Jakarta, Kompas - Sebagian penduduk Indonesia masuk kelompok rentan miskin. Mereka tidak memiliki jaminan kesehatan dan bisa langsung jatuh miskin jika sakit. Karena itu, pemerintah perlu segera membuat sistem untuk menjamin akses pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat.
Presidium Komisi Aksi Jaminan Sosial Timbul Siregar, akhir pekan lalu, menyatakan, dari 33 juta pekerja formal, hanya 9 juta pekerja diikutsertakan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) oleh perusahaan.
”Perusahaan diwajibkan mengikutkan pekerja dalam jaminan hari tua ditambah satu jaminan lain dalam program Jamsostek. Namun, belum tentu jaminan pemeliharaan kesehatan yang dipilih. Perusahaan besar biasanya mengikutsertakan pegawai dalam asuransi kesehatan, tetapi tidak banyak yang demikian,” kata Timbul yang juga Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia.
Mereka yang diikutsertakan dalam jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek pun belum mendapatkan pelayanan memadai. Setiba di rumah sakit, kerap terjadi masalah birokrasi, seperti proses konfirmasi ke Jamsostek. Fasilitas yang diberikan dan jenis penyakit yang ditanggung juga tergantung dari premi. ”Pengusaha kerap hanya membayar premi minimum sehingga layanan terbatas,” katanya.
Timbul mengatakan, pekerja formal tak digolongkan penduduk miskin sehingga tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Padahal, saat sakit mereka tidak mendapat bantuan dari perusahaan dan tak memiliki asuransi kesehatan. Selain itu, masih ada pekerja formal yang dibayar di bawah upah minimum regional.
Hal ini dialami Supartono, warga Plumpang, Jakarta Utara, yang 32 tahun bekerja di perusahaan JI, Jakarta Utara, dengan upah terakhir Rp 800.000 per bulan. Setahun lalu, ia terkena stroke sehingga lumpuh dan tak bisa bekerja lagi. Ia membiayai sendiri pengobatannya karena tidak ada jaminan kesehatan dari perusahaan. ”Saya berutang sekitar Rp 3 juta untuk berobat dan sekarang berhenti berobat karena tidak punya uang,” ujarnya.
Saat ini, Supartono berupaya mendapatkan hak pesangon yang diperjuangkan selama satu tahun dan tidak kunjung diberikan oleh perusahaan. Uang itu akan digunakan untuk pengobatan.
Timbul mengatakan, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) seharusnya mencakup jaminan kesehatan seumur hidup, tak diskriminatif, dan mencakup seluruh jenis penyakit agar seluruh masyarakat terlindungi. ”Itu salah satu yang diperjuangkan pekerja,” katanya.
Hambat revisi
Pekan lalu dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, yang diajukan oleh Mudhofir, Parulian Sianturi, dan rekan- rekannya dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan 11 federasi pekerja lain, di Mahkamah Konstitusi, pemerintah dinilai menjadi penghambat revisi UU Jamsostek agar sesuai semangat UU No 40/2004 tentang SJSN.
UU SJSN mengamanatkan Jamsostek menjadi lembaga nirlaba, gotong royong, dan amanah, serta bukan dalam bentuk badan usaha milik negara. Pemohon diwakili oleh kuasa hukum Muchtar Pakpahan dan tim.
Sementara itu, untuk menekan angka kematian ibu dan bayi, pemerintah menganggarkan Rp 1,2 triliun guna memberikan jaminan persalinan bagi perempuan yang akan melahirkan. Hal itu dinyatakan Usman Sumantri, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Minggu (6/3). (INE/ANA/IND)
Sumber: Kompas, Senin, 7 Maret 2011
No comments:
Post a Comment