Depok, Kompas - Kebijakan sistem pendidikan selama ini tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Indonesia dan tujuan pembangunan nasional. Bahkan, kebijakan yang dibuat kerap hanya bersifat tambal sulam dan reaktif terhadap suatu persoalan.
Demikian persoalan yang mengemuka dalam diskusi di ”Sociology Summit 2011” yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Selasa (1/3) di kampus UI Depok.
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina Muhammad Abduhzen menilai hal itu terjadi karena perancangan sistem pendidikan tidak pernah melihat kebutuhan riil masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan.
Bisa saja, kata Abduhzen, misalnya tujuan pembangunan nasional ada pada sektor pertanian, perikanan, atau kelautan, maka berarti seluruh sistem pendidikan diarahkan untuk mencapai itu. ”Harus jelas terlebih dahulu mau ke mana kita ini sehingga arah pendidikan juga jelas mau menghasilkan sumber daya manusia seperti apa,” ujarnya.
Karena gagasan pendidikan yang kabur, kebijakan pendidikan akhirnya menjadi sekadar coba-coba dan cenderung reaktif. Dalam sesi tanya jawab pada diskusi juga mengemuka contoh- contoh kebijakan yang reaktif, seperti pendidikan karakter yang muncul karena meningkatnya kasus-kasus korupsi.
Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Nizam mengingatkan nasib perubahan atau perbaikan dalam sistem pendidikan ada di tangan masyarakat. Pasalnya, pemerintah tidak akan sanggup menangani dan menyelesaikan semua persoalan pendidikan. ”Otonomi yang diberikan pada pendidikan tinggi seharusnya bisa digunakan perguruan tinggi untuk mengembangkan diri,” ujarnya.(LUK)
Sumber: Kompas, Rabu, 2 Maret 2011
No comments:
Post a Comment