ENTAH mana yang benar, kekuasaan membuat manusia rapuh di hadapan naluri menguasai atau warisan reptilian old brain di dalam kepala yang membuat manusia terus berada pada tingkat mempertahankan diri atau dialektika keduanya.
Namun, dalam banyak kasus, moral apa pun tak mampu mengontrol hasrat akan kekuasaan, malah bisa dijungkirbalikkan demi semua itu. Tak sulit menengarai, para pemegang kekuasaan adalah agen pembusukan yang sangat berkuasa, dan, tentu sangat korup karena korupsi dalam bahasa Latin adalah corruptio, yang berarti pembusukan.
Korupsi bukan hanya perkara penggelapan, pencurian, dan perampokan uang negara. Mereduksi hanya pada sifat ekonomistik dan negara sentris berarti membiarkan kerusakan kian parah. Apalagi korupsi tak selalu membuat negara (secara agregat) menjadi miskin karena korupsi bisa ”tidur bersama” dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.
Makna korupsi jauh lebih luas dan dalam serta dahsyat karena menyangkut kepengurusan publik terkait keselamatan manusia dan ruang hidupnya. Pembersihan pejabat dan pegawai negara adalah tahap paling awal pemberantasan korupsi....
Pernyataan tokoh politik terkemuka DPR yang melecehkan tenaga kerja wanita pekerja rumah tangga (TKW-PRT) adalah bentuk korupsi melalui pembusukan ”standar profesi”. Padahal, ”profesi” mengandung arti tanggung jawab; janji tidak mencederai kepentingan dan kesejahteraan umum. Profesi di DPR adalah sebagai wakil rakyat. Namun, banyak tindakan anggotanya—membela koruptor, menerima suap, dan menjadi calo undang-undang—menjungkirbalikkan alasan adanya dia di lembaga terhormat itu. Semua itu telah membusukkan kinerja kelembagaan DPR.
Dalam kehidupan bernegara, hidup bersama hanya dimungkinkan karena disangga jalinan institusi di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setiap institusi punya alasan keberadaannya. Kalau lembaga pendidikan melakukan bisnis atau propaganda dan lembaga olahraga main politik, maka kinerja lembaga membusuk, terjadi korupsi total. Apalagi kalau pembusukan dilakukan atas nama moral kesalehan, seperti rumusan kode etik lembaga legislatif yang menciutkan moralitas sebagai simbolik individual, tetapi menegasikan kesalehan sosial dengan menghilangkan pasal-pasal penyuapan.
Keutamaan demokrasi terletak pada sistem kelembagaan yang menjamin hubungan antara kekuasaan dan tanggung jawab, bukan statistik pemilih yang mereduksi warga negara sebagai kerumunan. Namun, hal itu tak bisa diandaikan kalau pilar pentingnya, partai politik, kental fenomena kartel, politik dinasti, oligarki, dan lain-lain.
Pembusukan hidup bersama
Masyarakat dikatakan rusak parah kalau keluasan korupsi begitu ganas sehingga menghancurkan etika hidup bersama. Kejernihan, kecerdasan, dan kepekaan terhadap hidup bersama menguap.
Kebijakan publik yang menentukan hidup warga tak menyentuh realitas hidup yang menjerit dari kemiskinan, menyisakan wajah-wajah kosong karena air mata telah terkuras. Berita tentang ibu bakar diri bersama anak-anaknya karena tak ada lagi yang bisa dimakan, ayah gantung diri karena lama menganggur, busung lapar, dan PRT yang sekarat disiksa majikan menunjukkan kegagalan menyelamatkan warga negara dari penderitaan mereka, sekaligus melucuti kemanusiaan mereka yang miskin dan dimiskinkan.
Kasus-kasus penjarahan uang triliunan rupiah yang terus dilindungi demi kepentingan politik sesaat serta penjarahan sumber daya alam atas nama ”pembangunan”, yang sebenarnya tidak lebih dari proyek dan pemburuan rente, adalah kejahatan besar yang tak pernah dianggap sebagai kejahatan.
Secara bersamaan, orang tak malu mendapat prestasi akademis secara curang, menjarah bantuan kemanusiaan, dan mengutil dana program-program kemiskinan. Rakyat di luar sistem birokrasi melakukan tindakan serupa dengan caranya dan memaksa pengusaha yang mau menerapkan etika bisnis melakukan the lesser evil agar proyeknya jalan. Media massa pun menciptakan standar-standar ”kesuksesan” instan lewat berbagai cara, mendorong orang menjadi budak syahwatnya dan pupuk bagi kekuasaan (modal) para tuan.
Banyak tindakan koruptif tidak dipahami sebagai pembusukan seiring dengan lenyapnya keangkuhan luhur manusia. Etika dan moral tinggal sebagai khotbah yang gemanya sayup dari atas bukit ditelan deru angin. Hidup terjalin atas prinsip saling memangsa, bukan lagi perjuangan bersama saat semua orang memberikan yang terbaik bagi kualitas hidup bersama dan menjunjung tinggi martabat kehidupan (bonum commune).
Solusi terbatas
Solusi untuk masalah besar ini selalu terbatas. Mungkin diperlukan sistem keras dan ketat di mana prinsip-prinsip hidup bersama—antara lain bisa memaksa pejabat yang melakukan pembohongan publik—berfungsi efektif. Sanksi moral tak efektif karena kecurangan mudah disumpal dengan gerojokan sumbangan.
Untuk korupsi yang bersifat ekonomistik, ada gagasan tentang waris pidana terhadap koruptor. Artinya, utang hasil korupsi yang belum dilunasi saat pelaku masih hidup jatuh kepada ahli warisnya. Apalagi Mahkamah Agung sudah memfatwakan uang pengganti adalah utang.
Namun, apabila dikaitkan dengan pembusukan, yang dibutuhkan adalah sistem pendidikan yang mendorong gerakan moral untuk merestorasi cara berpikir dan bertindak serta bertarung keras untuk merawat Indonesia demi bonum commune.
Tidak ada pilihan kecuali kita mau terus berteater (pasti ada skenarionya) untuk membusukkan ”rumah bersama” ini secara sistematis, masif, dan kolosal....
Sumber: Kompas, Kamis, 10 Maret 2011
No comments:
Post a Comment