Monday, November 01, 2010

Seni Tradisi: Kahuripan Pun Dibelah Dua

MENYIMAK perjalanan kekuasaan Raja Kahuripan Erlangga (991-1049), orang bisa punya penilaian terbelah. Di satu sisi, yang terlihat adalah Erlangga sebagai sosok yang bijaksana dan punya rasa cukup terhadap kekuasaan dan karena itu memutuskan lengser keprabon (mundur dari singgasana). Di sisi lain menampakkan sosok Erlangga yang mengurangi kejayaan negara karena memilih membelah kerajaan menjadi dua hanya karena merasa harus membahagiakan kedua anak laki-lakinya.

Itulah kesan yang muncul setelah menyaksikan pergelaran ketoprak ”Wisuda Raja Jenggala dan Panjalu” di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (29/10) malam. Pergelaran yang diselenggarakan oleh Paguyuban Puspo Budoyo yang dipimpin oleh H Luluk Sumiarso ini didukung pula oleh sejumlah pemain tamu yang rata-rata datang dari kalangan energi baru dan terbarukan, baik dari lingkungan pemerintah maupun swasta.

Dengan naskah yang ditulis oleh Aries Mukadi (yang sekaligus merangkap sebagai sutradara), pergelaran ke-44 Puspo Budoyo ini cukup mengalir dalam mengajak penontonnya mendapatkan wawasan mengenai problem yang dihadapi oleh Raja Erlangga. Solusi membagi dua kerajaan sebenarnya tidaklah ideal karena berarti kejayaan berkurang. Namun, itulah jalan keluar yang lebih menonjolkan sikap adil orangtua daripada yang mengutamakan kebesaran kewilayahan negara. Keruwetan di Kahuripan sendiri dipicu oleh ketidaksediaan putri ahli waris takhta, Sanggrama Wijaya, yang memilih menjadi pertapa daripada mengurus negara.

Pertunjukan yang disertai semangat peduli bencana Mentawai dan Merapi ini juga didukung oleh komedian Eko DJ, Mamiek Prakoso, Polo, Wha Win Lawra, serta artis Ratna Listy yang dapat memberi suasana segar di tengah formalitas suasana kerajaan.

Melalui medium seni tradisi, seperti yang ditampilkan secara reguler oleh Paguyuban Puspo Budoyo, ini dapat disampaikan wacana bernas tentang kekuasaan dan pandangan yang beragam untuk meraihnya, satu hal yang relevan justru ketika banyak orang cenderung melihat kekuasaan sebagai satu target ambisi tanpa memandang lebih jauh kemampuan diri dan tanggung jawab yang mengiringinya.

(nin)

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Oktober 2010

No comments: