Jakarta, Kompas - Desakan agar pemerintah menghentikan penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah bertaraf internasional semakin menguat. Desakan itu antara lain datang dari sejumlah guru dan anggota DPR.
Dalam pertemuan Ikatan Guru Indonesia (IGI) dengan sejumlah anggota Komisi X DPR di Jakarta, Selasa (8/3), para guru menyampaikan petisi pendidikan tentang sekolah bertaraf internasional (SBI).
Ketua Umum IGI Satria Dharma mengatakan, janji RSBI/SBI sebagai sekolah berkelas dunia dengan segala sistem manajemen, mutu guru, sarana, dan kriterianya tidak akan bisa dipenuhi. ”Program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya, dan 90 persen pasti gagal. Di luar negeri konsep ini gagal dan ditinggalkan,” katanya.
Masyarakat akan merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang mengeluarkan program itu.
Itje Chotidjah, guru yang sering diminta mengajar guru-guru SBI belajar bahasa Inggris, merasa prihatin. ”Guru-guru SBI itu belajar bahasa Inggris dalam waktu yang sangat terbatas, lalu mereka disuruh mengajar materi pelajaran dalam bahasa Inggris. Murid bisa salah tangkap materi pelajaran,” ujarnya.
Ketua Dewan Pembina IGI Ahmad Rizali menambahkan, pemerintah mengasumsikan, untuk dapat mengajar hard science dengan pengantar bahasa Inggris, maka guru harus memiliki TOEFL lebih dari 500.
”Padahal, tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogi,” kata Ahmad.
Pengutamaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga memprihatinkan. Padahal, di Jepang, China, dan Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi siswanya memiliki kualitas dunia.
Tidak efektif
Tidak efektifnya penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah lewat program RSBI/ SBI telah dikaji British Council dan hasilnya akan dipaparkan mulai Rabu ini.
”Kalau ingin fasih dalam berbahasa Inggris, perkuat bidang studi bahasa Inggris dan bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan,” ujar Satria.
Dampak yang paling terasa dengan kebijakan RSBI/SBI yakni terciptanya diskriminasi dalam pendidikan. Pendidikan pun menjadi sangat komersial. ”Komersialisasi pendidikan inilah yang kami tentang karena hanya anak orang kaya yang bisa sekolah,” katanya.
Anggota Komisi X DPR, Dedi S Gumelar, mengatakan, program RSBI/SBI dalam pelaksanaannya banyak penyimpangan.
”SBI harus dikoreksi. RSBI/ SBI hanya menjadi market label. Tidak ada jaminan sekolah berlabel tersebut kualitasnya internasional.” ujar Dedi. Sebaliknya, banyak sekolah tidak berlabel itu justru kualitasnya sangat baik.
Secara terpisah, dalam rapat kerja nasional, Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta Indonesia (ALPTKSI) juga mendesak penghentian RSBI/SBI. ”Program ini wujud liberalisme pendidikan dan mengabaikan potensi bangsa,” kata Ketua ALPTKSI, Sulistiyo. (ELN)
Sumber: Kompas, Rabu, 9 Maret 2011
No comments:
Post a Comment