Wednesday, March 09, 2011

Berharap Koruptor Miskin

-- Adnan Topan Husodo

ESENSI penegakan hukum korupsi adalah pemulihan kerugian negara/publik dan pembangunan efek jera bagi para pelakunya. Sayangnya, di dua aspek paling vital itu kita justru menghadapi kegagalan.

Keroposnya integritas penegak hukum sangat memberikan kontribusi atas bebasnya banyak koruptor di pengadilan. Setali tiga uang, ketika koruptor mendekam di penjara, banyak di antara mereka bisa masuk-keluar dengan sangat bebas. Hasil jarahan korupsi banyak yang disulap jadi harta legal, dana segar investasi, properti mewah, kendaraan superluks, dan dilarikan ke luar negeri melalui rekayasa keuangan canggih. Negara seperti tak berdaya menghadapi ini.

Keprihatinan atas kejahatan korupsi yang meningkat dan implikasinya terhadap ketimpangan ekonomi yang kian parah serta meningkatnya kemiskinan mendorong kerja sama lebih erat antar-berbagai aktor untuk memberantas korupsi secara bersama-sama. Tumbuhnya kesadaran bahwa kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik setiap negara turut mempercepat terbangunnya kerja sama internasional dalam berbagai bentuk untuk memberantasnya. Dengan kerja sama internasional, diharapkan ruang gerak pelaku korupsi tak lagi bebas, dan koruptor tak akan mudah membawa, menanamkan, dan mencuci hasil korupsi.

Namun, semangat internasional memberantas korupsi secara bersama-sama harus diimbangi dengan keseriusan setiap negara pesertanya. Stolen Asset Recovery Initiative, program Bank Dunia untuk membantu negara-negara yang tengah melakukan upaya pengembalian aset jarahan koruptor di luar negeri sedikit banyak telah membantu.

Otoritas Filipina, Peru, dan Nigeria merupakan contoh negara dengan komitmen besar untuk mencari, membekukan, dan mengupayakan aset recovery atas kejahatan korupsi yang telah dilakukan presiden terdahulunya. Dengan dibantu StAR Initiative program, setidaknya sejumlah harta milik mantan Presiden Marcos, mantan Presiden Sani Abhaca, dan mantan diktator Alberto Fujimori telah diambil alih negara masing-masing, meski tidak mencapai 100 persen dari total kekayaan yang ditengarai hasil korupsi selama mereka menjabat sebagai presiden.

Menguji komitmen negara

Baru-baru ini pemerintah melalui Menhukham Patrialis Akbar mengumumkan informasi sangat penting bagi masa depan penegakan hukum korupsi di Indonesia. Pemerintah tengah menggodok draf amandemen KUHAP dan KUHP yang menekankan pada pembangunan dasar hukum bagi pemiskinan koruptor. Meski belum terlalu jelas konsepnya, ide memberikan denda berlipat-lipat dari nilai kejahatan korupsi yang didapat koruptor merupakan langkah maju yang perlu didukung dan dipercepat realisasinya. Semoga parlemen memiliki alur pemikiran sama sehingga perumusan atas amandemen KUHAP dan KUHP berjalan mulus. Publik tentu berharap pada 2011 gagasan memiskinkan koruptor menjadi prioritas pembahasan pemerintah dan DPR.

Supaya pembangunan hukum pemiskinan koruptor bisa didesain lebih komprehensif, pemerintah perlu mengidentifikasi beberapa persoalan mendasar yang menciptakan kesulitan tersendiri bagi efektivitas penegakan hukum pelaku korupsi. Satu hal yang tak bisa dilupakan, masih banyak aturan main yang menyebabkan koruptor dengan mudah menyimpan harta jarahan tanpa bisa disentuh penegak hukum. Sebagai contoh, dalam UU Antikorupsi No 31/1999 jo No 20/2001 diatur secara terbatas pengertian kerugian negara. Ruang lingkup kerugian negara yang sempit, hanya menyangkut soal anggaran/harta dan perekonomian negara tanpa menyinggung kerugian masyarakat/publik membuat perhitungan kerugian negara jadi terbatas. Pelaku korupsi hanya bisa dibebani denda sebatas nilai korupsi. Padahal, kejahatan korupsi tak hanya berdampak kerugian negara, tetapi kerugian lebih besar bagi publik.

Tak semua jenis kejahatan korupsi juga dapat dikenai pasal penggantian kerugian negara. Suap, sebagai contoh, hanya dikenai denda maksimal sesuai UU, selain penyitaan oleh negara atas uang suap yang berhasil diperoleh. Padahal, implikasi suap sangat luar biasa. Dalam kasus suap pemberian izin penebangan hutan, yang terjadi akibat suap adalah penebangan liar yang dilegalisasi, sekaligus ancaman kerusakan lingkungan yang kadang kala disertai bencana alam berupa longsor. Jika aparat penegak hukum telah dibatasi UU, berbagai macam dampak kejahatan suap tak akan dapat diperhitungkan untuk dibebankan ke pelaku korupsi.

Hal lain yang harus jadi prioritas bagi pemerintah agar usaha pemiskinan koruptor lebih konkret adalah membangun sistem hukum yang sejalan dengan prinsip-prinsip konvensi PBB Antikorupsi, 2003 (United Nation Convention Againts Corruption/UNCAC). Sebagaimana kita ketahui, pemerintah kerap menghadapi kesulitan mengusut, mencari, membekukan, merampas, dan mengembalikan harta dari tindak kejahatan (korupsi) jika sudah dibawa lari ke luar negeri. Dengan mengadopsi prinsip UNCAC, pemerintah dapat mengakses bantuan internasional bagi usaha-usaha perampasan, pembekuan, dan pengembalian aset kejahatan ke negara, termasuk membawa kembali koruptor yang kabur ke luar negeri.

Indonesia juga dapat meminta kerja sama internasional untuk penegakan hukum korupsi dalam kerangka UNCAC seperti mutual legal assistance, kerja sama antaraparat penegak hukum, investigasi bersama, pengembangan teknik investigasi khusus, serta bantuan teknis terkait dengan perburuan harta koruptor. Namun, perlu digarisbawahi, semua itu akan berjalan ideal jika integritas penegak hukum dibenahi dengan radikal, karena mereka yang akan menjalankan semua regulasi pemberantasan korupsi. Sepanjang penegak hukum masih dapat disuap, atau menggunakan jabatan untuk memeras, sulit rasanya berharap koruptor miskin.

Adnan Topan Husodo
, Wakil Koordinator ICW

Sumber: Kompas, Rabu, 9 Maret 2011

No comments: