengah banyaknya bencana alam yang terjadi, memang pendidikan kebencanaan mutlak diperkuat di sekolah-sekolah sejak dini. Tetapi, kunci utama dari persoalan ini sebenarnya bagaimana kurikulum dalam pendidikan kita itu memiliki roh utama tentang lingkungan,” katanya.
Siapkan modul
Secara terpisah, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengatakan, untuk mengurangi risiko bencana di daerah-daerah rawan bencana, pengetahuan pengurangan risiko bencana telah diintegrasikan ke dalam kurikulum.
”Segala macam informasi mengenai pendidikan kesiapsiagaan bencana itu telah dituangkan dalam modul-modul yang disusun Kementerian Pendidikan Nasional, guru, dan lembaga-lembaga nonpemerintah internasional.” kata Fasli Jalal.
Di dalam modul-modul pendidikan kesiapsiagaan bencana tersebut, menurut Fasli, juga diatur mengenai cara-cara melakukan sosialisasi tanggap bencana, antara lain melalui poster dan brosur yang dipasang dan dibagikan di sekolah-sekolah. ”Semua sudah dibuatkan dan tinggal diperbanyak saja,” ujarnya.
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto menambahkan, modul-modul mengenai pengetahuan kesiapsiagaan bencana itu memang sudah ada, tetapi informasi yang ada tidak terlalu rinci karena kondisi dan kebutuhan setiap daerah yang berbeda. (ELN/LUK)
Sumber: Kompas, Kamis, 4 November 2010
No comments:
Post a Comment